Peradapan Awal Malang Selatan (2)







Dalam bab Sumber data peneliti akan merujuk pada tempat atau sumber di mana data dapat ditemukan atau dikumpulkan. Dalam konteks pengumpulan data, sumber data adalah sumber atau tempat di mana informasi atau data dapat ditemukan atau diperoleh. Sumber data bisa berasal dari berbagai sumber, seperti dokumen, survei, wawancara dan lain sebagainya.

Dengan menggunakan sumber data akan dapat digunakan sebagai acuan atau referensi dalam berbagai analisis dan pengambilan keputusan bagi penelitin. agar lebih memahami dan mengidentifikasi sumber data yang dapat diandalkan untuk memastikan bahwa informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan atau analisis benar dan terpercaya.

2.1. Daerah Penelitian :

 KAJIAN DATA HERUISTIK



2.1.1. Prasasti Kanjuruhan 2

Menurut penelitian yang berjudul "Tinjauan Ulang tentang Prasasti Dinoyo II Tahun 820 Saka", Oleh: Suwardon, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, (klik ini) , didalam analianya dikatakan sebagai berikut :

"Prasasti Dinoyo II merupakan prasasti yang memuat dua pertanggalan. Pertama bertanggal 8 paro terang hari WA U WR bulan Magha tahun 773 saka, yang equivalen dengan tanggal 15 Januari 851M, dan yang kedua bertanggal 8 paro gelap hari MA U A bulan Srawana tahun 820 saka, equivalen dengan tanggal 2 Juli 898M. Dengan demikian prasasti ini dapat disebut sebagai prasasti Dinoyo II A dan prasasti Dinoyo II B. 

Penamaan prasasti Dinoyo II dilatarbelakangi bahwa di Dinoyo dahulu pernah ditemukan sebuah prasasti yang berhuruf Jawa kuna dan berbahasa sanskerta, berangka tahun 760 M yang dikenal dengan sebutan prasasti Dinoyo. Prasasti Dinoyo itulah dikemudian hari disebut sebagai prasasti Dinoyo I. Sementara prasasti baru yang ditemukan beberapa meter tidak jauh dari tempat prasasti yang lama, disebut orang sebagai prasasti Dinoyo II. 

Guna keseragaman penyebutan prasasti, sedapatnya menggunakan nama tempat atau pejabat yang mengeluarkan yang tersebut di dalam prasasti, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Damais (1955 :1-105), maka prasasti Dinoyo I dinamakan prasasti Kanjuruhan, sedangkan prasasti Dinoyo II diusulkan dapat disebut sebagai prasasti ‘Dang Hwan ri Hujung’. 

Hujung merupakan sebuah wilayah kerakaian di Jawa Timur yang diidentifikasi terletak di sekitar Malang utara (daerah Singosari). Masa sekitar abad IX dan X M berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh raja Balitung, Wawa, maupun Sindok berkenaan dengan penetapan tanah sima di sekitar Malang, pejabat watak Hujung selalu tampil. Apakah sebagai daerah yang mengajukan anugerah perdikan kepada raja, atau sebagai saksi dalam penetapan tanah sima bagi watak tepi siringnya, seperti watak Kanuruhan, watak Waharu, 👉 serta watak Tugaran (periksa prasasti Kubu-kubu 827 saka, Limus atau Sugihmanek 837 saka, Sangguran 846 saka, Gulung-gulung 851 saka, Linggasuntan 851 saka, Turyyan 851 saka, Jeru-jeru 852 saka, dan Muncang 866 saka). 

Ketika prasasti Dinoyo II dikeluarkan, baik tahun penetapan pertama maupun penetapannya kembali tahun 898 M, pemerintahan waktu itu berada pada kerajaan Medang di Jawa Tengah (Mataram kuna). Tahun penetapan yang pertama, yaitu tahun 851 M, berada dalam masa pemerintahan Rakai Pikatan Dyah Saladu. Seperti diketahui berdasar prasasti Wanua Tengah III bahwa raja ini mulai memerintah tahun 768 saka (10 Januari 846 M). Sementara tahun penetapan kedua, yaitu tahun 898 M, berada dalam masa awal pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung yang mulai memerintah tahun 820 saka (10 Mei 898 M) (Kusen, 1994 :92-93). 

Dinoyo sebagai tempat temuan prasasti, diidentifikasi dahulunya merupakan pusat (ibukota) pemerintahan wilayah watak Kanuruhan. Sementara yang mengeluarkan prasasti adalah seorang penggembala yang terhormat berasal dari Hujung (Singosari). Menjadi suatu pertanyaan apakah sima sawah yang dihibahkan kepada dang hyang guru Candik tersebut berada di wilayah watak Kanuruhan? Sedangkan sang penyumbang adalah seorang penggembala kaya raya penduduk wilayah Hujung? Apabila demikian halnya, maka kasusnya adalah Dang Hwan (dalam prasasti disebutkan bahwa Dang Hwan/sang penggembala/yang memiliki peternakan adalah seorang penderma) telah membeli sebidang tanah di wilayah watak Kanuruhan, guna dihibahkan kepada Dang hyang guru Candik (tidak jelas apakah yang bersangkutan ini bertempat tinggal di wilayah Kanuruhan juga atau di wilayah lain). 

Menilik di antara beberapa saksi terdapat warga wanua Balingawan watak Kanuruhan (parujar Daman dan panuratan dari Dapu hyang Wrati), memang anggapan bahwa sebidang tanah sawah tersebut berada di wilayah watak Kanuruhan masuk akal. Juga dapat dijadikan sebuah alasan pendukung, mengapa raman (tua-tua desa) Kandal disebut sebagai saksi dua kali dan ditempatkan terakhir di antara para saksi, yaitu saksi pada penetapan sima tahun 773 saka dan saksi penetapan sima tahun 820 saka, sementara raman saksi yang lain hanya sekali. Beralasan dari selalu disertakannya raman Kandal dalam upacara penetapan sima sawah tersebut, dapat disimpulkan bahwa sima sawah tersebut terletak di wanua Kandal. Apabila dikorelasikan dengan toponim daerah Dinoyo sekarang, di sebelah timur Dinoyo (± 1 km), terdapat sebuah dukuh bernama Kendalsari kelurahan Tulusrejo. Tentunya dapatlah dipahami bahwa wanua Kandal watak Kanuruhan masa lampau itu adalah dukuh Kendalsari sekarang. 

Hanya permasalahannya, mengapa rakryan Kanuruhan selaku penguasa watak tidak terdapat dalam deretan saksi, atau minimal para pejabat bawahan dari rakryan Kanuruhan? Apakah dapat diduga bahwa pejabat saksi yang tertera di dalam prasasti, yaitu wadwa pamget merupakan seorang pejabat pemerintah watak Kanuruhan? Sehingga pelaksanaan penetapan sawah yang dihibahkan tersebut cukup dilakukan oleh sang donatur dan pembantu pelaksana pamget Kanuruhan dengan disaksikan oleh pejabat di tingkat watak (daerah) lainnya? 

Demikianlah dapat disimpulkan bahwa prasasti Dinoyo II merupakan prasasti yang dikeluarkan berhubungan dengan tanah perdikan dari dang hwan di Hujung, yang dihibahkan kepada seorang dang hyang guru bernama Candik. Diduga sawah tersebut guna kelangsungan pertapaan yang dikelola oleh dang hyang guru. Entah apa sebabnya sekitar 47 tahun kemudian dilakukan penetapan kembali oleh dang hwan yang sayang namanya tidak terbaca, juga dari Hujung. Diduga orang yang kedua tersebut merupakan keturunan dari yang pertama. 

Kasus penetapan kembali sebidang tanah yang dianugerahkan sebagai tanah perdikan untuk kelangsungan bangunan suci atau biara pertapaan, atau kasus lainnya, agaknya pada masa Jawa kuna telah umum dilakukan. Di sini diambil perbandingan dengan prasasti-prasasti yang dikeluarkannya sebagai penetapan kembali status yang pernah dikeluarkan raja/penguasa pendahulu, seperti prasasti Mangulihi tahun 786 saka, Panggumulan tahun 824 saka, Wanua Tengah III tahun 830 saka, Wintang Mas tahun 841 saka, Harinjing tahun 849 saka, dan Walandit tahun 1327 saka. 

