Penemuan Candi BURENG


RUNTUHAN CANDI TUA
di SUMBER SIRAH - MBURENG 
GONDANGLEGI - MALANG











Penemuan Candi ini adalah salah satu hal yang bisa menjawab keraguan tentang peninggalan kerajaan Tumapel era Sri Rangga Rajasa / Girinahtaputra / penjelmaan Bhatara Shiwa dengan cara merebut tahta dari raja Kadiri. lalu diteruskan sampai anak turunya sang Rajasa, pada saat pemindahan Kutharaja (Tumapel Kasepuhan) ke tempat baru Singga-sari (Tumapel Kanoman) dilakukan pada saat pemerintahan raja Wisnuwardhana dan berakhirnya pada saat raja Kertanegara  dipuncak kejayaan dikudeta oleh besannya sendiri dari kerajaan bawahan yang bernama kerajaan Kediri.

Kerajaan Tumapel memang sudah berakhir, tetapi darah Sri Rangga Rajasa masih berlanjut dengan pernikahan putri dari raja Kertajaya dengan Dyah Wijaya,  yang akhirnya mendirikan kerajaan Majapahit. Dinasti Sri Rangga Rajasa, yakni dinasti yang menurunkan raja-raja Tumapel/Singhasari dan Majapahit hingga abad ke-16. Para raja Demak, Pajang, dan Mataram Islam, juga merupakan keturunannya.

Sejarah tersebut bisa kita anggap  penting untuk ilmu mengetahui tentang keberadaan kerajaan Tumapel Kasepuhan dan Tumapel Kanoman karena ketemunya bukti sejarah telah berpacu dengan pembangunan tata ruang daerah yang cepat dengan munculnya gedung-gedung dan rumah tempat tinggal di Malang Raya, sehingga lahan sejarah terpendam bisa semakin sulit ditemukan,















  



Serat Pararaton dan Serat Negarakertagama,
sebagai landasan keberadaan Telaga Bureng yang telah digambarkan 
Keindahan Bureng seperti telaga tergumpal airnya jernih, Kebiru-biruan, di tengah candi karang bermekala, Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga, Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan. 
(pupuh 38 - 1)

Tinjauan Telaga Bureng dari SERAT PAPARATON,
tentang sejarah awal berdirinya kerajaan Tumapel, yang menggunakan nama-nama desa tua, yakni


Tinjauan Telaga Mbureng dari SERAT NEGARAKERTAGAMA tentang perjalanan raja HAYAMURUK ke leluhur Majapahit di SINGGOSARI, yang dituangkan dalam pupuh-pupuh sebagai berikut :

 PUPUH III 

1.     Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Rajapatni Setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat Ayahanda Baginda raja yalah Sri Kertawardana raja Keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja.

2.     Ayahnya Sri Baginda raja bersemayam di Singasari[1] Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara Mahir mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.


PUPUH XXXV

1.     Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan[2], Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang, Ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan, Segera Baginda menuju kota Singasari bermalam di balai kota.

2.     Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan ingin terus melancong, Menuju asrama Indarbaru yang letaknya di daerah desa Hujung[3], Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama, Lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.

3.     Isi piagam: tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara, Begitu pula sebagian Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung, Isi piagam membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura, Bila telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke Indarbaru.

4.     Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama, Karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari, Habis menyekar di candi makam, Baginda mengumbar nafsu kesukaan, Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru[4], Kasurangganan[5] dan Bureng[6].


PUPUH XXXVI

1.     Pada subakala Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan[7], Akan berbakti kepada makam batara bersama segala pengiringnya, Harta, perlengkapan, makanan, dan bunga mengikuti jalannya kendaraan, Didahului kibaran bendera, disambut sorak-sorai dari penonton.

2.     Habis penyekaran, narapati keluar, dikerumuni segenap rakyat, Pendeta Siwa-Buda dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau, Tidak diceritakan betapa rahap Baginda bersantap sehingga puas, Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah.


PUPUH XXXVII 

1.     Tersebut keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara, Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar, Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya, Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.

2.     Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah, Seperti gunung Meru[8], dengan arca batara Siwa di dalamnya, Karena Girinata putera disembah bagai dewa batara, Datu-leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.

3.     Sebelah selatan candi makam ada candi sunyi terbengkalai[9], Tembok serta pintunya yang masih berdiri, berciri kasogatan, Lantai di dalam, hilang kakinya bagian barat, tingggal yang timur, Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah.

4.     Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata, Terpencar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman, Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor tanahnya, Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.

5.     Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu-pucat, Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung, Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu, Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya.

6.     Sedih mata yang memandang, tak berdaya untuk menyembuhkan, Kecuali Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk, Beliau mashur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagad, Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan batara.

7.     Tersebut lagi, paginya Baginda berkunjung ke candi Kidal, Sesudah menyembah batara, larut hari berangkat ke Jajago, Habis menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan, Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.

 

PUPUH  XXXVIII

1.     Keindahan Bureng telaga tergumpal airnya jernih, Kebiru-biruan, di tengah candi karang bermekala, Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga, Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan.

2.     Terlewati keindahannya; berganti cerita narpati, Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi, Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang, Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang.

3.     Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa, Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan, Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana, Pengawas candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi.

4.     Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan, Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur, Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur, Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru k’insafannya.

5.     Tamu mendadak diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai, orang bahagia, pujangga besar pengiring raja Pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?”

6.     Maksud kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur, Para raja yang dicandikan, masih selalu dihadap, Ceriterakanlah mulai dengan Batara Kagenengan, Ceriterakan sejarahnya jadi putra Girinata.


PUPUH XLI

1.     Batara Anusapati, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan, Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti, Tahun Saka perhiasan gunung Sambu (1170) beliau pulang ke Siwaloka, Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi makam Kidal.

2.     Batara Wisnuwardana, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan, Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah negara, Beliau memusnahkan perusuh Linggapati serta segenap pengikutnya, Takut semua musuh kepada beliau, sungguh titisan Siwa di bumi.

3.     Tahun Saka rasa gunung bulan (1176) Batara Wisnu menobatkan puteranya, Segenap rakyat Kediri - Janggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia, Raja Kertanagara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya, Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama praja Singasari.

4.     Tahun Saka awan sembilan mengebumikan tanah (1192) raja Wisnu berpulang, Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Buda, Sementara itu Batara Narasingamurti pun pulang ke Surapada, Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa mahadewa.

5.     Tersebut Sri Baginda Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat, Bersama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192), Tahun Saka muda bermuka rupa (1197) Baginda menyuruh tundukkkan Melayu, Berharap Melayu takut kedewaan beliau, tunduk begitu sahaja.







Kepanjen, 28-08-2020
Artikel : Agung Cahyo Wibowo


0 komentar anda:

ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo