Tampilkan postingan dengan label Pemerintahan Pertama di Kepanjen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemerintahan Pertama di Kepanjen. Tampilkan semua postingan

Bab 4 : Kesimpulan dan Saran






4.1. Kesimpulan

Dari Analisa Data diatas peta salah satu problem yang sulit dipecahkan adalah perihal batas wilayahnya, sehingga upaya dilakukan semata-mata berdasarkan asumsi atas data yang dapat diperoleh. Tentang informasi keberadaan "Watak Tugaran", dapat diperoleh berdasarkan penemuan baru benda sejarah, folklor masyarakat lokal, dan literasi perpustakaan baik melalui buku atau sumber internet, 


Nama "Tanggaran" berubah menjadi "Tugaran" dan akhirnya menjadi "Tegaron" dalam konteks perkembangan bahasa Jawa yang alami, karena beberapa faktor seperti pengaruh bahasa-bahasa lain dan perubahan dalam tata bahasa. Kata-kata baru dapat muncul, berubah, atau punah dalam bahasa Jawa, dan dalam kasus ini, kemungkinan terjadi karena adanya pengaruh dialek atau aksen tertentu. Namun, pada intinya, ketiganya memiliki artinya "alat untuk mengolah lahan tanah perkebunan atau persawahan".

Analisis terhadap istilah nama dusun Tegaron dilakukan dengan mengacu pada sumber data yang tersedia. Penulis menduga bahwa nama dusun Tegaron, desa Panggungrejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang memiliki kaitan dengan watak Tugaran yang dijelaskan dalam prasasti. Namun, penulis berusaha untuk melakukan analisis etimologis dan memperhatikan konteks sejarah, budaya, serta kajian linguistik dan arkeologi yang lebih mendalam untuk memastikan kaitan nama Tegaron sebagai nama desa kuno pada era Medang Kamulan.

Data tekstual prasasti yang ditemukan (berasal) dari areal terbahas menunjukkan bahwa di wilayah Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang sekarang ini, sekitar seribu tahun silam (abad ke-10 Masehi) setidaknya telah terdapat 3 (tiga) watak, yaitu Kanuruhan, Hujung dan Tugaran. 

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa keberadaan ketiga watak tersebut diketahui berdasarkan informasi tentang adanya pejabat rakai dari tiga daerah lungguh (rakai Kanuruhan, rakai Hujung dan rakai Tugaran). Selain itu juga terdapat informasi tentang sejumlah pejabat rendahan yang bekerja di bawah kewibawaan masing-masing rakai tersebut. Kemungkinan besar di luar ketiga watak tersebut masih terdapat watak lain. 


Kesimpulan mengenai analisa penelitian terhadap Dusun TEGARON, Desa Panggungrejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang memberikan pemahaman yang baik mengenai sejarah dan warisan budaya di wilayah tersebut. Penelitian tersebut telah mengungkapkan bukti-bukti sejarah yang ditemukan, yang didukung oleh adanya sungai-sungai besar yang bertemu di sekitar lokasi. Dugaan bahwa pertemuan sungai digunakan sebagai jalur niaga transportasi air menggunakan perahu, sementara transportasi niaga darat menggunakan gerobak kerbau, ( disajikan dalam gambar diatas)

Ulasan ini memberikan gambaran tentang pentingnya penelitian sejarah dalam mengungkap warisan budaya suatu daerah. Adanya bukti-bukti sejarah dan pemahaman mengenai penggunaan sungai sebagai jalur niaga memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kehidupan masyarakat di masa lampau. Dengan demikian, analisa penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami sejarah dan warisan budaya Dusun TEGARON, Desa Panggungrejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang.






Bab 3 Temuan Benda Sejarah










1. Swasti : S. makmur; bahagia. 
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019. 

2. Saka (sOkO) : [a K. N. = sakakayu]: tiyang, saka; [b N. saking K.]: dhiwik; [saka ing]: 
sakari, sakèng, sangkya, sangguta, yadin, minăngka; [pinăngka]: mika. 
Kamus : Bausastra: Jarwa Kawi, Padmasusastra, 1903, #11. 

3. Warsa tita = Tahun wis kepungkur 
warsa (warsO) : (S) kw. 1 taun; 2 udan. 
Kamus Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75. 

tita (titO) : 1 kw. kaliwat, wis kêpungkur; 2 kn. (wis [x]) wis katog (luwih saka cukup) ênggone nyrantêkake. 
Kamus : Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75. 