Menjadi sebuah pertanyaan pula tentang tempat temuan prasasti Dinoyo II tersebut. Apakah prasasti tersebut in situ (memang diletakkan di tempat itu oleh yang membatasi sima). Jika memang in situ, maka sawah sima tersebut adalah tempat temuan prasasti. Akan tetapi jika prasasti tersebut tidak in situ, maka prasasti tersebut tentunya berasal dari tempat lain (mungkin Kendalsari), yang jauh dikemudian hari dibawa orang ke Dinoyo untuk dikumpulkan. Ingat terhadap kasus prasasti Dinoyo I, yang letak temuannya hanya beberapa meter di sebelah selatan tempat temuan prasasti Dinoyo II. Awalnya orang menyangka bahwa prasasti Dinoyo I in situ. Tetapi ternyata dikemudian hari didapatkan dua potongannya di sebelah selatan, yaitu di desa Merjosari. Dengan demikian timbul asumsi bahwa prasasti Dinoyo I asalnya dari daerah Merjosari atau lebih ke selatan lagi, karena di sana didapat sisa-sisa bangunan suci. Masalah berpindahnya sebuah prasasti dari tempat asalnya ke tempat lain setelah jamannya memang banyak terjadi, seperti prasasti Balingawan 813 saka, yang menurut konteks isinya berkenaan dengan desa Balingawan (Mangliawan sekarang) daerah Pakis, justru ditemukan di desa Singosari. Prasasti yang lain seperti prasasti Limus/Sugih manek 837 saka,yang jika diamati isinya bahwa prasasti berhubungan dengan desa Limus watak Kanuruhan. Demikian juga dengan prasasti yang lain seperti Gulung-gulung 851 saka, Jeru-jeru 852 saka, dan Muncang 866 saka (Blom, 1976:157-158).


“Dikabulkannya oleh raja tentang pemberian sebidang sawah di desa Turyyan yang telah menghasilkan pajak sebesar 3 suwarna emas. Pajak yang di hasilkan desa turyyan setahun ialah 1 Kati dan 3 suwarna emas, 3 suwarna itulah yang di anugerahkan kepada Dang Atu, ditambah lagi sebidang tanah tegalan di sebelah barat sungai dan tanah itu di sebelah utara pasar desa Turyyan. Tanah yang di sebelah barat sungai digunakan untuk tempat mendirikan bangunan suci, dan penduduknya hendaknya bekerja bakti membuat bendungan terusannya sungai tadi, mulai dari air luah, sedang tanah yang di sebelah utara pasar itu untuk kamulan dan pajak yang 3 sawarna emas sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya di jadikan sawah untuk tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu dan Pemberian Tali Asih bagi Orang-orang Bijak, salah satunya Tugaran, isinya berbunyi :
Demikian turunnya anugrah Sri Maharaja, beliau merangsek maju menuju ḍaṅ-atu . ḍaṅ-atu emas setoran pembayaran kepada Sri Maharaja, emas 1 kati, 10 suwarna, 1 stel pakaian buatan negeri keeling (India selatan).
Kepada pejabat berpangkat Urusan Pemberitahuan (urusan penerangan) dyah mare berdesakan maju menerima emas : 1 Suwarna 4 Masa pakaian 1 stel 
pejabat berpangkat Urusan Keturunan (urusan pencatatan sipil) dyah balyang maju menerima emas 1 suwarna 4 masa 1 stel pakaian. 
pejabat berpangkat Urusan Ke-air-an (pengairan) dyah mamumpung maju menerima emas 1 Suwarna 4 masa 1 stel pakaian. \  
dyah Malawan diberi emas 1 Suwarna 4 masa 1 stel pakaian.\  
👉  Tugaran pada waktu dyah mandarah maju lalu menerima emas 1 kati 1 stel pakaian dan 1 kain/selimut se sigar.
Pembanding dapunta Taritip diberikan emas 10 masa 1 stel pakaian.

Penemuan dari Prasasti Kemuning berada di lereng selatan Gunung Kawi, tepatnya di dusun Kemuning, desa Kranggan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, prasasti tersebut diketemukan dalam keadaaan tulisannya prasasti dalam keadaan aus, sehingga isinya sulit dimengerti dengan jelas, meskipun begitu isinya masih bisa di difahami, yaitu penetapan status sima (perdikan) pada daerah Lereng selatan gunung Kawi dan masih beruntung angka tahun pembuatan prasasti tersebut masih bisa diketahui, yaitu pada tahun 1178 Çaka atau 1256 M.

Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanegara sewaktu masih menjabat sebagai raja muda (Yuwaraja/Kumararaja) di Kediri. Kertanegara adalah putra dari Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan Singhasari. Dengan adanya prasasti Kemuning ini, ada gambaran sekarang tentang nama desa Kranggan (Kasuranggan) dan penduduk sudah hidup menetap di daerah lereng selatan gunung Kawi, lalu dijadikan daerah perdikan maksudnya yaitu daerah yang diberi otonomi (swatantra), karena dianggap sudah berjasa atau dianggab mampu untuk mengelola rumah tangga daerahnya sendiri.


2.2. KAJIAN DATA PENEMUAN BENDA SEJARAH

2.2.1. Penemuan Umpak Turus

Penulis telah melihat 8 buah benda-benda yang tertata dengan baik di dalam pondok kecil di makam umum desa Turus, Kecamatan Sumberpucung. Letak benda-benda tersebut berada dekat lapangan. Saat itu, keadaan benda-benda tersebut masih utuh, meskipun ada beberapa yang hilang. Berikut adalah rincian mengenai benda-benda tersebut:
- Dua umpak ukuran besar,
- Empat umpak berukuran sedang,
- Dua umpak lebih kecil dan
- Satu lumpang yang letaknya diluar pondok kecil,


2.2.2. Penemuan Candi Baru di Ternyang (belum digali)

2.2.3. Penemuan Candi Senggreng (belum digali) 

Penulis telah melihat beberapa benda, berupa arca batu bata besar, tumukan bangunan di bawah bambu ori, Arca Ganesa, dan arca Durga. Benda-benda tersebut dalam keadaan rusak, tetapi saat itu masih tersimpan baik. Penulis menemukan benda-benda tersebut di pekarangan padat penduduk, semoga saja dapat terpelihara dengan baik.


Lokasi ini berdekatan dengan desa Turus, jaraknya lebih kurang 2000 meter. Menurut keterangan Bapak Saman Hudi, penduduk Mataraman Ngebruk, jalur kuno yang menghubungkan desa Jenggolo Malang dengan Wlingi Blitar berada di dekat lokasi tersebut.


Penulis telah menemukan beberapa benda berupa batu bata besar, lingga-yoni, dan gelang monel di pergelangan tulang tangan dalam makam kuno. Barang-barang tersebut ditemukan tidak dalam waktu, tempat, dan keadaan yang sama, karena lahan tebu yang awalnya berada di tempat tersebut kini telah menjadi perumahan padat penduduk yang berlokasi di timur sungai metro. Tembok bata besar dalam keadaan rusak parah, sementara gelang hilang. Namun, lingga-yoni dan lumpang masih dalam keadaan baik hingga saat ini. Penulis menemukan benda-benda tersebut di pekarangan dan lahan tebu.

2.2.5. Penemuan Candi Metro Barat (sudah rusak) 

Penulis telah melihat beberapa benda berupa batu bata besar dengan ukiran batik yang sengaja diletakkan di gubuk kecil. Hal tersebut dilakukan karena tanah pekarangan telah dibulldozer untuk pembangunan perumahan umum yang berlokasi di sebelah selatan Samsat Polres Malang.

Akhirnya, penulis mencoba mencari informasi dari warga setempat di kampung keramat. Akhirnya, ditemukan juga seorang narasumber yang bisa menjelaskan cerita dan memberikan kesaksian. Narasumber tersebut menjelaskan bahwa pernah ada sebuah bangunan yang diduga sebagai candi yang luas, dengan perkiraan panjang 30 meter dan lebar 30 meter. Bangunan tersebut dikelilingi oleh pagar bata besar yang saat narasumber melihat sudah rusak setinggi 1 meter, serta sebuah yoni dan lumpang yang terletak di bawah dekat sungai metro.

"Wilayah Malang terletak di sebelah timur Gunung Kawi dan merupakan daerah subur dengan sungai besar dan kecil yang mengalir di daerah tersebut. Sungai Brantas merupakan sungai terbesar di Jawa Timur dan di daerah tersebut ditemukan Arca Ganesha dengan ukuran tinggi 192 cm yang tergolong besar. Arca tersebut ditemukan di desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang. Daerah tersebut diperkirakan merupakan jalan besar yang perlu dijaga atau merupakan batas kerajaan sebelum berdirinya Kerajaan Singosari. [1]

2.3. KAJIAN DATA KARYA SASTRA KUNO

Di Malang Selatan terdapat beberapa nama desa tua yang disebutkan dalam kitab Pararaton dan Negara Kertagama. Salah satunya adalah Tegaron, yang digambarkan memiliki pemerintahan di masa lalu.

