TAPAK TILAS
SEJARAH KEPANJEN-MALANG
Zaman kejayaan Belanda di Malang pada abad ke-19 membawa nuansa sejarah
yang kaya dan memikat, meliputi cerita perjuangan dan keteguhan dalam menghadapi penjajahan.
Di awal masa pemerintahan Kesultanan Yogyakarta, hubungan harmonis antara penguasa dan rakyat terjalin meski Belanda menerapkan sistem pemerintahan Residen di Yogjakarta. Melalui teguhnya penerapan nilai-nilai Islam dalam sistem kerajaannya, Sultan berhasil memberikan rasa nyaman dan keberkahan bagi rakyatnya yang merasa terlindungi.
Pada masa kepemimpinan Hamengkubuwono V yang masih berusia tiga tahun, Kesultanan Yogyakarta mengalami situasi genting akibat campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahannya yang sangat menghargai adat dan leluhur. Pemasangan patok di tanah makam leluhur dan penerapan pajak serta kerja paksa yang menindas rakyat memicu amarah Pangeran Diponegoro dan rakyat yang terpukul. Seperti kayu kering yang disiram minyak dan dilempar api, api kemarahan pun cepat membara dan membakar semangat perlawanan, meletusnya perang Jawa pada tahun 1825 sebagai akibat dari peristiwa tersebut
Perjuangan Pangeran Diponegoro tidak lahir dari hasrat pribadi semata, namun juga berdasarkan wejangan bijak yang diterimanya dari pamannya, GPH Mangkubumi. Diarahkan untuk mengumpulkan kekuatan perang, Pangeran Diponegoro pergi ke Tegalrejo dan mendirikan markas di sebuah gua yang tersembunyi di dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul. Dari sana, api semangat perlawanannya berkobar dalam setiap langkahnya.
Pada mulanya, Belanda sering menelan kekalahan dalam pertempuran melawan
pasukan Diponegoro. Namun, pada tahun 1827, Belanda mengubah strategi
perangnya dengan menggunakan sistem benteng yang sangat kuat, sehingga
membuat pasukan Diponegoro terjepit dan terdesak. Pada tahun 1829,
ketika Kyai Maja ditangkap, Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya
Sentot Alibasya menyusul tak lama setelahnya. Kemudian, pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang, dan Pangeran Diponegoro bersiap untuk menyerah dan melakukan
perjanjian. Namun, Belanda mengkhianati perjanjian tersebut dengan
menangkap Pangeran Diponegoro dan mengasingkannya ke Manado, diikuti
dengan penangkapan dan pengejaran para pangeran yang mendukung perang
Jawa. Sebuah tragedi yang menyedihkan dari sejarah negeri ini
Berdirinya Karisidenan Pasuruan (1819)
Belanda membagi wilayah Karisidenan di Jawa sebagai berikut :
1. Banten, 10. Jakarta, 19. Bogor,
1. Banten, 10. Jakarta, 19. Bogor,
2. Priangan, 11. Krawang, 20. Surabaya,
3. Cirebon, 12. Tegal, 21. Banyuwangi,
4. Semarang, 13. Kedu,
5. Surakarta, 14. Jepara dan Juana,
6. Pasuruan, 👈 15. Besuki,
7. Madura 16. Rembang,
8. Sumenep, 17. Pekalongan
9. Gresik. 18. Yogyakarta
Di tengah gemerlap Karisiden, sang residen terangkat sebagai raja atas penjajahan tertinggi, tampil sebagai perwakilan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di wilayah kekuasaannya. Ia pun menjadi simbol kekuasaan Belanda di keresidenannya, memegang segala kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tanpa cela dan batas yang mengikat
Untuk menggambarkan situasi pemerintahan khusus dengan berdirinya Karisedenan Pasuruan maka, 3 kadipaten dijadikan menjadi satu yakni :
1. Kadipaten Pasuruan,
2. Kadipaten Bangil,
3. Kadipaten Malang,
Wilayah Karisidenan Pasuruan yang sebagai pusat pemerintahannya terletak di kota
Pasuruan. Menurut peta terletak di selatan Malang dan berada di utara Sungai Brantas
(sekarang menjadi sungai belakang balai kota Malang). Letaknya tidak
jauh dari garnisun/benteng Belanda (sekarang menjadi RSUD Syaiful Anwar,
di Celaket), yang dibangun pada tahun 1767 Masehi setelah usai
pemberontakan Untung Suropati dan gugurnya Pangeran Singosari.