4. Masa (mOsO) : măngsa nênêm, masa utawi măngsa = wêktu, peranganing wêktu, 
(Skr. maasa = wulan, saprakalih wêlasipun sataun). Panêdhanipun kewan galak utawi danawa 
(Skr. maangpa = daging). Têmbung pamaibên. Cêkapan, (?Skr. masa = ukuran). 
Kamus : Căndrasangkala, Bratakesawa, 1928, #610. 

5. Srawana (srOwOnO) : (S) kw. mangsa kasa (kang kapisan). 
Kamus Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75. 

6. tithi : S. hari bulan. 
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019. 

7. Aṣṭamī : S. hari ke-8 dari setengah bulan (yang pertama atau yang terakhir). 
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019. 

8. Krêsnapaksa (kr|snOpaksO) : tanggal kaping pitulas. 
Kamus : Têmbung Kawi Mawi Têgêsipun, Wintêr, 1928, #1506. 

9. Wara (wOrO) : wadon, linuwih. wara sêmbadra, wara srikandhi. wara hastra: 
gêgaman linuwih, panah. wara duita: putri linuwih, widadari. wara wadu: putri linuwih, 
widadari. dwijawara: guru linuwih, pandhita gêdhe. 
Kamus : Kawi - Jarwa, Dirjasupraba, 1931, #1263. 

10. Mawulu = ringkêl (riGk|l) : ... warukung = ringkêl sato, kewan-kewan lagi padha apês; paningron = ringkêl mina, iwak loh lagi apês; uwas = ringkêl pêksi, manuk-manuk padha apês; mawulu = ringkêl wiji, yèn nyêbar wiji ora thukul); pa-[x]-an: dina ing pawukon (tungle, aryang, warukung, paningron, uwas, mawulu). II ng-[x] yen nyebar wiji ora thukul 
Kamus : Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75. 

12. umanis : I. manis; ramah; menawan hati; II. manis nama hari pertama dari pekan. 
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019. 

13. aditya (adityO) : Kw. dezon [= srêngenge, Skr. âditya]. 
Kamus : Javaansch-Nederduitsch Woordenboek, Gericke en Roorda, 1847, #16. 

14. āgneya : S. tenggara. 
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019.

Artinya 
Sesuai Kamus Jawa
bahagia Sakèng taun kepungkur 8.. peranganing wêktu mangsa kasa hari bulan hari ke-8 dari ½ bulan tanggal kaping pitulas putri yen nyebar wiji ora thukul menawan hati srêngenge tenggara. 

Tafsir Indonesia
Kebahagiaan dari tahun yang lewat 8 merupakan waktu musim bulan ke-8 dari pertengahan bulan, pada tanggal ke-17. Seorang perempuan yang menyebarkan biji yang tidak tumbuh, disebabkan terik matahari di tempat TENGGARA.








tiga : Pasar kerajaan menyatukan semua pasar pañcāwara tingkat kedua dengan sebuah pelabuhan kerajaan di daerah hulu ataupun di daerah pantai. 

Kategori semacam ini pernah dikemukakan oleh Leong Sau Heng untuk menggambarkan hirarki pusat-pusat barang di wilayah Pasar anak-anak desa ke dalam tiga tingkatan. Keterangan di atas menjelaskan bahwa ada tempat di pasar yang berfungsi sebagai pusat-pusat pengumpulan (collecting centres) yang merupakan tingkatan paling hulu dari pusat barang, daerah-daerah pemasok (feeder points) yang berfungsi sebagai pusat penampungan barang-barang dari sejumlah collecting centers, dan pelabuhan utama (entrepot) yang menjadi pusat pengumpulan seluruh barang yang berasal dari sejumlah feeder points. Yang terakhir mengikuti siklus musim. Sedikit berbeda dengan tatanan di Jawa, pusat-pusat pengumpulan di paling ujung merupakan suatu sistem tersendiri yang memiliki hirarki, yakni empat desa-anak sebagai pengumpul paling ujung




Tafsir Indonesia
"Tugaran pada waktu dyah mandarah maju lalu menerima emas 1 kati 1 stel pakaian dan 1 kain/selimut se sigar"

Berdasarkan isi prasasti Watu Godek Turen, dapat disimpulkan bahwa desa Tugaran sudah melakukan hubungan secara lokal, regional, dan juga lintas wilayah yang jaraknya cukup jauh.

Pertama, hubungan lokal terjadi di antara desa-desa di desa Turyyan. Ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Dyah Mandarah pemimpin wilayah Tugaran dan menerima hadiah dari utusan-utusan desa lain di wilayah tersebut. Selain itu, Turen juga merupakan bagian dari wilayah Tugaran, sehingga hubungan antar desa di wilayah tersebut sangat mungkin terjadi.

Kedua, hubungan regional terjadi antara Watak Tugaran dengan Watak Kanjuron dan Watak Hujung. Hal ini dapat dilihat dari hadiah yang diterima oleh utusan dari Kanjuron dan Tugaran, yang masing-masing berada di urutan terbanyak kedua dan ketiga. Ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup penting dan erat antara ketiga wilayah tersebut.

Ketiga, hubungan lintas wilayah yang jaraknya jauh juga terjadi. Prasasti Watu Godek Turen menyebutkan bahwa Turyyan melewati jalur sungai Lesti dan sungai Jaruman yang berjarak sekitar 10 km. Hal ini menunjukkan bahwa desa-desa di wilayah tersebut tidak hanya berhubungan dengan desa-desa di sekitarnya, tetapi juga dengan desa-desa yang jaraknya cukup jauh.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa desa Tugaran pada masa Empu Sendok sudah memiliki jaringan hubungan yang cukup kompleks dan melibatkan wilayah yang cukup luas. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan dan perkembangan pada masyarakat di wilayah Turyyan pada masa itu.



Alih Aksara  
taniɧ sakri da malaɧ, akalihan wacid lawan mucu pasabhanira deh limpã, 20 makaharan i.

Tafsir arti Kamus
diperang-perang pêpunthukan (dietung-etung gumuk), main cinta, sumèlèh sumlandhang (alangan), akalihan pitutur kosok baline nyikut, papan kang dianggo sêsaba, risak, tebih dalam papan kang dianggo sêsaba, risak, tebih dalam.  20   dados dapat dianggap sebagai, i

Ubah dari arti K kamu ke Bahasa Indonesia
Banyak gundukan tanah (gunung) yang saling berdekatan,  telah menghalangi (melintang), agar tempat yang sering dikunjungi tidak mengalami kerusakan, maka perlu “menyatukan 20 tempat dianggap menjadi 1 tempat”. 

Sumber kamus
taning (tanIG) : di-[x]-[x], di-[x]-i kn. diperang-perang pêpunthukan (dietung-etung gumuk) tmr. sêga, kêmbang lsp; [x]-an. pêpunthukan sapantha-panth 

Sumber: Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.

Akalihan wacid artinya : akalihan pitutur 
kalih : dua; berdua; akalihan berdua; kakalih dua. 
Sumber: Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019


Lawan macu artinya : kosok baline Nyikut 
Lawan [Ind] : 1 lawan, tandhing, sisihan; 2 mungsuh; 3 kosokbali; melawan: nandhingi, madhani; dilawan: dimungsuh, ditandhingi, dilawan; perlawanan: mêmungsuhan, kosokbalèn; diperlawankan: ditandhingake, dimungsuhake. 
Sumber: Bausastra Indonesia-Jawi, Purwadarminta, c. 1939, #1979macu (macu) : nyikut. 
Sumber: Kawi - Jarwa, Dirjasupraba, 1931, #1263.
 
Pasabha_nira doh limpa, artinya : papan kang dianggo sêsaba, risak, tebih dalam 
Pasaban (pasaban) kn. papan kang dianggo sêsaba (kêrêp ditêkani). 
Sumber: Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75. 

nira (nirO) : risak, têlas, ical, musna, sirna, tanpa, ngicalkên. 
Sumber: Têmbung Kawi Mawi Têgêsipun, Wintêr, 1928, #1506. 

doh (dOh) : têbih. 
Sumber: Têmbung Kawi Mawi Têgêsipun, Wintêr, 1928, #1506. 

limpa (limpO) : KN. (jêroan). 
Sumber: Kawruh Kamanungsan, Wirapustaka, c. 1900, #252. 

20 maka_haran i artinya 20 dados dapat dianggap sebagai, 1 
maka (mOkO) : dados. măngka, minăngka, karana, mragak, tandhing, tata, mapranga maka, apranga tandhing. 
Sumber: Têmbung Kawi Mawi Têgêsipun, Wintêr, 1928, #1506. 

haran : aharan bernama; kaharan bagaikan; seperti; dapat dianggap sebagai. 
Sumber: Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019

Dalam konteks geografis dan sejarah, pada salah satu teks prasasti Ukir Negara, dijelaskan bahwa terdapat banyak gundukan tanah atau gunung yang berdekatan di sekitar lereng Gunung Kawi. Area ini dianggap sebagai penghalang  dan untuk melindung kerusakan lingkungan hutan dan sumber air karena tempat-tempat yang sering dikunjungi. Oleh karena itu, diperlukan penyatuan desa di pedalaman dengan cara  20 desa menjadi satu kesatuan. 