2.3.1. Menurut Kitab Pararaton

Dalam Kitab Pararaton disebutkan beberapa nama tempat di sekitar Watak Tugaran. Cerita tersebut berbunyi, "..... Ken Angrok pergi ke Kebalon untuk mengungsi ke Turyantapada, lalu ke daerah wilayah Bapa. Sempurnalah kepandaiannya tentang emas. Ken Angrok kemudian pergi dari lingkungan Bapa menuju 👉 ke desa Tugaran. Namun, Kepala tertua di Tugaran tidak menunjukkan belas kasihan, sehingga Ken Angrok mengganggu warga Tugaran. Akhirnya, arca penjaga pintu gerbang diangkat dan diletakkan di daerah lingkungan Bapa. Kemudian, Ken Angrok bertemu dengan anak perempuan kepala tertua di Tugaran yang sedang menanam kacang di sawah kering.....".


Disebutkan beberapa nama tempat yang ada di sekitar Watak Tugaran, versi Kitab Negara Kertagama, yang berbunyi pada : 

Pupuh XXXV 

"Karena terburu-buru setelah dijamu oleh bapa asrama, Baginda berangkat karena ingat akan giliran untuk menghadap di balai Singasari setelah habis nyekar di candi makam. Setelah itu, Baginda mengumbar nafsu kesukaannya dengan menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan, dan Bureng".


7. "Pagi harinya, Baginda berkunjung ke Candi Kidal untuk menyembah Batara. Kemudian pada malam harinya, Baginda berangkat ke Jajago untuk menghadap Arca Jina. Setelah itu, Baginda menuju penginapan dan keesokan paginya berangkat ke Singasari. Baginda tidak berhenti di Bureng karena belum merasa lelah".


1. "Telaga Bureng memiliki keindahan yang menakjubkan dengan airnya yang bergelombang dan jernih berwarna kebiru-biruan. Di tengah-tengah telaga terdapat candi Karang Bermekala, dan di tepinya terdapat deretan rumah panggung yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga. Tempat ini menjadi tujuan para pelancong untuk menikmati keindahan pemandangan yang ada."

2. "Setelah terlewati keindahannya, berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintaslah di tengah tegal tinggi. Rumputnya tebal, rata, dan hijau mengkilat, indah terpandang. Terlihat luas laksana lautan kecil yang berombak jurang".



Pertapaan Kraton Gunung Kawi sudah ada sejak tahun 861. Ini bisa dibuktikan dengan tulisan yang tertera di prasasti batu tulis di Pucak Gunung Kawi. Pertapaan tersebut dibangun pada masa Sailendra (Mataram Hindu) dalam sejarah. Tempat bertapa tersebut didirikan setelah Candi Borobudur dibangun. Karena adanya perselisihan, Empu Sindok hijrah ke Gunung Kawi dan membangun pertapaan sendiri. Bentuk pertapaan yang dibangun dengan menanam 5 pohon beringin Jawa dan menempatkan batu gunung besar di tengahnya, semua itu untuk mendukung aktivitas meditasi. Empu Sindok melakukan pertapaan hingga jasatnya muksa (menghilang). Keraton Gunung Kawi identik dengan bangunan megah, tetapi Keraton di Gunung Kawi mempunyai bangunan fisik yang jauh dari kemegahan. Di Keraton Gunung Kawi / Pamungkasam Prabu Kameswara I terdapat pertapaan Empu Sindok. Lokasinya berada di Dusun Gendoga, desa Balesari, kecamatan Ngajum, kabupaten Malang, dengan ketinggian 2.860 m dari permukaan laut.



Era Mpu Sindok pada masa awal pemerintahannya tengah melakukan konsolidasi tatanan pemerintahannya dalam rangka mempertahankan hegemoni Kerajaan Medang. Mpu Sindok juga telah membagi sistem Administrasi Pemerintahan menjadi 3 tingkat. 

2.5.1. Pemerintahan Pusat Kanuruhan (Kerajaan) 

Informasi tertua tentang keberadaan watak Kanuruhan setidaknya telah terekam dalam sumber tertulis prasasti Balingawan 813 Saka/891 M dari raja Daksa (Brandes, 1913:22-25). Dalam prasasti tersebut, dituliskan adanya seorang pejabat tinggi bernama Mpu Huntu yang merupakan penguasa ke-Rakai-an dan juga dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan. 

Pada masa pemerintahan raja Sindok, jabatan Rakai Kanuruhan telah digantikan oleh Dyah Mungpang. Menurut de Casparis sebagaimana dikutip Sumadio (1977), dikatakan bahwa Kanuruhan identik dengan Kanjuruhan dalam prasasti Dinoyo 682 Saka/760 M yang sekarang berubah menjadi desa Kejuron.

Dalam kurun waktu lama sekitar 131 tahun tersebut, terjadi dua peristiwa besar, yaitu lahirnya ke-Rakai-an Kanuruhan pada wilayah yang relatif sama dan perubahan mendasar tentang Kerajaan Kanjuruhan.

2.5.2. Pemeritahan Watak Dijabat oleh Seorang Rakai

Konfigurasi desa-desa kuna atau posisi masing-masing desa pada letak peta geografis merupakan satu kesatuan watak. Dari data tekstual diketahui bahwa kumpulan beberapa desa kuna di waktu lampau bisa mencapai 30 desa atau dikuasai oleh seorang rakai yang menguasai satuan wilayah administratif watak atau wisaya.

Sumber-sumber prasasti sering menyebutkan bahwa para pimpinan di tingkat wanua atau di tingkat watak yang menyumbangkan lahan tanahnya, baik berupa sawah maupun pekarangan, untuk kepentingan sima. Sudah cukup jelas bahwa perbedaan pemilikan tanah berkaitan dengan kedudukan sosial mereka.

Pemilikan luas tanah dapat dijadikan petunjuk mengenai status seseorang. Beberapa sumber prasasti yang memuat masalah transaksi tanah (pembelian-utang-piutang, gadai) yang relatif luas, biasanya melibatkan orang-orang yang menggunakan sebutan dang, (m)pu atau mpungku, rakryan, samget, dan mapañji (cf. Boechari 1975; Nastiti 1985). Nama-nama sebutan tersebut mengindikasikan bahwa mereka bukan golongan masyarakat kebanyakan, yang biasanya menggunakan sebutan si (cf. de Casparis 1985; Jones 1984:91-92).


2.5.3. Pemeritahan dijabat oleh seorang Rama / Bapa Wanua

Dari data tekstual baik susastra maupun prasasti diperoleh informasi bahwa untuk wilayah administrasi terendah (terkecil) dalam periode Klasik Indonesia disebut wanua, banua, wanwa, karaman, atau thani (Sedyawati, 1985; Atmodjo, 1979). Pada masa sekarang, wilayah yang mungkin sama dengan desa atau kelurahan ada satuan wilayah yang lebih kecil lagi yaitu duhan atau duwan. Hal ini juga ditemukan pada desa modern, yaitu dukuh, dusun, atau kampung.

Kemungkinan lainnya, petani juga dapat dibedakan berdasarkan status keturunan dalam desa tertentu. Data prasasti sangat kurang untuk sampai pada kesimpulan tersebut, tetapi dapat diduga bahwa kelompok elit desa terdiri dari penduduk yang merupakan keturunan langsung dari para pendiri desa yang bersangkutan. Kelompok inilah yang di dalam sumber prasasti disebut dengan istilah anak wanua atau anak thani, yang arti harfiahnya adalah "anak desa". Kelompok kedua adalah mereka yang merupakan keturunan dari para pendatang baru. Pada prinsipnya, hanya kelompok pertama yang memiliki sawah dan sekaligus memiliki hak penuh dalam proses pengambilan keputusan dalam dewan pimpinan desa (de Casparis 1986:8-9).

Situasi semacam itu memang ditemukan dalam kehidupan petani di desa-desa Jawa sekarang. Menurut Koentjaraningrat, kelompok masyarakat desa yang dapat menarik garis keturunan hingga cikal-bakal akan menjadi kelompok yang paling dihormati, dan seringkali mereka juga adalah pemilik tanah warisan yang cukup luas. Sementara para pendatang umumnya adalah orang-orang yang tidak memiliki tanah, sehingga pada awalnya mereka hidup dengan cara menumpang (mondok) dan harus bekerja untuk keluarga (Koentjaraningrat 1984:199-210).