Pembentukan Wilayah Kadipaten Malang (1819 - 1923)
Dengan terbunuhnya pangeran Singosari pada 1767, Belanda mengambil alih
pemerintahan Singosari dari tangan kesultanan dengan alasan tidak mampu
menjamin keamanan dan ketertiban di daerah itu. Kemudian, Kadipaten
Malang secara resmi dibentuk oleh pemerintahan Belanda. Meskipun belum
ada tanggal pasti mengenai pembentukan Kadipaten Malang, dapat
diasumsikan bahwa hal itu terjadi antara tahun 1819 hingga 1823.
Awalnya, Kadipaten Malang terdiri dari:
1. Distrik Ngantang
2, Distrik Penanggoengan3. Distrik Karanglo
4. Distrik Pakis
5. Distrik Malang/Singgosari
6. Distrik Gondanglegi (masih hutan)
Pengembangan wilayah Kadipaten Malang berkembang ke wilayah Malang, selatan, yakni :
7. Distrik Sengguruh (1886) 👈
8. Distrik Toeren (1887)
"Cerita dari Leluhur,
membawa pesan berharga tentang kebijaksanaan dan ketabahan dalam menghadapi lika-liku kehidupan"
Penggalian data ini dilakukan dengan cara wawancara langsung pada sesepuh keluarga atau orang lain yang mengerti tapak tilas perjalanan hidup Cangga dan Buyut kami. Penggalian ini boleh dikatakan terlambat karena sumber informasi data didapat dari generasi 4 (bapak-ibu) dan generasi 3 (mbah) yang saat itu masih hidup dan aktif mengikuti pertemuan keluarga besar. Menurut keterangan kedua generasi tersebut, nama Cangga Singo Prawiroyudha atau Buyut Darmoredjo bukanlah nama asli sejak kecil, melainkan hanya julukan yang diberikan oleh teman-teman beliau saat mereka pindah untuk menghilangkan jejak. Menurut keterangan dari generasi ke-3 (mbah), saat ditanya oleh anak-anaknya (bapak-ibu), beliau hanya menjawab, "Sssstt mboten pareng tangglet asmane mbah ya... bahaya.
Karena nama-nama beliau masih menjadi misteri, kami memutuskan untuk
menggunakan nama panggilan keluarga yang akrab, yaitu Canggah Singo dan
Buyut Darmoredjo.
Cangga Singo Prawiroyudho
Canggah Singo, yang berasal dari Kutho Gedhe-Yogjakarta, lahir sebelum tahun 1800-an. Setelah dewasa, beliau direkrut menjadi pasukan Kesultanan Yogyakarta di era kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III. Di lingkungan keraton, Canggah Singo memiliki pengetahuan yang luas karena sering belajar agama Islam dan juga ilmu cara tata kaprawiran yang sering bersama Diponegoro
Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama kecil Raden Mas Antawirya,
semakin memperdalam ajaran Islam-Toriqot (ilmu batin) dan semakin
menjadi fanatik. Hal ini membuatnya dianggap mengabaikan hubungannya
dengan keraton dan semakin tidak menyukai gerak-gerik kaum kafir,
terutama bangsa Belanda.
Dukungan semangat menegakkan syariat Islam oleh Pangeran Diponegoro
telah diperkuat dengan bergabungnya seorang tokoh agama Surakarta
bernama Kyai Maja ke dalam pasukan Gua Selarong. Keikutsertaan Kyai Maja
memiliki pengaruh yang sangat besar karena beliau memiliki banyak
pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Selain Kyai Maja, perjuangan
Diponegoro juga didukung oleh Raden Tumenggung Prawiradigda atau Bupati
Gagatan dan Sunan Pakubuwono VI.
Pemerintahan keraton yang dipegang oleh Patih Danureja dan Residen
Belanda pada awalnya menjadi pemicu perang Jawa 1825-1830. Meskipun
terjadi penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro, yang oleh Belanda
dianggap dapat meredakan peperangan di wilayah Jawa Tengah, semangat
perlawanan melawan penjajah tidak surut. Bahkan, perlawanan semakin
meluas dengan cara bersembunyi, menyusun kekuatan, dan menyerang Belanda
saat pertahanan sedang lengah, dengan menggunakan pasukan kecil agar
serangan bisa dilakukan secara mendadak dan bersembunyi.
