Masa KECIL (tahun 1970-1n)
Agung Cahyo Wibowo, putra asli Kepanjen, Malang, lahir dan tumbuh dalam keluarga sederhana yang menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan kebersamaan. Ayahnya adalah seorang guru, sosok yang tegas tetapi penuh kasih sayang, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga yang selalu menjadi penopang keluarga dengan kelembutannya. Sebagai anak bungsu atau ragil dari tiga bersaudara, Agung memiliki seorang kakak laki-laki, yang biasa dipanggil mbarep, dan seorang kakak perempuan yang juga turut membimbingnya.
Masa kecil Agung diwarnai dengan kebahagiaan sederhana yang penuh makna. Meskipun keluarga mereka tidak tergolong kaya, kehidupan di Jalan Welirang, Kepanjen, terasa cukup untuk menjalani hari-hari yang hangat. Rumah yang mereka tinggali, milik mbah Rukmini, menyimpan banyak cerita sejarah. Menurut kisah yang sering diceritakan oleh sang mbah, rumah itu pernah berfungsi sebagai pos PMI (Palang Merah Indonesia) dan tempat pengumpulan senjata curian dari tangan kompeni Belanda yang kemudian disalurkan kepada TNI selama masa perjuangan kemerdekaan.
Cerita tentang rumah tersebut selalu membuat Agung merasa bangga sekaligus kagum akan peran kecil yang pernah dimainkan oleh keluarganya dalam sejarah bangsa. Dinding rumah yang sederhana itu seolah menjadi saksi bisu dari semangat juang masa lalu. Setiap sudut rumah menyimpan kenangan, bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang kebersamaan keluarga besar mereka.
Sebagai anak bungsu, Agung sering mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya. Namun, perhatian itu tidak membuatnya manja. Justru, dia belajar banyak dari kakak-kakaknya tentang tanggung jawab dan kemandirian. Kehidupan di Kepanjen memberikan banyak ruang bagi Agung kecil untuk bermain dan belajar. Jalan-jalan di sekitar rumahnya menjadi tempat petualangan kecil bersama teman-teman sebaya, sementara cerita dari mbah Rukmini tentang masa-masa perjuangan selalu menjadi inspirasi di sela-sela kebersamaan keluarga.
Jelajah Sungai dan Persahabatan Sejati
Saat usia 10 tahun dan duduk di kelas 3 SD, Agung Cahyo Wibowo mulai menemukan dunia yang penuh petualangan. Sebagai anak pendiam yang menyukai keheningan, hobinya memelihara ikan di kolam rumahnya menjadi salah satu pelipur lara. Kolam itu cukup besar, berukuran sekitar 1,5 x 2 meter dengan kedalaman 70 cm, dihuni oleh ikan-ikan yang ia dan kakak laki-lakinya tangkap di sungai sekitar. Namun, ada sisi lain dari hidup Agung kecil yang sangat berbeda: petualangan penuh keberanian bersama teman-teman sekampungnya.
Kelompok kecil itu terdiri dari Muklis, Roji, Darmaji, Men, Didin, dan Teguh. Mereka adalah teman sebaya Agung yang tinggal di Jalan Welirang, Kepanjen. Bersama mereka, Agung menjelma menjadi seorang petualang kecil, membentuk semacam tim penjelajah kampung. Dengan alat-alat sederhana seperti cangkul kecil, linggis sedang, dan ransel berisi bekal dari rumah, kelompok ini sering menyusuri alam sekitar.
Dua sungai utama menjadi "medan eksplorasi" favorit mereka: Kali Sukun dan Kali Seco. Sungai-sungai ini, yang alirannya bermuara ke Kali Brantas dan Kali Metro di Desa Jenggolo, penuh dengan tantangan menarik. Mereka menyusuri tepi sungai, melompati bebatuan, memanjat lereng dengan tali, hingga menggali tanah untuk mencari sesuatu yang entah apa. Aktivitas ini lebih dari sekadar permainan, itu adalah cara mereka belajar tentang keberanian, kerja sama, dan kreativitas.
Saat mereka lelah menjelajah dua sungai itu, destinasi lain yang menjadi favorit adalah Sungai Molek, kanal buatan peninggalan zaman Belanda. Di masa itu, air Sungai Molek masih jernih dan menjadi tempat sempurna untuk berenang. Di sini, Agung belajar berenang—mulai dari mencoba gaya dada hingga akhirnya menguasai gaya lumba-lumba dan gaya bebas. Air yang segar, tawa yang riuh, dan matahari sore yang hangat membuat pengalaman berenang ini tak terlupakan.
Namun, petualangan mereka bukan hanya tentang tantangan fisik. Setelah lelah menyusuri sungai, momen istimewa pun tiba: membuka bekal seadanya di tepi sungai. Bekal itu mungkin hanya nasi dengan lauk sederhana atau sekadar singkong rebus, tetapi dinikmati bersama teman-teman, rasanya menjadi makanan paling nikmat di dunia. Sambil makan, mereka bercanda, saling menggoda, dan menceritakan kisah lucu yang membuat perut mereka sakit karena tertawa.
Ketika hari menjelang sore, kelompok kecil ini kembali ke rumah. Namun, perjalanan pulang tidak pernah membosankan. Mereka biasanya berhenti sebentar di sungai untuk mandi dan bermain air. Tidak peduli seberapa lelah mereka, momen ini selalu menjadi penutup hari yang sempurna.
Bagi Agung, masa kecil di Jalan Welirang bukan hanya tentang permainan, tetapi juga tentang membangun ikatan persahabatan yang tulus. Bersama Muklis, Roji, Darmaji, Men, Didin, dan Teguh, ia belajar tentang kebebasan, kerja sama, dan arti kebahagiaan sederhana. Sungai-sungai yang mereka jelajahi dan momen-momen yang mereka habiskan bersama kini tersimpan rapi dalam ingatannya sebagai kenangan yang abadi.
Mungkin kenangan-kenangan ini tidak hanya menjadi bagian dari cerita masa kecil Agung, yang kamirasakan menjadi fondasi cinta terhadap alam dan lingkungan sekitarnya. Semangat petualangan yang ia pelihara sejak kecil inilah yang membentuknya menjadi pribadi yang tangguh, kreatif, dan penuh rasa ingin tahu, kualitas yang terus ia bawa dalam perjalanan hidupnya.
dari bimbingan dan perhatian khusus dari keluarga, ia tetap tumbuh menjadi anak yang mandiri dan kreatif dalam segala hal karena masa kecil tidak hanya mengajarkan kegembiraan dalam eksplorasi, tetapi juga memperkuat rasa solidaritas dan cinta terhadap kampung halamannya.
Masa SMP (tahun 1982-1985)
Enovasi dan Semangat Eksplorasi.
Kami membentuk kelompok baru bersama teman-teman dari sekolah SMP yang bernama Nanang dari Ardiredjo, Teguh dari Gang Pande, Didi dari Ardiredjo, dan Didit dari Cepoko Mulyo. Mereka menemukan cara baru untuk mengeksplorasi alam: menjelajahi Sungai Metro dengan rakit batang pisang yang dirancang sendiri.
Rakit ini dibuat dari empat batang pisang yang dijajarkan rapi. Untuk memperkuat struktur, batang-batang tersebut disatukan dengan "disunduk" bambu yang ditancapkan melintang, lalu diikat menggunakan tampar plastik dari peralatan pramuka. Dengan penuh antusiasme, mereka menaiki rakit pisang yang sederhana namun kokoh, berlayar di aliran deras Sungai Metro.
Setiap perjalanan adalah petualangan mendebarkan. Dengan bambu panjang sebagai dayung sekaligus pengendali, mereka mengarahkan rakit agar tidak terseret dan menabrak batu padas yang tersebar di sepanjang sungai. Sambil menjaga keseimbangan, mata mereka menikmati panorama Sungai Metro yang penuh liukan, dikelilingi tebing curam, dan dihiasi pepohonan tua yang menjulang, seolah menyimpan cerita ratusan tahun.
Keceriaan terpancar dari wajah mereka saat rakit melaju mengikuti arus. Riak air yang membelai kaki, suara gemuruh sungai, dan bayangan alam hijau di sepanjang perjalanan menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. Meski sederhana, perjalanan ini penuh tantangan dan kesenangan. Rakit yang terkadang hampir terguling hanya menambah tawa dan semangat mereka untuk terus mencoba.
Petualangan ini tidak hanya menanamkan rasa cinta terhadap alam, tetapi juga mengajarkan kerjasama, keberanian, dan keterampilan bertahan hidup. Sungai Metro menjadi saksi bisu petualangan masa remaja Agung, yang membuktikan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada keberanian untuk menjelajah dan menghargai keindahan sekitar. Kisah rakit pisang ini adalah salah satu babak kenangan yang membentuk sosok yang penuh inovasi dan semangat eksplorasi.
Masa SMA (tahun 1985-1988)
Petualangan, Persahabatan, dan Vespa Pertama
Masa SMA adalah salah satu periode paling berkesan dalam hidup saya. Ketika itu, dunia mulai terasa lebih luas dari sekadar desa kecil tempat saya lahir dan tumbuh. Teman-teman baru bermunculan, bukan hanya dari desa tetangga, tapi juga dari kecamatan-kecamatan lain. Perbedaan latar belakang justru membuat hubungan kami semakin seru. Bersama mereka, saya mulai merasakan kebebasan remaja petualangan dan pengalaman baru yang tak terlupakan.
Sebelumnya, saya biasa menghabiskan waktu menjelajahi sungai yang mengalir tak jauh dari rumah. Namun, ketika SMA, penjelajahan itu mulai tergantikan oleh pendakian gunung. Gunung Bendera, puncak di deretan Pegunungan Kapur, menjadi salah satu tempat favorit kami. Gunung ini terkenal dengan pemandangan yang indah dan udaranya yang sejuk.
Biasanya, kami merencanakan perjalanan dengan penuh semangat. Dengan perbekalan sederhana nasi bungkus, senter, dan tenda seadanya, kami berangkat bersama-sama, seringkali menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Perjalanan menuju kaki gunung saja sudah menjadi cerita tersendiri, melintasi jalanan berbatu yang terkadang membuat kami tertawa karena salah satu dari kami pasti tergelincir atau kesulitan mengendalikan motor.
Setelah sampai, kami mendaki sambil bercanda, menertawakan apa saja yang lucu di sekitar. Terkadang, kami saling berlomba siapa yang lebih cepat mencapai puncak. Saat malam tiba, di bawah langit penuh bintang, kami duduk melingkar di depan api unggun. Suara gitar teman kami menjadi pengiring suasana. Saat seperti itulah, saya merasa hidup begitu sederhana tapi begitu sempurna.
Pada tahun kedua SMA, pengalaman hidup saya bertambah satu lagi: sebuah keputusan besar soal kendaraan. Suatu hari, bapak memanggil saya. Dengan nada serius tapi penuh kasih, ia berkata, "Le, bapak kepingin nukokno sepeda motor. Kira-kira tumbas sepeda motor merk Honda Priama opo Vespa?"
Pertanyaan itu membuat saya terkejut sekaligus senang. Sepeda motor? Wah, rasanya seperti mendapatkan kunci menuju kebebasan! Saya segera berdiskusi dengan kakak. Setelah mempertimbangkan berbagai hal termasuk kenyamanan, gaya, dan daya tahan kami sepakat memilih Vespa P-150-S keluaran tahun 1986 warna biru metalik.
Proses pembeliannya pun menjadi pengalaman berkesan. Kami pergi ke UD. Candra, sebuah toko besar di Jalan Kayutangan, Malang. Jalan itu dikenal ramai dengan pertokoan, dan saya merasa sangat antusias saat melihat Vespa pilihan kami dipajang di etalase. Warnanya biru tua dengan desain yang khas, terlihat gagah tapi tetap elegan.
Saat pertama kali menaiki Vespa itu, ada rasa bangga yang sulit diungkapkan. Motor itu menjadi teman setia dalam berbagai petualangan, dari berangkat sekolah, berkeliling kota, hingga kembali menjelajah menuju pantai-pantai yang ada di Malang selatan. Suara mesinnya yang khas dan sensasi berkendaranya yang unik membuat saya merasa Vespa ini lebih dari sekadar kendaraan ia adalah saksi masa muda saya.
Kini, setiap kali melihat Vespa lawas di jalan, ingatan tentang masa-masa SMA itu kembali hidup. Masa di mana kebebasan terasa tanpa batas, persahabatan begitu tulus, dan setiap perjalanan, sekecil apa pun, menjadi bagian dari cerita besar kehidupan.
Gaya Modern dan Cerita di Pasar Senggol
Masa SMA sebelum tahun 1990-an adalah era di mana pengaruh "gaya modern" mulai merasuki kehidupan remaja seperti saya. Kala itu, modernitas tidak hanya soal penampilan atau teknologi, tetapi juga cara bersosialisasi dan gaya hidup. Salah satu tren yang tidak bisa dihindari adalah kebiasaan merokok.
Sebagai remaja yang ingin dianggap keren dan tidak ketinggalan zaman, saya dan beberapa teman mulai mencoba-coba merokok. Awalnya hanya ikut-ikutan, sekadar mencoba agar tidak terlihat "kuno" di antara teman-teman. Waktu itu, merek rokok filter seperti Bentol, Filtra, Gudang Garam Surya, dan Gudang Garam Internasional menjadi pilihan populer. Untuk rokok putih, ada Kansas, Pall Mall, dan Marlboro, sementara kretek seperti Jagung Hijau dan Jisamsu juga cukup diminati. Namun, favorit saya yang bertahan cukup lama adalah Bentol Biru dan Gudang Garam Surya—rasanya pas di kantong dan di selera.
Ternyata, merokok bukan hanya soal gaya, tapi juga menjadi cara mudah untuk mendekatkan diri dengan teman-teman baru. Sebatang rokok yang dibagi bersama sering kali menjadi awal dari perbincangan panjang, tawa, dan candaan. Rokok seolah menjadi simbol keakraban di masa itu, meskipun sekarang saya sadar bahwa itu bukan kebiasaan yang patut dicontoh.
Pergaulan saya pun mulai meluas. Salah satu kelompok teman baru saya adalah anak-anak yang sering nongkrong di kawasan Pasar Besar, Malang. Malam hari di sana selalu ramai, terutama di area yang disebut "Pasar Senggol." Pedagang kaki lima berjajar di sepanjang jalan luar pasar, menawarkan berbagai barang mulai dari makanan hingga pernak-pernik murah. Suasananya hidup, dengan lampu-lampu dari kios kecil dan suara riuh pedagang yang saling bersahutan menawarkan dagangan mereka.
Tempat nongkrong favorit kami adalah di sekitar dua bioskop terkenal di kawasan itu: Bioskop Pendowo, yang terletak di sebelah utara Pasar Besar, dan Bioskop Teater, yang berada tepat di depan pasar. Dua tempat ini menjadi pusat kegiatan malam kami. Kami biasanya duduk-duduk di trotoar, berbincang, atau sekadar mengamati hiruk-pikuk pengunjung pasar. Kadang, kami menyelinap masuk untuk menonton film jika ada uang lebih.
Pasar Senggol dan bioskop-bioskop di sekitarnya adalah saksi bisu dari berbagai cerita persahabatan dan kenakalan remaja. Dari mencoba berbagai jajanan kaki lima, bertukar cerita tentang film, hingga sesekali menyaksikan aksi iseng teman yang mencoba menggoda para pedagang muda, semuanya membentuk kenangan yang tak terlupakan.
Di malam-malam tertentu, kami kadang menyusuri area pasar hingga ke gang-gang kecil di belakangnya. Ada semacam kebebasan yang terasa di tempat itu—bebas dari aturan sekolah, bebas dari tuntutan rumah, meski hanya sementara. Rasanya seperti memiliki dunia sendiri di tengah keramaian kota.
Meskipun kini gaya hidup dan kebiasaan itu sudah ditinggalkan, kenangan di Pasar Senggol dan bioskop-bioskop tua itu tetap menjadi bagian penting dari perjalanan hidup saya. Masa itu mengajarkan tentang persahabatan, tentang kebebasan, dan juga tentang pentingnya membuat keputusan yang lebih bijaksana di masa depan.
atau perjalanan ke pantai. Meski keterbatasan uang jajan membuat mereka harus menabung dan tidak berani meminta lebih kepada orang tua, semangat berpetualang tak pernah pudar.
Selepas SMA, Agung melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Malang, jurusan Teknik Informatika yang baru dibuka pada akhir 1990-an. Hidup sebagai mahasiswa kos di lingkungan penuh teman dari berbagai daerah, seperti Andre dari Jakarta, Slamet dari Lumajang, dan Agus dari Pekalongan, mengajarkan Agung arti kebersamaan. Mereka sering menghabiskan waktu liburan dengan mendaki gunung atau berkamping, meskipun uang saku sering kali pas-pasan.
Setelah lulus dan diwisuda, Agung memulai karirnya di perusahaan distributor komputer di Malang. Tak lama kemudian, ia beralih menjadi dosen di Politeknik Graha Taruna, yang dikelola oleh yayasan Depnaker, dan meniti karir hingga menjadi Wakil Direktur 2 bidang Keuangan dan Kepegawaian. Selama tujuh tahun mengabdi, ia belajar banyak tentang manajemen dan kepemimpinan.
Keluar dari pekerjaannya, Agung mendirikan Lembaga Latihan Kerja "Dharma Wiyata," sebuah langkah besar yang menunjukkan dedikasi dan visinya untuk pendidikan. Hingga akhirnya, ia mendapatkan amanah baru sebagai Kepala Departemen Situs-situs dan Sejarah di Dewan Kesenian Kabupaten Malang.
Kini, dengan segala pengalaman dan kisah hidupnya, Agung Cahyo Wibowo menulis sejarah Kepanjen, daerah kelahirannya, sebagai bentuk cinta terhadap tempat di mana ia tumbuh dan berjuang. Melalui tulisan dan karyanya, ia tidak hanya menceritakan masa lalu, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk mencintai dan melestarikan warisan daerah mereka.
0 komentar anda:
Posting Komentar