Sebagai keseluruhan, komunitas petani diatur dalam pemerintahan desa melalui sistem kepemimpinan yang dikendalikan oleh suatu dewan yang terdiri dari para rāma (Karāmān). Di antara kelompok ini ada yang menjalankan fungsi-fungsi khusus yang berkaitan dengan aktivitas pertanian. Data prasasti memberi keterangan adanya nama-nama jabatan di tingkat desa yang berkaitan dengan masalah sawah dan irigasi. Tidak semua nama-nama jabatan tersebut diketahui fungsi utamanya, di antaranya adalah matamwak (petugas pengawas bendungan), hulu wuattan (pengawas jembatan dan jalan), hulu wras (pengatur distribusi beras), hulu air atau huler atau panghulu banyu (pemimpin sistem irigasi), dan wariga (ahli perhitungan musim) (Wuryanto 1977:64; Meer 1979).

Sebagai bagian dari tatanan masyarakat kerajaan, anak wanua/anak thāni menjalankan fungsi utama sebagai pemasok utama dari perekonomian kerajaan. Dari segi kependudukan, kita tidak memiliki cukup data untuk menjelaskan jumlah dan tingkat kepadatannya. Namun, dapat diyakini bahwa petani sebagai keseluruhan merupakan prosentasi terbesar dari seluruh warga kerajaan. Wilayah inti petani di Jawa Tengah mungkin berada di sekitar dataran Kedu dan Prambanan, sedangkan di Jawa Timur berada di sekitar lembah Sungai Solo dan Brantas. Data mengenai sisa-sisa pemukiman mereka hanya ditemukan sedikit, tetapi berdasarkan sisa-sisa peninggalan arkeologi, tingkat kepadatannya dapat diperkirakan.

Sumber prasasti menegaskan bahwa desa-desa ketika itu memiliki ukuran dan mungkin juga jumlah penduduk yang berbeda. Tidak dapat diketahui secara persis berapa besar jumlah penduduk tiap desa. Jika jumlah penduduk tiap desa dapat dibayangkan berdasarkan jumlah anggota dewan para rāma, sumber prasasti memberi gambaran bahwa terdapat desa-desa dikelola oleh 20 hingga 40 rāma (pimpinan desa), tetapi ada pula yang hanya memiliki rāma di bawah 10 (Boechari 1979:484). Namun, tidak terdapat data yang dapat membantu untuk memperkirakan proporsi perbandingan antara jumlah pimpinan desa dan jumlah keluarga atau anggota masyarakat desa yang dikelolanya. Penduduk desa, terutama yang tinggal di daerah persawahan, di lembah-lembah gunung berapi, dan di dekat bangunan suci, berhubungan satu sama lain melalui jalan darat.

Sisa-sisa bangunan candi dan prasasti yang ditemukan di tempat-tempat tersebut hampir seluruhnya berasal dari periode Jawa Tengah, yaitu sejak awal abad ke-8 hingga awal abad ke-10. Setelah tahun 928, pemusatan penduduk berpindah ke wilayah Jawa Timur, terutama di sebelah Sungai Brantas. Sumber-sumber prasasti dan distribusinya mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk daerah ini tinggal di daerah persawahan dekat tepian sungai. Perpindahan pusat pemerintahan ke Jawa Timur tampaknya juga diikuti oleh percepatan pertumbuhan penduduk, khususnya di dataran rendah di dekat delta Sungai Brantas. Prasasti Kalagyan (1037) menyebutkan bahwa di daerah ini terdapat tujuh pemukiman di sepanjang wilayah yang jaraknya 25 kilometer, yakni antara Kamalagyan dan pelabuhan pantai Hujung Galuh. Juga disebutkan sejumlah bangunan suci yang terdiri dari sembilan jenis yang berbeda-beda (sima, kalang, kalagyan, thāni jumput, wihāra, sala, kamulan, parhyangan), tetapi tanpa dirinci. Desa-desa di Cane, Patakan, dan Baru (semuanya di selatan Surabaya) masing-masing diperkirakan dihuni oleh lebih dari 300 keluarga, atau sekitar 1.000 jiwa setiap desa. Pasar-pasar yang tumbuh di sini mungkin tergolong besar jika dibandingkan dengan pasar-pasar serupa di daerah pedalaman, karena sering dikunjungi oleh pedagang asing (cf. Christie 1991:27-29).

Menurut informasi, sistem pemerintahan pada masa kuno tidaklah selalu bersifat sentralistik seperti yang sering kita bayangkan. Wilayah kekuasaan raja pada masa itu terbagi ke dalam beberapa daerah yang seolah-olah merupakan daerah otonom. Beberapa daerah tersebut diperintah oleh seorang "raja daerah" yang termasuk anggota keluarga raja. Daerah-daerah ini disebut daerah watak dan kepalanya bergelar rakryan atau rakai. Meskipun kadang-kadang, seperti di zaman Kadiri, mereka juga bergelar samya haji (haji), yang di zaman Majapahit kelak berganti gelar lagi menjadi Bhre atau Bhra/bhatara.


Pada masa pemerintahan Kerajaan Kanjuruhan, sebuah kerajaan besar mengubah sistem pemerintahannya setelah kedatangan Empu Sendok. Bahkan raja Kanjuruhan bersedia membagi wilayahnya menjadi bawahan dari raja baru, Mpu Sendok, yang juga menjadi pemuka agama. Toleransi agama inilah yang menyebabkan tidak ada catatan tentang terjadinya peristiwa kudeta atau perang. Saat itu, Mataram Hindu masih menerapkan perekonomian agraris di area pedalaman. Dalam waktu yang cukup panjang, sang Maha Resi Mpu Sendok mendirikan "keraton spiritual" di puncak Gunung Kawi yang jauh dari kemewahan. Wilayah pemerintahan Kanjuruhan kemudian dibagi menjadi tiga.

3.6.1. Watak Kanuruhan 

Watak Kanuruhan yang masih dapat dilacak lokasinya yaitu Waharu, Balingawan, Panawijyan, Bantaran, Lowokwaru, Mangliawan(Pakis), Melihat dari namanya kiranya dapat dihubungkan dengan sebuah prasasti dari masa Sindok yang dikeluarkan atas perintah Rakai Kanuruhan, yaitu prasasri Rampal 856 Saka/934 M. Data prasasti menunjukkan bahwa nama jabatan rakai kanuruhan sudah ada sejak masa Mataram. Tokoh ini disebut dalam prasasti Balingawan (891 M) (Damais 1972:477), namun pada awal kemunculannya, fungsi pokok jabatan dalam mengurus perdagangan dan keuangan tidak diketahui secara pasti. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa kewenangan rakai kanuruhan dalam hirarki pemerintahan mulai meningkat, terutama sejak pemerintahan Sindok. Dalam beberapa prasasti dari periode ini, rakai kanuruhan diberi wewenang yang sangat tinggi, termasuk memberikan anugerah sima, yang biasanya dijalankan oleh raja. Meskipun masih belum diketahui siapa yang memiliki kewenangan tertinggi dalam mengurusi perbendaharaan negara yang diambil dari rakyat, namun gelar jabatan ini terutama disebutkan dalam prasasti-prasasti dari Jawa Timur. Selain rakai kanuruhan, terdapat juga orang-orang dalam birokrasi pemerintahan yang kedudukannya tidak diketahui secara pasti. Namun, jumlah mereka cukup banyak dan tampaknya merupakan pegawai rendahan. Kelompok ini dikenal dengan istilah mangilāla drawya haji dalam sumber-sumber prasasti. Secara harfiah, istilah ini berarti "mengambil milik raja," dan orang-orang yang termasuk dalam kategori ini umumnya dianggap sebagai petugas yang diberi wewenang untuk memungut pajak atas nama raja. 3.5.2. Watak Hujung Watak Hujung secara garis besar berada di sekitar wilayah kecamatan Singosari, Lawang, Jabung, paling selatan Polowijen, paling timur Blandit. Menurut de Casparis (1940) semasa pemerintahan raja Sindok sedangkan dijelaskan dengan keberadaan insitu prasasti Cunggrang 851 Saka/929 M di desa Suci kecamatan Gempol kabupaten Pasuruan. 3.5.3. Watak Tugaran. Tugaran adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah selatan wilayah pemerintahan Kanjuruhan. Di sekitar sungai Metro, terdapat beberapa nama desa kuno seperti Peniwen, Wagir, Dawuhan, Tegaron, Pagak, Lahor, dan Turen yang masih dikenal hingga saat ini. 




[1] Sejarah Kabupaten Malang Sejak Prasejarah sampai abad XXI, Hadiah HUT Kabupaten Malang ke 1250, tahun 2010, hal 31

 


ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo