Pada tanggal 23 Juli 1947, pasukan Belanda yang penuh percaya diri mencoba menguasai Kabupaten Malang setelah serangan mereka di Surabaya. Namun, mereka tidak menyangka bahwa di setiap langkah mereka, dari Lawang, Singosari, hingga Blimbing dan Desa Arjosari, pasukan Indonesia siap menghadang dengan keberanian dan semangat yang tak tergoyahkan.
Di Blimbing, para pejuang Indonesia memberikan perlawanan sengit, membuat banyak tentara Belanda tewas atau terluka. Ini bukan sekadar pertempuran biasa, tetapi sebuah tanda bahwa tekad Indonesia untuk meraih kemerdekaan tidak akan pernah padam, meski dihadapkan pada kekuatan militer yang lebih besar.
Pada tanggal 31 Juli 1947, meskipun pasukan Belanda berhasil memasuki Kota Malang dan membuat pasukan TNI mengalami kesulitan, semangat juang tidak pernah surut. Di desa-desa kecil sekitar Kota Malang, para pejuang TNI tetap berdiri teguh, menerima bantuan dari patroli 3-5 RI dari Pacet di kaki Gunung Arjuno. Mereka berjuang tanpa henti, mempertahankan setiap jengkal tanah yang masih bisa mereka kuasai, dengan dukungan penuh dari masyarakat sekitar.
Meskipun situasinya sangat sulit dan musuh memiliki persenjataan yang lebih lengkap, pasukan TNI tidak pernah menyerah. Mereka tahu bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang mempertahankan wilayah, tetapi juga tentang menjaga harapan dan cita-cita kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan keringat.
Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa semangat perjuangan rakyat Indonesia, yang didukung oleh keberanian dan solidaritas masyarakat, mampu melawan penjajah dengan segala keterbatasan yang ada. Ini adalah momen yang harus selalu kita kenang sebagai inspirasi, bahwa dengan semangat yang tak pernah padam, kita bisa menghadapi segala tantangan dan mencapai kemerdekaan yang sejati.
Pada tanggal 23 Juli 1947, pasukan Marinir Belanda menduduki Lawang, sebuah kota yang berjarak 25 kilometer sebelah utara Malang. Mereka memasuki kota ini dengan kekuatan penuh, menggunakan meriam, tank, dan amtrac untuk menghalau pertahanan Brigade Mobil Pasukan Kepolisian Indonesia yang mempertahankan kubu-kubu di pinggiran kota. Kekuatan pasukan penyerang ini sangatlah besar, termasuk di dalamnya satuan tank Sherman dan tank Stuart yang mendukung langkah mereka menuju Malang.
Namun, pertempuran di sekitar Malang bukanlah hal yang mudah bagi Belanda. Pada tanggal 30 Juli, ketika pasukan Belanda bergerak dari Lawang menuju Malang, mereka dihadang oleh Divisi 7 TNI yang didukung oleh pasukan TRIP. Dengan semangat juang yang tak tergoyahkan, para prajurit TNI melakukan perlawanan sengit. Mereka memasang jebakan-jebakan dan melakukan serangan gerilya yang membuat pasukan Belanda sulit bergerak maju. Seorang prajurit TNI dengan tenang menunggu saat yang tepat untuk meledakkan bom jebakan, yang berhasil menewaskan empat prajurit Belanda.
Pasukan Marinir Belanda kemudian mengambil alih tugas dari angkatan darat dan melanjutkan serangan menuju Singosari. Meskipun berhasil merebut Singosari setelah beberapa kali baku tembak, perjalanan mereka menuju Malang masih jauh dari selesai. Dengan jarak hanya 12 kilometer lagi menuju Malang, pasukan Belanda menghadapi tantangan besar. Mayor Ebben, komandan kontingen angkatan darat, berencana untuk melakukan gerakan pengepungan dari Singosari. Namun, rencana tersebut terhambat oleh kondisi medan yang sulit, termasuk jembatan-jembatan yang terlalu sempit untuk dilalui kendaraan militer.
Pasukan Belanda, yang terdiri dari infanteri dan satuan Zeni, terpaksa berjalan kaki menuju Blimbing, melewati sawah-sawah di kiri kanan jalan utama demi menghindari ranjau darat. Namun, ketika tiba di Desa Arjosari, mereka kembali menghadapi perlawanan sengit dari pasukan TNI dan Marinir Indonesia. Serangan mendadak dengan tembakan senapan mesin menyebabkan kerugian besar di pihak Belanda, dengan banyak prajurit yang gugur dan terluka.
Peristiwa ini menunjukkan betapa gigihnya perlawanan yang diberikan oleh pasukan Indonesia, yang meskipun berada dalam posisi yang sulit dan memiliki persenjataan yang terbatas, tetap mampu menghadapi kekuatan militer yang lebih besar. Dengan semangat juang yang tinggi dan strategi gerilya yang cerdas, mereka berhasil memperlambat dan memberikan kerugian signifikan kepada pasukan Belanda. Pertempuran di sekitar Malang ini menjadi salah satu simbol perlawanan rakyat Indonesia yang tak pernah surut dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Belanda berpatroli mencari pejuang Republik |
Setelah Agresi Berakhir
perubah Tatanan Pemerintah
Pada tanggal 22 Juli 1947, ketika Belanda berusaha untuk menjajah kembali Indonesia, meletuslah perang yang dikenal sebagai Clash I. Perang ini memaksa pemerintahan daerah beserta perangkatnya untuk mengungsi keluar kota. Kondisi ini membuat situasi pemerintahan menjadi tidak stabil, dan dari tahun 1947 hingga 1950, pemerintahan dijalankan oleh Federasi, sebuah periode yang penuh dengan tantangan dan ketidakpastian.
Namun, semangat dan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan tidak pernah pudar. Pada tanggal 2 Maret 1950, pemerintah daerah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Walikota M. Sarjono Wirjohardjono akhirnya kembali dari pengungsian. Mereka kembali menempati Balai Kota Malang, menandai kembalinya pemerintahan yang sah di bawah naungan Republik Indonesia.
Dengan kembalinya pemerintahan, Kota Madya Malang dan Kabupaten Malang mulai dibangun kembali, dan pemerintahan dijalankan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Proses pemerintahan ini terus berkembang, dan pada akhirnya, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah diberlakukan, mengatur pemerintahan daerah hingga saat ini.
Kembalinya pemerintahan Republik Indonesia di Malang merupakan simbol kemenangan atas penjajahan dan bukti nyata bahwa semangat kemerdekaan tak pernah padam. Ini adalah momen penting dalam sejarah Malang yang memperlihatkan keteguhan hati para pemimpin dan rakyat dalam memperjuangkan kedaulatan bangsa.