💏
Perjuangan Pangeran Diponegoro tidak lahir dari hasrat pribadi semata, namun juga berdasarkan wejangan bijak yang diterimanya dari pamannya, GPH Mangkubumi. Diarahkan untuk mengumpulkan kekuatan perang, Pangeran Diponegoro pergi ke Tegalrejo dan mendirikan markas di sebuah gua yang tersembunyi di dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul. Dari sana, api semangat perlawanannya berkobar dalam setiap langkahnya.Semangat suci jihad yang berkobar dalam diri para pejuang Jawa, dipimpin oleh Pangeran Diponegoro sebagai panglima perang dan dibimbing secara spiritual oleh Kyai Maja, membawa perlawanan frontal yang spektakuler terhadap kantor Distrik Belanda pimpinan Jenderal De Kock. Tak kurang dari 15 pangeran Jawa ikut mendukung perang ini, dengan tekad yang bulat untuk menumpas kedholiman Belanda. Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun yang penuh perjuangan, dari tahun 1825 hingga 1830, yang membuat Belanda kewalahan dan memaksanya untuk mengerahkan lebih dari 23.000 tentara.Pada tahun 1811, dimulailah peristiwa di mana penguasa lokal tidak menerima keputusan sepihak dari kerajaan Belanda mengenai perlakuan pemerintah Belanda yang membagi wilayah-wilayah di Pulau Jawa dengan sistem pemerintahan Keresidenan, yang dipimpin langsung oleh para pemimpin Belanda. Dalam sistem ini, seorang Bupati atau Raja Pribumi berada di bawah kekuasaan pimpinan kantor Residen. Pemerintahan Residen memiliki wewenang yang luas dalam bidang administrasi, pemerintahan, peradilan, dan kepolisian. Dalam bidang peradilan, perkara besar akan dibawa ke tingkat Keresidenan, sementara perkara kecil akan diselesaikan di tingkat kabupaten. Peraturan Komisaris Jenderal No. 3 yang dikeluarkan pada tanggal 9 Januari 1819 dan dimuat dalam Staatsblad No. 16 tahun 1819, memperkenalkan pembentukan dua puluh keresidenan di Pulau Jawa. Sistem pemerintahan yang dijalankan ini menjadi bagian penting dalam sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia, yang mencerminkan pengaruh kekuasaan Belanda pada masa lalu.
Semangat Raden Mas Antawirya dalam menegakkan syariat Islam, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Diponegoro setelah dewasa, diperkuat dengan bergabungnya seorang tokoh agama dari Surakarta yang bernama Kyai Maja ke dalam pasukan Gua Selarong. Keikutsertaan Kyai Maja memiliki pengaruh yang sangat besar karena beliau memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Selain Kyai Maja, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden Tumenggung Prawiradigda atau Bupati Gagatan dan Sunan Pakubuwono VI.
Pemerintahan keraton yang dipegang oleh Patih Danureja dan Residen
Belanda pada awalnya menjadi pemicu perang Jawa 1825-1830. Meskipun
terjadi penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro, yang oleh Belanda
dianggap dapat meredakan peperangan di wilayah Jawa Tengah, semangat
perlawanan melawan penjajah tidak surut. Bahkan, perlawanan semakin
meluas dengan cara bersembunyi, menyusun kekuatan, dan menyerang Belanda
saat pertahanan sedang lengah, dengan menggunakan pasukan kecil agar
serangan bisa dilakukan secara mendadak dan bersembunyi.
Perang yang semakin meluas dan luasnya area perang membuat Belanda
merasa tidak aman dan mengalami pembengkakan biaya perang. Untuk
menghadapi perang yang semakin sulit, Belanda akhirnya perlu mengangkat
serdadu pribumi, yang dikenal dengan istilah Londo Blangkonan atau Londo
Gosong, dalam jumlah yang besar. Selain itu, Belanda juga perlu
menambah persenjataan yang lebih modern serta membangun benteng
pertahanan dan meningkatkan logistik, yang semuanya memerlukan biaya
yang besar. Akhirnya, pemerintah Kompeni Belanda mengalami kebangkrutan di
sektor keuangan akibat perang yang terus berlanjut dan biaya yang
semakin membengkak
=> peta dibuat tahun 1874 - 1880 <= |
Mengapa Cangga Singgo tinggal di Kepanjen-Sengguruh ..?