Perang yang semakin meluas dan luasnya area perang membuat Belanda
merasa tidak aman dan mengalami pembengkakan biaya perang. Untuk
menghadapi perang yang semakin sulit, Belanda akhirnya perlu mengangkat
serdadu pribumi, yang dikenal dengan istilah Londo Blangkonan atau Londo
Gosong, dalam jumlah yang besar. Selain itu, Belanda juga perlu
menambah persenjataan yang lebih modern serta membangun benteng
pertahanan dan meningkatkan logistik, yang semuanya memerlukan biaya
yang besar. Akhirnya, pemerintah Belanda mengalami kebangkrutan di
sektor keuangan akibat perang yang terus berlanjut dan biaya yang
semakin membengkak
Para pendukung Diponegoro melakukan perlawanan secara menyebar ke wilayah-wilayah pedalaman atau pinggiran kota di Jawa dengan tujuan untuk memperluas wilayah persembunyian dan meminta bantuan kepada penduduk yang dianggap mendukung perjuangan Diponegoro. Salah satu pendukung yang ikut berjuang adalah Cangga Singo yang bersembunyi di wilayah 👉 Sengguruh. Menurut perhitungan penulis berdasarkan usia dan tahun meninggal, Cangga Singo diperkirakan hampir bersamaan dengan Mbah Zakaria.
Menurut cerita seorang mbah yang rumahnya disekitar Gribik Malang,
Canggah Singo datang ke Brang Wetan awalnya tinggal di hutan di daerah
Balitar bersama teman seperjuangannya bernama Imam Supardjo atau nama
aslinya Ahmad Yakin. Mereka tinggal dan membuka desa yang sekarang
dikenal sebagai desa Bumiaji. Di desa ini, mereka melatih beberapa
prajurit baru dari orang lokal untuk melanjutkan perjuangan di wilayah
Balitar.
lanjut cerita mbah yang saat itu sudah berusia 67 tahun,
Setelah berada di perbatasan Balitar dengan Sengguruh, tepatnya di
sungai Supit Urang, sungai Brantas, dan sungai Lahor, Canggah Singo dan
pasukannya berhenti di sebuah perkampungan kecil yang disebut
Sumberpucung. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Blimbing -
Sumbermanjing Kulon. Ternyata di daerah ini banyak pendukung
Diponegoro, dan Belanda kesulitan untuk mendeteksi pasukan Diponegoro
karena letaknya di tengah hutan lebat dan masih banyak binatang buasnya.
Setelah tinggal beberapa saat, Cangga Singgo dan beberapa teman
melanjutkan perjuangannya menuju ke pusat keramaian di wilayah
Sengguruh, yakni di Kepanjen.
Mengapa Cangga Singgo memilih berdiam di Kepanjen - Sengguruh ..?
Cangga Singo Prawiro Yudha tiba di Kepanjen pada masa ketika Pangeran
Diponegoro ditangkap oleh penjajah Belanda. Sang pangeran yang berani
itu ditipu dalam perundingan di mana ia dijanjikan pembebasan bagi
pasukan yang telah ditawan. Namun, Belanda justru mengkhianati janjinya
dan memenjarakan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, pasukan Diponegoro,
termasuk Cangga Singo yang merupakan pasukan inti dari Keraton Sultan
Hamengkubuwana III, juga terancam ditangkap dan dipenjarakan. Pasukan
tersebut akhirnya diperintahkan untuk menyelamatkan diri dengan meminta
perlindungan di Kadipaten sekutunya yang berada di selatan lereng Gunung
Kawi.
Dengan seringnya Belanda melakukan penangkapan disertai dengan
pembunuhan, maka pejuang Sabillilah ini segera menyesuaikan keadaan,
yaitu menggunakan sistem pertahanan "menghindari, bersembunyi,
menghimpun kekuatan, musuh lengah diserang". Dalam masa persembunyian
ini, Cangga Singo mendapat perlindungan dari kyai sepuh pimpinan
padepokan tua yang bernama padepokan "Tunggul Wulung". Padepokan tua ini
terletak di antara timur sungai Metro dan barat sungai Sukun-Kepanjen.
Mereka tinggal di dalam gubuk sederhana dekat sumber Metro. Daerah yang
tersembunyi ini memang cukup efektif untuk persembunyian karena jika
musuh akan masuk wilayah ini, harus melalui sungai dan pohon-pohon yang
sangat lebat.
Sebagai seorang yang pernah dipercaya memimpin pasukan Mataram, tentunya
Cangga Singo sudah dibekali kemampuan sebagai seorang tilik sandi serta
kemampuan mengatur strategi dan mengoordinir perlawanan. Saat awal
kedatangan beliau, pertempuran antara pasukan pribumi dengan pasukan
Belanda di tepi Brantas dekat garnisun/benteng masih terjadi. Pasukan
Belanda berada di Benteng utara sungai Brantas, sedangkan pasukan
Pribumi berada di selatan Brantas. Kadangkala juga terjadi korban yang
meninggal, meskipun dalam jumlah kecil..
Di hari-hari ketika Cangga Singo bersembunyi, dia diberi kesempatan oleh
sesepuh pondok untuk melatih ilmu kanuragan dan ilmu keprajuritan
kepada santri-murid padepokan tersebut yang didampingi oleh guru muda.
Kegiatan ini membuat Cangga Singo lebih mudah menyesuaikan diri dengan
situasi dan keadaan yang sedang kosong kepemimpinan Kadipaten Sengguruh.
Oleh karena itu, dia perlu selalu memberikan informasi dan koordinasi
kepada pendukung kesultanan Jogjakarta agar mereka tidak mendukung
Keraton Solo yang mendukung pemerintah Belanda.
Karena dianggap mumpuni dan mendukung perjuangan pribumi Jawa, Cangga
Singo sering diminta oleh sesepuh padepokan untuk mendampingi mereka
dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh penting Sengguruh.
Pertemuan-pertemuan rahasia dengan teman seperjuangan asal Yogjakarta
juga sering dilakukan dengan koordinator yang berada di Gunung Kawi,
Pakisaji, Sengguruh, Wagir, Kendalpayak, Sumbermanjing, Turen, Kebalen,
lereng Gunung Semeru, dan Balitar. Tugas penting untuk menginventarisasi
kekuatan dan menyusun strategi melawan Belanda dipercayakan pada Cangga
Singo. Gelar "Singo" adalah gelar yang diberikan pada seseorang yang
dipercaya untuk memimpin beberapa wilayah desa, dan diberikan pada era
setelah Diponegoro tertangkap. Gelar jabatan ini dianggap sebagai
seorang pemimpin pemberontakan yang pasti akan dihukum mati jika
tertangkap oleh serdadu Belanda, tetapi Cangga Singo tetap melakukan
tugasnya dengan tulus dan penuh keberanian. Pertempuran untuk melawan
Belanda selalu dilakukan dengan jangkauan yang semakin melebar, misalnya
dengan memberi bantuan pasukan dari daerah lain atau menyerang benteng
pertahanan Belanda di Malang.
Setelah tinggal beberapa tahun di Kepanjen, Cangga Singo berkenalan
dengan seorang perempuan yang tinggal di sekitar padepokan dan tidak
lama kemudian menikah untuk membangun rumah tangga dan tinggal di
sekitar timur Sungai Sukun Kepanjen. Dalam pernikahannya, mereka
dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama 👉 Larasati. Nama putri
Larasati diberikan oleh Cangga Singo kakung dan putri karena mereka berharap dalam perilaku selalu selaras antara pikiran, tujuan, dan selaras juga dengan hati untuk berjuang melawan
penjajah.
Pada tanggal 8 Januari 1855, seluruh pejuang Sabilillah terkejut
mendengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro telah wafat di Benteng
Rotterdam, tokoh yang dianggap sebagai "jimat" atau simbol perjuangan
melawan Belanda. Dengan adanya kabar tersebut, perjuangan semakin
melemah dan sisa-sisa pasukan serta para pangeran banyak yang melarikan
diri ke kota-kota yang dianggap aman. Hal ini membuat Belanda lebih
mudah untuk memperluas ke wilayah pedalaman, khususnya Malang, dengan
cara yang tidak loyal pada pemerintahan Belanda atau hanya bersifat
lokal.
Para bangsawan Eropa, khususnya Belanda, semakin mencengkeram wilayah
Jawa dengan menjalankan taktik perang "De Vide in Imper", yang lebih
dikenal dengan politik adu domba antara bangsawan seperti Kesultanan
Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta.
Dalam masa pelarian, Cangga Singo menyamar menjadi seorang "petani
kebun" dan berjanji untuk menutup identitas diri agar tidak dikenali
orang lain. Tugas khusus yang diberikan oleh Kesultanan Jogjakarta
terputus karena situasi. Sedikit gambaran tentang kehidupan Cangga
Singgo yaitu beliau adalah seorang agamis, cerdik, berwawasan, dan
seorang pendekar yang pilih-tanding. Bila berhadapan dengan orang,
dengan menggunakan suaranya yang dikeraskan untuk mengertak lawan, pasti
hati orang yang berhadapan akan gemetar ketakutan.Cerita didalam kehidupan rumah tangga, canggah Singo sering bepergian beberapa minggu untuk keluar dengan cara menyamar sebagai tukang cari kayu dihutan dan dirumah timur sungai Sukun sering kedatangan tamu yang sedang menyamar dan tinggal dirumah untuk beberapa saat, kalau menginap dalam waktu lama maka dipersilahkan tinggal di padepokan.
Perkiraan keterangan keluarga menyatakan bahwa Canggah Putri Singo
meninggal dunia lebih dulu dalam usia tua, sedangkan Canggah Singo
meninggal dunia sebelum tahun 1890 dalam usia tua juga. Keduanya
kemudian dimakamkan di Makam Keluarga yang terletak di jalan Punten,
Kepanjen-Malang..
Buyut Darmoredjo
Setelah Kompeni Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, pemerintahan Belanda semakin menekan para penguasa dan bangsawan pribumi agar tidak menentang pemerintahan penjajah Belanda. Jika mereka berani melanggar, maka akan menerima sanksi berat atau hukuman mati. Dalam situasi perang yang belum berhenti, Belanda curiga pada semua pangeran yang tinggal di sekitar pesisir pantai utara Jawa Tengah. Oleh karena itu, Belanda telah melakukan penyebaran mata-mata dan melakukan blokade di sekitar tempat tinggal pangeran yang dicurigai.
Pacitan, Demak, Surabaya, Lamongan, Pasuruan dan sebagainya, maka perkembangannya pada tahun 1832 hampir semua Adipati menyatakan tunduk kepada Belanda.
Sebelum membahas buyut Darmoredjo sebaiknya kita ketahui dulu fase gelombang para pelarian pasukan Diponegoro ke kadipaten Sengguruh, yakni :
- Gelombang pertama saat Diponegoro belum ditangkap.
- Gelombang kedua saat Diponegoro tertangkap (1830)
- Gelombang ketiga saat Diponegoro meninggal (1855)
Dengan mengetahui fase tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Buyut
Darmoredjo telah berhasil menghindari penangkapan oleh Kompeni Belanda
dengan pergi ke daerah pedalaman, tepatnya di lereng Gunung Kawi, untuk
meminta perlindungan kepada "saudara sepuh dari leluhur". Kedatangannya
diperkirakan sebelum Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo wafat, yaitu
sekitar tahun 1840-1850.
Mengapa Buyut Darmoredjo memilih berdiam di Kepanjen-Sengguruh..?
Buyut Darmoredjo datang ke Kepanjen karena tempat kelahirannya di
wilayah Demak sudah tidak nyaman lagi. Hal ini disebabkan oleh
kecurigaan Belanda dan faktor aturan yang semakin tidak menguntungkan
pribumi, seperti munculnya berbagai pajak yang besar, terjadinya kerja
paksa pada rakyat Jawa, dan merendahkan kehormatan bangsawan pribumi.
Demak menjalankan sistem pemerintahan Islam dan masih memiliki keterkaitan sejarah dengan wilayah Kesultanan Yogyakarta. Hal ini membuat keluarga bangsawan dan rakyat yang tinggal di wilayah Demak semakin tidak menentu, karena setiap gerak-gerik mereka diawasi oleh mata-mata Belanda. Keadaan ini mengakibatkan pribadi atau keluarganya yang masih atau pernah terlibat perang Diponegoro pasti ingin meninggalkan dan pindah ke tempat yang lebih aman.
Agar bisa tetap melanjutkan perjuangan berjihad melawan kedholiman dari penjajah, akhirnya buyut Darmoredjo memberanikan diri untuk berpamitan kepada Romo dan Ibu. Saat itu, lelaki tersebut memiliki sifat sabar, dermawan, pemberani, dan masih belia.
Demak menjalankan sistem pemerintahan Islam dan masih memiliki keterkaitan sejarah dengan wilayah Kesultanan Yogyakarta. Hal ini membuat keluarga bangsawan dan rakyat yang tinggal di wilayah Demak semakin tidak menentu, karena setiap gerak-gerik mereka diawasi oleh mata-mata Belanda. Keadaan ini mengakibatkan pribadi atau keluarganya yang masih atau pernah terlibat perang Diponegoro pasti ingin meninggalkan dan pindah ke tempat yang lebih aman.
Agar bisa tetap melanjutkan perjuangan berjihad melawan kedholiman dari penjajah, akhirnya buyut Darmoredjo memberanikan diri untuk berpamitan kepada Romo dan Ibu. Saat itu, lelaki tersebut memiliki sifat sabar, dermawan, pemberani, dan masih belia.
Dengan didampingi oleh abdi yang bernama mbah Gudang sekalian dan saudara laki-lakinya, buyut Darmoredjo memiliki dukungan dan perlindungan yang kuat dari orang-orang terdekatnya juga sangat penting dalam menjalankan perjuangan melawan kedholiman penjajah.
Dalam perjalanannya menuju Bang Wetan rombongan kecil tersebut menyamar sebagai rakyat biasa, mereka melewati jalur sungai dan pegunungan untuk menghindari mata-mata kompeni, setelah sampai di sekitar wilayah Tulungagung akhirnya rombongan kecil tersebut berhenti dan tinggal beberapa saat untuk berfikir dan mencari informasi, dimana kira-kira tempat yang bisa dipakai untuk bersembunyi, akhirnya mereka mendapat informasi yaitu :
Pertama : Wilayah Ngantang, Penaggungan, dan Sengguruh merupakan tempat yang aman dan banyak digunakan sebagai tempat persembunyian oleh orang-orang yang anti Belanda.
Kedua : Belanda berhasil menguasai wilayah utara sungai Brantas, termasuk Singosari, Lawang, Bangil, dan Pasuruan. Kemudian mereka membangun Benteng pertahanan di bukit Celaket. Setelah itu, hanya beberapa orang Belanda dan serdadu bayaran dari orang-orang pribumi yang tetap berada di wilayah tersebut, di bawah kendali Sultan Surakarta (Solo). Saat itu, wilayah Karisidenan Pasuruan yang sebagian besar berupa hutan lebat memiliki sedikit lahan pertanian. Bisa digambarkan sulitnya jalur menuju daerah Singosari harus menempuh jalur hutan lebat, kira-kira membutuhkan waktu selama 2 hari dengan cara berjalan kaki atau berkuda.
Dalam perjalanannya menuju Bang Wetan rombongan kecil tersebut menyamar sebagai rakyat biasa, mereka melewati jalur sungai dan pegunungan untuk menghindari mata-mata kompeni, setelah sampai di sekitar wilayah Tulungagung akhirnya rombongan kecil tersebut berhenti dan tinggal beberapa saat untuk berfikir dan mencari informasi, dimana kira-kira tempat yang bisa dipakai untuk bersembunyi, akhirnya mereka mendapat informasi yaitu :
Pertama : Wilayah Ngantang, Penaggungan, dan Sengguruh merupakan tempat yang aman dan banyak digunakan sebagai tempat persembunyian oleh orang-orang yang anti Belanda.
Kedua : Belanda berhasil menguasai wilayah utara sungai Brantas, termasuk Singosari, Lawang, Bangil, dan Pasuruan. Kemudian mereka membangun Benteng pertahanan di bukit Celaket. Setelah itu, hanya beberapa orang Belanda dan serdadu bayaran dari orang-orang pribumi yang tetap berada di wilayah tersebut, di bawah kendali Sultan Surakarta (Solo). Saat itu, wilayah Karisidenan Pasuruan yang sebagian besar berupa hutan lebat memiliki sedikit lahan pertanian. Bisa digambarkan sulitnya jalur menuju daerah Singosari harus menempuh jalur hutan lebat, kira-kira membutuhkan waktu selama 2 hari dengan cara berjalan kaki atau berkuda.
Ketiga : Setelah terbentuknya pemerintahan Karisidenan Pasuruan, pada awal abad ke-18, pemerintahan Ketemenggungan pun didirikan. Pada awalnya, pemerintahannya hanya dipimpin oleh seorang Patih. Namun, setelah beberapa tahun berlalu, pemerintahan tersebut akhirnya dipimpin oleh seorang Tumenggung keturunan Cina dari keluarga Han (dinasti). Kantor Ketemenggungan saat itu berlokasi di Kota Lama, tempat Ketemenggungan saat itu terletak di selatan Kuil-Klenteng Malang sekarang.
Setelah mengetahui informasi diatas akhirnya rombongan kecil ini membagi dua kelompok, yaitu kelompok Buyut Darmoredjo menuju arah 👉 "bukit Selorejo wilayah Sengguruh" dan kelompok lainnya menuju arah "bukit Selorejo wilayah Ngantang", menurut mereka bukit Selorejo adalah bukit terjal yang tidak berpenghuni dan sering digunakan sebagai benteng pertahanan alam.
Setelah selesai mempersiapkan perbekalan, mereka berangkat dengan melewati hutan belantara yang berada di lereng Pegunungan Kendeng. Hutan tersebut sangat lebat dan masih banyak dihuni oleh binatang liar seperti harimau Jawa, kera, babi hutan, kijang, ayam hutan, dan ular. Akhirnya, mereka berhasil mencapai tujuan mereka, yaitu Bukit Selorejo yang merupakan sebuah bukit kapur. Di sana, mereka memahami situasi barat Gunung Kawi yang sudah tergolong ramai karena untuk mencapai Gunung Kawi harus melewati desa-desa di tengah hutan yang penduduknya hanya beberapa keluarga.
Saat tiba di Kepanjen, buyut Darmoredjo datang ke tempat penampungan sementara di Padepokan Tunggul Wulung yang terletak didekat Sungai Metro Kepanjen. Selama tinggal di padepokan, beliau sering belajar di tempat tinggal canggah Singgo. Menurut ceritanya rumah cangga Singo pada waktu itu sering didatangi tamu yang ingin diantar ke tokoh penting Mantaram pujuang era Diponegoro yang berada di sekitar Gunung Kawi dan Gunung Semeru untuk membahas soal-soal penting yang berkaitan dengan perjuangan rakyat melawan Kompeni Belanda.
Munngkin karena seringnya buyut Darmoredjo bersama cangga Singo dalam perjuangan melawan penjajah Belanda di Malang, akhirnya mbah Darmorejo dipercaya dan dinikahkan dengan putrinya bernama 👩 Larasati, (kelahiran di Kepanjen) dan 👨 Buyut Darmoredjo (kelahiran dari kota Demak).
Buyut Darmoredjo dan buyut Larasati dikaruniai : delapan anak, yaitu 👧 tujuh anak perempuan dan 👦 satu anak laki-laki. Menurut informasi keluarga kepada penulis, putra-putri mbah Darmoredjo semua tinggal di wilayah Malang dan mbah darmorrejo berpesan, bahwa anak-anaknya tidak diizinkan menjadi pegawai kadipaten, karena saat itu masih dianggap bentukan Belanda, dengan konsekwensi putra-putrinya diajari mandiri dengan diberi ilmu pedagang, guru, dan tabib (peracik jamu).
Buyut Darmoredjo dan buyut Larasati dikaruniai : delapan anak, yaitu 👧 tujuh anak perempuan dan 👦 satu anak laki-laki. Menurut informasi keluarga kepada penulis, putra-putri mbah Darmoredjo semua tinggal di wilayah Malang dan mbah darmorrejo berpesan, bahwa anak-anaknya tidak diizinkan menjadi pegawai kadipaten, karena saat itu masih dianggap bentukan Belanda, dengan konsekwensi putra-putrinya diajari mandiri dengan diberi ilmu pedagang, guru, dan tabib (peracik jamu).
Buyut Darmoredjo tidak hanya terampil dalam ilmu keprajuritan, tetapi juga mahir dalam dalam kemampuan memelihara kuda, ketrampilan menunggang kuda, trampi dalam pertukangan kayu dan bisa menjadi tabib.
Keahlian pertukangan bisa dilihat dari beberapa peninggalan dari perabot rumahnya. Sedangkan Ilmu meramu obat-obatan herbal diwariskan mbah putri Pranti, mbah Arbining dan mbah Darmowiyoto (guru), serta ilmu pertukangan diwariskan kepada putra-putra mbah Trami dan mbah-mbah putri lainnya memiliki rumah-toko tepatnya di selatan pasar Kepanjen.
Menurut keterangan bahwa buyut Darmoredjo pernah ikut serta bekerja (menyamar) bekerja di Kawedanan Kepanjen sebagai kuser Wedono pertama, dengan tujuan untuk mendapat informasi dari pemerintahah Kadiaten tentang keberadaan Belanda yang masih melakukan penekanan pada pemerintahan Tumenggung di Malang sampai berdirinya Kotapraja Malang (tahun 1914)
Mbah Canggah Singgo Prawiroyudha meninggal di usia tua dikenal dengan gelar nama baru "Singo Tomporedjo". Perjuangan beliau masih tetap diteruskan oleh Mbah Buyut Dharmoredjo. saat itu, mbah cangga Singo oleh Wedono Senggoroh pertama dijadikan orang kepercayaan dan dijdikan penasehat pribadi (sumber dari putra wedono), juga saat mengawali pemerintahan kawedanan Senggoroh. mbah Darmoredjo ikut dalam pelaksanaan pemugaran Kantor Kawedanan baru sebagai tempat tinggal, pendopo, penjara (landrat), masjid jamik, pasar Penarukan, koplaan dan alun-alun, sekitar tahun 1890-an.
Pada ahirnya ada sedikit perubahan fungsi dari lahan, yaitu lahan pasar Penarukan dan alun-alun dirubah, menjadi jalur sungai irigasi sawah untuk Kepanjen sampai dengan Sumberpucung (sungai Molek), gudang uyah dan pabrik beras.
Buyut Kakong Darmoredjo meninggal dunia pada usia tua, diperkirakan pada awal abad 20 dan dimakamkan berdekatan dengan makam Canggah Singo. Letak makam tersebut berada disebelah barat rumah punden Darmoredjo, sekitar 200 meter arah kiblat.
Makam Keluarga terletak di tepi jalan Punten Kepanjen, sedangkan dibelakang atau barat makam keluarga diwakafkan untuk
dijadikan "makam umum" untuk warga Kepanjen. sekarang menjadi Malam di jalan Punten. ...............(klik)
Nara Sumber
dari Keluarga Dekat
Bapak Pitono bin Sudarmo binti Rupiah
(umur saat
wawancarah : lebih dari 70 tahun)
hubungan
Kel. : Cucu - Keluarga Dalam
Sumber
Info : Ibu Rupiah
ceritanya
sebagai berikut.
- "bahwa Mbah buyut singo
mempunyai ilmu kesaktian, salah satunya, kalau marah kekuatan membuat
lawanya takut tak berdaya".
- tambah lagi, Buyut Darmoredjo
dan Canggah Singgo sering mendapat tamu dari orang asing, yang bukan
berasal dari Kepanjen, kemungkinan teman seperjuangannya dulu ".
- Buyut Darmoredjo mempunyai
wajah lancap berwibawaannya, orangnya sabar dan suka memberi.
Bapak
Sumardiatmodjo bin Abdulah
bin Lastri
(umur saat
wawancarah : lebih dari 75 tahun)
Hubungan :
Cucu - Keluarga Luar (cucu mantu)
Sumber info
: Mbah Lastri (Ibunya)
ceritanya
sebagai berikut.
- “Hubungan keluarga Kepanjen
Darmoredjo masih ada erat dengan Buyut Putri Lastri istri Wedono
pertama Sengguruh di Kepanjen (anak Breh Kerto wedono tebasan
Tumpang), beliau tidak mempunyai anak dengan istri pertamanya,
akhirnya menikah lagi dan mempunyai anak. Buyut putri dipanggil "Ibu
Sepuh" makamnya di penarukan.
- Hubungan dengan Makam Jenggolo
- Sengguruh. tentang Riwayat keluarganya Dharmoredjo ini masih ada hub.
dengan makam Mbah Rekso. Keris Pusaka yang dimiliki kedua keluarga dari
keluarga Tumpang dan Keluarga Kepanjen, mempunyai ciri dan bentuk yang
sama.
- Buyut Tumpang ini memberi
warisan berupa Doa Salam yang ditujukan kepada yang hidup dan Gaib. Ilmu
ini diberikan oleh Wali Songo”. Do'a Salam tersebut masih dihapal oleh
beliau. Ada keris yang dibawah oleh keluarga Mudjiono Ronodiwiryo (Alm),
cucu mantu yang tinggal di Kepanjen, karena dianggap mampu
membawanya.
Ibu Sustina bin Saleh Martoutomo binti Rukmini
(umur saat
diwawncari : lebih dari 75 tahun)
hubungan
Kel. : Cucu - Keluarga Dalam
Sumber
Info : Mbah Rukmini, Budhe Mukti - alm.(kakak), Bulik
Suwarsini -Alm. (adik)
ceritanya
sebagai berikut.
- "Keluarga Darmoredjo
ini masih ada hubungan dengan mbah-mbah di Sengguruh, karena waktu kecil
yang saya tahu keluarga kepanjen sering nyekar ke Makam umum di Jenggolo
atau Sengguruh".
- Penulis juga sempat tahu
tentang cerita budhe Mukti istri dari Petinggi Kastam yang tinggal di
Gunung Kawi, tapi sayang beliau tidak mempunyai keturunan, sehingga sumber
infonya terputus.
Larasati bin Admodiardjo binti Arbining bahwa
(umur saat
wawancarah : lebih dari 65 tahun
hubungan
Kel. : Cucu - Keluarga Dalam
sumber
Info : Mbah Arbining (Ibunya)
ceritanya
sebagai berikut.
- Bulek Tatik ini adalah cucu
Buyut yang menempati rumah punden.
- "Mbah Darmo kalau keluar
rumah maksudnya keluar untuk berjuang bekal yang dibawah adalah nasi
'Karak' (nasi kering) dan air putih.
Karyadi bin Darmowiyoto binti Mujilah
(umur saat
diwawncari : lebih dari 75 tahun
hubungan
Kel. : Cucu - Keluarga Dalam
sumber
Info : Mbah Mujilah (Ibunya)
ceritanya
sebagai berikut.
"Mbah
Darmo atau buyut Singo (agak lupa) diceritakan, masih ada hubungan silsilah
leluhur dari Mataram yang "lembar tulisan" diketahui dirobek-robek,
karena saat itu takut diketahui oleh penjajah Belanda tentang
identitasnya".
Bambang putra ragil dari wedono pertama dengan istri ke dua
(umur saat
diwawancari : lebih dari 90 tahun)
hubungan
Kel. : -
Sumber
Info : Bambang
ceritanya
sebagai berikut.
- "Pak Bambang putera dari istri kedua Wedono pertama Sengguruh di Kepanjen dan saat itu sudah meninggal pada tahun 1926, beliaunya masih balita". Beliau sering mendengar cerita ibunya bahwa, nama mbah Singo adalah seorang yang disepuhkan di kawedanan Sengguruh dan mbah buyut Darmoredjo sebagai pengawal pribadi untuk kegiatan di luar kantor..
edit ke 2 Tertanggal 8/2015
edit akhir Tertanggal 9/2023