Proses ini merupakan dampak pada masa kerajaan akhir Kanjuruhan saat di bawah kekuasaan Raja Empu Sendok, seorang raja Brahmana dari Kerajaan Medang. Salah satu desa tersebut berlokasi di pertemuan sungai Brantas, Metro, dan Lest  yang diduga berna  desa Tugaran.

Penyatuan wilayah ini berdampak pada pertumbuhan desa-desa kecil yang muncul di dalam hutan, Sebagai respons terhadap perubahan tersebut, maka pada masa pemerintahan akhir Kerajaan Panjalu tahun 1198 masehi dilakukan upaya pengaturan dan pembentukan desa-desa baru dengan mendirikan petugas kerajaan di wilayah Gunung Kawi.


Tentang konsep sebagaimana tercermin dalam prasasti-prasasti penggunaan kata-kata pura, nagara atau kata-kata lain yang mempunyai arti "kota" merupakan indikasi bahwa masyarakat yang menggunakannya memiliki orentasi kehidupan kota Berdasarkan data prasasti, dikemukakan adanya sejumlah faktor yang menghambat munculnya kehidupan kota, sifat masyarakat jawa yang mempertahankan kecenderungan untuk memecah diri (bila bertambah) kedalam kelompok-kelompok kecil di wilayah pedesaan, jaringan pasar yang bersifat periodik dan tidak terpusat, sistem pajak yang tidak diatur secara terpusat dan pusat politik yang relatif sering berpindah-pindah. Faktor keutamaan keempat sungai (Bratas, Metro, Lesti, Lahor) diduga memilki daya tarik dari segi ekonomi, khususnya sebagai pintu gerbang jalan masuk untuk berhubungan antar desa.


3.3.4. Temuan "Watu Lumpang

Di wilayah Tegaron dan desa-desa ditepi sungai Metro, penulis akan memperjelas fungsi watu lumpang dan arah menghadap berdasarkan kejadian-kejadian yang dapat diidentifikasi.

Dengan adanya kegiatan-kegiatan yang menandai tata urutan dalam pelaksanaan upacara masa Hindu-Budha, dan masa Jawa Timur dengan periode lebih lama yaitu 557 tahun (mulai dari 929-1486 masehi). Ada kemungkinan bahwa sebagian alat-alat itu dipergunakan untuk keperluan pertanian, tetapi sulit untuk membedakannya karena beberapa barang tanah liat, khususnya jenis wadah, serupa ditemukan juga di dalam situs bangunan keagamaan. Alat rumah tangga juga dibuat dari batu, misalnya pipisan dan anak pipisannya. Terdapat umpak atau penyangga tiang juga terbuat dari batu. Ditemukan juga jenis batu lain yang berkaitan dengan bagian dari bangunan candi berupa ukiran candi.

Secara umum, produksi ekonomi masyarakat pedalaman diperoleh dari enam jenis aktivitas, yakni pertanian, perkebunan, pemanfaatan hutan, peternakan, perburuan hewan, dan kerajinan. Namun, sumber-sumber prasasti dan data arkeologi memberikan sedikit sekali keterangan mengenai bagaimana aktivitas-aktivitas produksi mereka dilakukan. Pengetahuan mengenai hal ini umumnya diperoleh atas dasar penafsiran dari barang-barang produksi yang disebut dalam prasasti dan relief pada candi.

Termasuk dalam kategori ini adalah bahan makanan dari tumbuhan (nabati) dan bahan makanan dari hewan (hewani). Sumber-sumber tertulis Jawa Kuno (prasasti, kakawin) dan data arkeologi (relief pada candi) memberikan keterangan adanya bahan-bahan makanan yang termasuk kategori pertama, yakni beras, umbi-umbian (ubi, talas), cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah (jahe, jamuju, sirih, kapulaga), buah-buahan (durian, rambutan, manggis, jeruk, kecapi, sukun, langsat, jamblang, salak, nangka, jambu bol, wuni, mangga, dan pisang), dan jenis palem (kelapa) (Jones 1984:52 list 9; Nastiti 1994-1995:92-94).

Sesuai dengan keterangan literasi tersebut, bahwa dengan adanya bahan pangan nabati dan banyaknya batu lumpang andesit yang ditemukan, maka dapat diperoleh tingkat kepastian yang tinggi terhadap posisi (keletakan) ketiga tokoh Hujung, Kanjuron, dan khususnya Tugaran yang rinciannya terdapat dalam bab sumber data

3.3.5. Temuan Umpak Bangunan Pendopo

Pertama, di lokasi Desa Turus, penulis telah menemukan bukti adanya umpak yang diduga merupakan bangunan pendopo dengan ukuran sedang. Keberadaannya sekarang berada di makam umum Desa Turus-Sumberpucung. Penemuan benda berupa umpak dengan 2 ukuran besar dan kecil ditemukan tidak jauh dari dusun Tegaron, yang masih berada dalam satu area di hamparan sawah dan tepi hutan Jati.

Kedua, di lokasi Desa Jenggolo, penulis telah menemukan bukti adanya umpak batu, yang totalnya berjumlah 7 buah (rincian keterangan di bab II) yang diduga merupakan bangunan pendopo agung dengan ukuran besar. Keberadaannya sekarang berada di sebelah timur Sungai Metro.

Dengan mengacu pada data tersebut diatas penulis mencoba mengacu pada isi 👉 prasati Ukirnegara tentang pengaturan konfigurasi desa-desa kuna atau posisi masing-masing desa pada letak peta geografis merupakan satu kesatuan watak. Dari prasasti diketahui bahwa kumpulan beberapa desa kuna di waktu lampau bisa mencapai 20 desa atau dikuasai oleh petugas yang menguasai satuan wilayah administrati.

Beberapa sumber prasasti yang memuat masalah transaksi tanah (pembelian-utang-piutang, gadai) yang relatif luas, biasanya melibatkan orang-orang yang menggunakan sebutan dang, (m)pu atau mpungku, rakryan, samget, dan mapañji (cf. Boechari 1975; Nastiti 1985).Pemilikan luas tanah dapat dijadikan petunjuk mengenai status seseorang.

Dari penemuan di atas, yaitu bukti adanya umpak batu dan bangunan pendopo yang diduga berasal dari era tertentu, memang menarik perhatian dan perlu diteliti secara mendalam. mungkin juga bahwa perbedaan pemilikan tanah berkaitan dengan kedudukan sosial mereka bisa dilihat dari ukuran dan tafsiran bangunan pendoponya. Pendopo tersebut mengindikasikan bahwa mereka bukan golongan masyarakat kebanyakan, yang biasanya (cf. de Casparis 1985; Jones 1984:91-92).

Meskipun penemuan tersebut memberikan petunjuk yang cukup jelas tentang adanya bangunan pada masa lalu, namun masih banyak informasi yang perlu diungkap seperti usia pasti bangunan, fungsi dan tujuan bangunan tersebut, serta hubungannya dengan budaya dan sejarah masa lalu. Oleh karena itu, penelitian yang lebih intensif dan komprehensif perlu dilakukan untuk memastikan era dan karakteristik bangunan tersebut agar dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang sejarah masa lalu dan budaya yang berkembang pada masa itu.

BAB 3. Analisa Geografis, Arti Tugaran





   gambar 3.1. Lertak Dusun Tegaron

Hal ini penulis mencoba Memaknai nama-nama sungai sehingga dapat memberikan pemahaman tambahan tentang wilayah Tegaron dan karakteristiknya. Meskipun tidak ada informasi spesifik tentang makna nama-nama sungai tersebut, beberapa nama sungai sering kali memiliki asal-usul dan makna tertentu. Namun, perlu dicatat bahwa penamaan sungai juga dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, sejarah, atau geografi lokal.

Berikut adalah beberapa contoh umum dalam memaknai nama-nama sungai di Indonesia:

a) Sungai Metro, memiliki arti yaitu "tirta agung/suci/panguripan",
    Berasal dari kata : Amerta atau Maha+teru
     - Maha (mOhO) : luwih agung, maha tirta: banyu agung,
       Kamus Kawi - Jarwa, Dirjasupraba, 1931, #1263.
     - Truh (trUh) : kw. grimis; kc. têruh: Tumeduh 
       kamus : Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.
     - Mrêta (mr|tO) : toya, bêning, jampi, anggêsangi, anuntên,.
      kamusTêmbung Kawi Mawi Têgêsipun, Wintêr, 1928, #1506.


Pada zaman dahulu, di sekitar lereng Gunung Kawi di Malang, terdapat sebuah sungai yang sangat berarti bagi masyarakat desa saat itu. Meskipun pada era Medang belum ada catatan resmi mengenai nama sungai tersebut, namun prasasti Ukir Negara memberikan petunjuk penting tentang cara menjaga sumber air di daerah tersebut agar air sungai tidak sampai mengering dan bisa dilewati perahu, diibaratkan perahu tersebut berjalan berjajar seperti semut [5].

Sungai-sungai tersebut, yang kemudian dikenal sebagai sungai Brantas dan sungai Metro, memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah masyarakat setempat. Cerita dari kisah Kerajaan Kanjuruhan, Jenggolo-Kediri, Tumapel, dan Sengguruh telah mengisahkan betapa sungai-sungai ini menjadi sumber kehidupan yang penting dan tak ternilai.

Prasasti Ukir Negara memberikan panduan penting mengenai merawat dan menjaga sumber air di sekitar lereng Gunung Kawi. Pada masa itu, masyarakat memahami bahwa sumber air yang jernih dan mengalir dengan baik memiliki nilai yang tak ternilai, terutama bagi lahan pertanian dan kelancaran arus sungai. Mereka menyadari bahwa tanpa pasokan air yang cukup, pertanian akan terancam, dan kehidupan mereka tidak akan berjalan dengan lancar. Cerita yang terdapat dalam pararaton juga mengisahkan tentang desa Tugaran, yang merupakan lahan pertanian yang subur dan bergantung pada sumber air yang terjaga dengan baik.

Berdasarkan Kisah tentang sungai-sungai ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, terutama dalam hal merawat dan melindungi sumber air dan berdasarkan fungsi dari sungai pada era Medang diceritakan sebagai pembatas wilayah Panjalu dan Jenggolo,


PENJELASAN
Jika dilihat secara hierarkis, empat pasar desa-anak dalam siklus pasar pañcawāra mungkin dapat dipandang sebagai pusat-pusat pengumpulan barang pada tingkat pertama. Sedangkan pasar desa-induk yang ada di tengah berfungsi sebagai pusat pengumpulan barang pada tataran yang lebih tinggi. Di tempat ini, barang-barang akan ditemukan dalam jumlah dan variasi yang lebih besar daripada barang-barang yang diperjual-belikan di keempat pasar desa-anak yang mengelilinginya. Hal ini dapat terjadi karena pasar ini berfungsi sebagai pusat pengumpulan barang-barang yang dihasilkan oleh keempat desa anak yang mengelilinginya. Itulah mengapa sumber prasasti dan data etnografi menegaskan bahwa transaksi jual beli paling ramai terjadi pada hari Kaliwuan. Karena alasan tersebut, didukung oleh sumber prasasti dan data etnografi, transaksi jual beli paling ramai terjadi pada hari Kaliwuan. 

Dalam sistem perekonomian kerajaan, masih ada kemungkinan adanya pasar yang lebih besar yang menjadi pusat pertukaran utama. Lokasi pasar jenis ini mungkin terdapat di pelabuhan-pelabuhan Pantai Utara di Jawa, tetapi juga dapat ditemukan di daerah-daerah yang lebih ke arah hulu, seperti di pelabuhan-pelabuhan sungai. Sumber-sumber prasasti memberikan indikasi adanya pelabuhan-pelabuhan baik di daerah pedalaman maupun di daerah pantai.


Jika berdasarkan data keterangan tentang pembagian bengkok ke tiga kecamatan tersebut, dan penulis mencoba menganalisis bahwa dusun Tegaron merupakan wilayah yang lebih luas pada era kerajaan dibanding dengan luas dusun Tegaron sekarang, maka dapat diasumsikan bahwa wilayah dusun Tegaron mengalami perubahan dan penyusutan luas dari era kerajaan hingga saat ini.

Perubahan ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk, perubahan administrasi wilayah, atau perubahan penggunaan lahan. Hal ini cukup umum terjadi dalam perkembangan geografis suatu wilayah dari masa ke masa.

3.2.  ANALISA ARTI, NAMA WATAK TUGARAN  

Menurut legenda Gunung Kawi Malang, Mpu Sendok, seorang Maha Resi, dikatakan mendirikan "keraton spiritual" di puncak Gunung Kawi yang terletak jauh dari kemewahan. Legenda ini menyiratkan bahwa Mpu Sendok memilih tempat yang lebih terpencil dan terpencil di puncak Gunung Kawi untuk mendirikan keratonnya.

Dalam konteks legenda, "keraton spiritual" mengacu pada tempat suci atau tempat bersemayamnya kekuatan spiritual. Pemilihan lokasi yang terletak di puncak Gunung Kawi yang jauh dari kemewahan mungkin mencerminkan upaya Mpu Sendok untuk menciptakan lingkungan yang tenang, terpisah dari dunia duniawi, dan lebih dekat dengan alam serta spiritualitas.

Namun, penting untuk diingat bahwa legenda-legenda sering kali mencampuradukkan elemen sejarah dan mitos. Oleh karena itu, interpretasi legenda ini harus dipahami sebagai cerita yang memiliki nilai-nilai simbolis dan spiritual, tanpa penekanan pada fakta sejarah yang jelas. [6]

Berdasarkan informasi sejarah wilayah, ditemukan sumber tertulis berupa prasasti Balingawan tahun 813 Saka/891 M yang mencatat keberadaan Watak Tugaran. Prasasti ini menyebutkan tentang seorang pejabat tinggi bernama Mpu Huntu yang merupakan penguasa ke-Rakai-an. Dalam kurun waktu sekitar 131 tahun, terjadi dua peristiwa penting di wilayah tersebut, yaitu lahirnya ke-Rakai-an Kanuruhan di wilayah yang relatif sama dan perubahan mendasar dalam Kerajaan Kanjuruhan.

Masa pemerintahan Kerajaan Ke-Rakai-an di wilayah Kanjuruhan dimulai ketika sebuah kerajaan besar mengubah sistem pemerintahannya setelah kedatangan Empu Sendok. Raja Kanjuruhan bersedia membagi wilayahnya menjadi bawahan dari raja baru, Mpu Sendok, yang juga menjadi pemimpin agama. Keberadaan toleransi agama ini menjadikan catatan sejarah yang tidak menyebutkan adanya kudeta atau perang. Pada saat itu, Mataram Hindu masih menerapkan perekonomian agraris di daerah pedalaman. Kembali ke penjelasan prasasti di atas, wilayah pemerintahan Kanjuruhan kemudian dibagi menjadi tiga : [7] 

1. Watak Kanuruhan
Dalam beberapa prasasti dari periode tersebut, Rakai Kanuruhan memiliki wewenang yang sangat tinggi, termasuk dalam memberikan anugerah sima, yang biasanya merupakan tugas raja. Meskipun belum diketahui dengan pasti siapa yang memiliki kewenangan tertinggi dalam mengurus perbendaharaan negara yang berasal dari rakyat, gelar jabatan tersebut disebutkan dalam prasasti-prasasti dari Jawa Timur.

Selain Rakai Kanuruhan, terdapat juga individu-individu dalam birokrasi pemerintahan yang kedudukannya belum diketahui secara pasti. Namun, jumlah mereka cukup banyak dan tampaknya merupakan pegawai rendahan. Kelompok ini dikenal dengan istilah mangilāla drawya haji dalam sumber-sumber prasasti. Secara harfiah, istilah ini berarti "mengambil milik raja," dan orang-orang yang termasuk dalam kategori ini umumnya dianggap sebagai petugas yang diberi wewenang untuk mengumpulkan pajak atas nama raja.

2. Watak Hujung
Rakai Hujung secara garis besar berada di sekitar wilayah kecamatan Singosari, Lawang, Jabung, paling selatan Polowijen, dan paling timur Blandit. Menurut penelitian de Casparis (1940), Rakai Hujung berkuasa pada masa pemerintahan Raja Sindok. Hal ini didukung oleh keberadaan prasasti Cunggrang yang ditemukan di desa Suci, kecamatan Gempol, kabupaten Pasuruan, yang berasal dari tahun 851 Saka/929 M.

Prasasti Cunggrang memberikan bukti tentang keberadaan Rakai Hujung dan pemerintahannya pada periode tersebut. Prasasti ini memberikan informasi mengenai peristiwa penting dan kegiatan administratif yang terjadi pada masa pemerintahan Rakai Hujung.

3. 👉 Watak Tugaran.
Wilayah Watak Tugaran memiliki banyak sungai yang melintas di sekitarnya, termasuk sungai Metro - Brantas - Lahor/Kalibiru, yang memberikan keunikan tersendiri pada daerah ini. Sungai Metro ini menjadi ciri khas dan mempengaruhi perkembangan desa-desa di sekitarnya. Beberapa desa kuno yang terletak di sepanjang sungai Metro, seperti Peniwen, Wagir, Dawuhan, Tegaron, Pagak, Lahor, dan Turen, masih dikenal hingga saat ini.

Nama-nama desa tersebut tercatat dalam prasasti dan menunjukkan adanya hubungan dan keterhubungan antara desa-desa tersebut. Secara geografis, desa-desa ini berdekatan dan membentuk sebuah jalur yang mengikuti aliran sungai Metro. Hal ini menunjukkan adanya interaksi dan pertukaran antara desa-desa tersebut, serta mungkin adanya jalur perdagangan atau jalur komunikasi yang menghubungkan mereka.


Namun, perlu dicatat bahwa penelitian sejarah terus berkembang, dan pemahaman kita tentang periode ini dapat mengalami perubahan seiring dengan ditemukannya sumber-sumber baru dan interpretasi yang lebih baru. 

BERDASARKAN DATA prasasti penulis mencoba menganalisis dan menduga berdasarkan etimologis dan memperhatikan konteks sejarah, budaya, serta kajian linguistik dan arkeologi yang lebih mendalam memang dapat membantu dalam memahami kaitan antara nama Tegaron dengan budaya dan sejarah di wilayah Watak Tugaran. Dalam melakukan analisis etimologis, dapat dicari kemungkinan arti dan asal usul kata "Tegaron" dalam bahasa Jawa atau bahasa daerah setempat yang terkait dengan wilayah tersebut. Dalam konteks sejarah, dapat dikaji catatan-catatan atau sumber-sumber lain yang berkaitan dengan perkembangan wilayah Watak Tugaran dan adanya referensi atau penjelasan terkait dengan nama Tegaron. Selain itu, kajian linguistik dan arkeologi dapat memberikan pemahaman tentang pola nama-nama tempat atau wilayah dalam konteks sejarah setempat.

Kata dasar Tugaran, Menurut kamus “Bausastra Jawa”, Poerwadarminta, terbitan tahun 1939, halaman 75 sebagai berikut kata Tugar yang dibaca tugar merupakan kata benda yang berarti benda sejenis. linggis (jawa: gêjig) yang dipakai untuk mengerjakan pekarangan (jawa: patêgalan)       atau
  • persamaan dari katanya Tugar adalah Nugar merupakan kata kerja, yang berarti membersihkan rumput/gulma  (jawa: ndhangir), atau menanam padi di sawah  (jawa: nandur pari ing pagagan)      atau
  • Kata dasar Tang-Garan dan Te-Garon merupakan suatu benda yang cara kerjanya didorong dan mempunyai gigi-gigi seperti garpu (jawa: garu) atau suatu alat yang cara menggunakannya dengan pengungkit suatu pegangan yang terbuat dari kayu. (jawa: jungkatan) 


Bajak (juga dikenali dengan istilah Luku dan Tenggala) merupakan sebuah alat di bidang pertanian yang digunakan untuk menggemburkan tanah sebelum melakukan penanaman dan penaburan benih, juga merupakan salah satu alat paling sederhana dan berguna dalam sejarah





Uraian di atas menunjukkan adanya variasi jenis produksi kerajinan yang utamanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa, baik untuk keperluan rumah tangga maupun alat-alat kerja pertanian. Peralatan-peralatan seperti itu kemungkinan besar dibuat oleh para pengrajin yang juga tinggal di pedesaan. Selain itu, juga ada produksi berbagai kerajinan yang terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan atau bahkan untuk kepentingan khusus, seperti senjata untuk pertahanan dan perang.


Berdasarkan Analisa arti kata dan kebenaran nama Watak Tugaran, terdapat beberapa elemen yang perlu dianalisis terkait dengan penyebutan Tugaran dalam konteks Dusun Tegaron, desa Panggungrejo, Kepanjen Malang.

Penyebutan Tugaran dalam prasasti dan Pararaton sebagai sebuah alat garu menunjukkan arti Tugaran sebagai tempat lahan pertanian yang penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pertanian dalam wilayah tersebut, di mana Tugaran digunakan sebagai alat yang spesifik untuk mengolah tanah pertanian.

Peran Tugaran dalam prasasti Dinoyo 2 menunjukkan bahwa Tugaran sebagai salah satu  watak yang berada diujubg selatan sungai Metro. Watak ini diberikan sebagai wilayah bawahan dari Watak Kanuruhan dan memiliki peran penting dalam konteks penetapan tanah prertanian sebagai lumbung makanan kerajaan Kanuruhan (dibawah Medang Kamulyan)Dugaan lokasi geografis Tugaran berada di sepanjang beberapa sungai di sekitar Kecamatan Sumberpucung, Kecamatan Kepanjen, Kecamatan Ngajum, dan Kecamatan Wagir.

3.3. Analisa Temuan Artefak di sekitar area Tegaron. ......lanjut





ARTIKEL POPULER

KELUARGA DALEM DHARMOREDJO

KELUARGA DALEM DHARMOREDJO
PILIH JUDUL DIBAWAH INI :