Menurut cerita seorang Mbah yang rumahnya berada di sekitar Gribik Malang, Canggah Singo awalnya datang ke Brang Wetan dan tinggal di hutan di daerah Balitar bersama teman seperjuangannya yang bernama Imam Supardjo, atau nama aslinya Ahmad Yakin. Mereka tinggal dan membuka desa yang sekarang dikenal sebagai desa Bumiaji. Di desa ini, mereka melatih beberapa prajurit baru dari orang lokal untuk melanjutkan perjuangan di wilayah Balitar (sumber terlampir)
.
lanjut cerita mbah yang saat itu sudah berusia 67 tahun,
Berada di perbatasan antara Balitar dan Sengguruh, tepatnya di sungai Supit Urang, sungai Brantas, dan sungai Lahor, Canggah Singo dan pasukannya berhenti di sebuah perkampungan kecil yang disebut Sumberpucung. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Blimbing - Sumbermanjing Kulon. Ternyata, di daerah ini banyak pendukung Diponegoro, dan Belanda mengalami kesulitan dalam mendeteksi pasukan Diponegoro karena letaknya di tengah hutan lebat dan masih banyak binatang buasnya.
Setelah tinggal beberapa saat, Cangga Singgo dan beberapa teman melanjutkan perjuangannya menuju ke pusat keramaian di wilayah Sengguruh, yakni di Kepanjen.
Cangga Singo tiba di Kepanjen setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Kompeni Belanda. Sang pangeran yang berani itu ditipu dalam perundingan di mana ia dijanjikan pembebasan bagi pasukan yang telah ditawan. Namun, Belanda justru mengkhianati janjinya dan memenjarakan Pangeran Diponegoro.
Akibatnya, pasukan Diponegoro, termasuk Cangga Singo yang merupakan pasukan inti dari Keraton Sultan Hamengkubuwana III, juga terancam ditangkap dan dipenjarakan. Pasukan tersebut akhirnya diperintahkan untuk menyelamatkan diri dengan meminta perlindungan di Kadipaten sekutunya yang berada di selatan lereng Gunung Kawi.
Dengan seringnya Kompeni Belanda melakukan penangkapan disertai dengan pembunuhan, pejuang Sabillilah segera menyesuaikan diri dengan menggunakan sistem pertahanan "menghindari, bersembunyi, menghimpun kekuatan, dan menyerang saat musuh lengah".
Selama masa persembunyian ini, Cangga Singo mendapat perlindungan dari seorang kyai sepuh yang memimpin padepokan tua bernama "Tunggul Wulung". Padepokan tua ini terletak di antara timur sungai Metro-Kepanjen dan barat sungai Sukun-Kepanjen. Mereka tinggal di dalam gubuk sederhana dekat sumber Metro. Daerah tersembunyi ini cukup efektif untuk persembunyian karena musuh harus melewati sungai dan hutan yang sangat lebat untuk masuk ke wilayah ini.
Sebagai seorang yang pernah dipercaya memimpin pasukan Mataram, tentunya
Cangga Singo sudah dibekali kemampuan sebagai seorang tilik sandi serta
kemampuan mengatur strategi dan mengoordinir perlawanan. Saat awal
kedatangan beliau, pertempuran antara pasukan pribumi dengan pasukan
Belanda di tepi Brantas dekat garnisun/benteng masih terjadi. Pasukan
Belanda berada di Benteng utara sungai Brantas, sedangkan pasukan
Pribumi berada di selatan Brantas. Kadangkala juga terjadi korban yang
meninggal, meskipun dalam jumlah kecil..
Sebelum membahas buyut Darmoredjo sebaiknya kita ketahui dulu fase gelombang para pelarian pasukan Diponegoro ke kadipaten Sengguruh, yakni :
- Gelombang pertama saat Diponegoro belum ditangkap.
- Gelombang kedua saat Diponegoro tertangkap (1830)
- Gelombang ketiga saat Diponegoro meninggal (1855)
Dengan mengetahui fase tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Buyut
Darmoredjo telah berhasil menghindari penangkapan oleh Kompeni Belanda
dengan pergi ke daerah pedalaman, tepatnya di lereng Gunung Kawi, untuk
meminta perlindungan kepada "saudara sepuh dari leluhur". Kedatangannya
diperkirakan sebelum Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo wafat, yaitu
sekitar tahun 1840-1850.
Mengapa Buyut Darmoredjo Tinggal di Kepanjen..?
Ketiga : Setelah terbentuknya pemerintahan Karisidenan Pasuruan, pada awal abad ke-18, pemerintahan Ketemenggungan pun didirikan. Pada awalnya, pemerintahannya hanya dipimpin oleh seorang Patih. Namun, setelah beberapa tahun berlalu, pemerintahan tersebut akhirnya dipimpin oleh seorang Tumenggung keturunan Cina dari keluarga Han (dinasti). Kantor Ketemenggungan saat itu berlokasi di Kota Lama, tempat Ketemenggungan saat itu terletak di selatan Kuil-Klenteng Malang sekarang.
Setelah mengetahui informasi diatas akhirnya rombongan kecil ini membagi dua kelompok, yaitu kelompok Buyut Darmoredjo menuju arah 👉 "bukit Selorejo wilayah Sengguruh" dan kelompok lainnya menuju arah "bukit Selorejo wilayah Ngantang" (sumber terlampir), menurut mereka bukit Selorejo adalah bukit terjal yang tidak berpenghuni dan sering digunakan sebagai benteng pertahanan alam.
Buyut Darmoredjo tidak hanya terampil dalam ilmu keprajuritan, tetapi juga mahir dalam dalam kemampuan memelihara kuda, ketrampilan menunggang kuda, trampi dalam pertukangan kayu dan bisa menjadi tabib (sumber terlampir).
Lampiran : Nara Sumber
dari Keluarga Dekat
- "bahwa Mbah buyut singo
mempunyai ilmu kesaktian, salah satunya, kalau marah kekuatan membuat
lawanya takut tak berdaya".
- tambah lagi, Buyut Darmoredjo
dan Canggah Singgo sering mendapat tamu dari orang asing, yang bukan
berasal dari Kepanjen, kemungkinan teman seperjuangannya dulu ".
- Buyut Darmoredjo mempunyai
wajah lancap berwibawaannya, orangnya sabar dan suka memberi.
- “Hubungan keluarga Kepanjen
Darmoredjo masih ada erat dengan Buyut Putri Lastri istri Wedono
pertama Sengguruh di Kepanjen (anak Breh Kerto wedono tebasan
Tumpang), beliau tidak mempunyai anak dengan istri pertamanya,
akhirnya menikah lagi dan mempunyai anak. Buyut putri dipanggil "Ibu
Sepuh" makamnya di penarukan.
- Hubungan dengan Makam Jenggolo
- Sengguruh. tentang Riwayat keluarganya Dharmoredjo ini masih ada hub.
dengan makam Mbah Rekso. Keris Pusaka yang dimiliki kedua keluarga dari
keluarga Tumpang dan Keluarga Kepanjen, mempunyai ciri dan bentuk yang
sama.
- Buyut Tumpang ini memberi
warisan berupa Doa Salam yang ditujukan kepada yang hidup dan Gaib. Ilmu
ini diberikan oleh Wali Songo”. Do'a Salam tersebut masih dihapal oleh
beliau. Ada keris yang dibawah oleh keluarga Mudjiono Ronodiwiryo (Alm),
cucu mantu yang tinggal di Kepanjen, karena dianggap mampu
membawanya.
- "Keluarga Darmoredjo
ini masih ada hubungan dengan mbah-mbah di Sengguruh, karena waktu kecil
yang saya tahu keluarga kepanjen sering nyekar ke Makam umum di Jenggolo
atau Sengguruh".
- Penulis juga sempat tahu
tentang cerita budhe Mukti istri dari Petinggi Kastam yang tinggal di
Gunung Kawi, tapi sayang beliau tidak mempunyai keturunan, sehingga sumber
infonya terputus.
- Bulek Tatik ini adalah cucu
Buyut yang menempati rumah punden.
- "Mbah Darmo kalau keluar
rumah maksudnya keluar untuk berjuang bekal yang dibawah adalah nasi
'Karak' (nasi kering) dan air putih.