Mbah Brintik, Satrawati yang Melegenda

Penjaga Warisan Jawa dari Kepanjen 
yang Tak Pernah Lelah Berkarya

Foto bersama Tokoh Majalah Penyebar Semangat, Mbah Brintik

Di balik rumah sederhana di Jalan Penarukan 117 Kepanjen, Malang, tersimpan semangat luar biasa dari seorang perempuan sepuh yang masih teguh memelihara warisan budaya Jawa. Ia adalah Nyi Karmiasih Soemardi Sastro Utomo, atau yang lebih dikenal dengan panggilan hangat Mbah Brintik.

Saat penulis menyambangi rumahnya yang tenang dan tertata rapi, nuansa masa lalu seolah menyapa dari sudut-sudut ruangan. Di teras, beberapa foto lawas — dari kegiatan sosial hingga seminar — tertata rapi, menjadi saksi bisu jejak pengabdian dan semangat yang tak pernah padam. Di dalam rumah, lukisan-lukisan pemandangan dan sebuah potret besar pasangan suami istri memberi kesan hangat. Di atas pintu menuju ruang tengah, terpajang foto seorang priyayi tua lengkap dengan blangkon dan jarit, yang konon adalah mbah buyutnya dari masa Mataram.

Setelah menyambut ramah dan menyajikan secangkir kopi, Mbah Brintik duduk di hadapan saya. Dengan tutur kata yang lembut namun penuh wibawa, beliau mulai menceritakan perjalanan hidupnya. Lahir pada 30 Juli 1931 di Malang, lulusan Sekolah Guru (SGB) ini telah mengabdikan hidupnya sebagai pengarang, sastrawati, dan seniman budaya. Kini, di usia yang telah melewati 80 tahun, ia tetap aktif menjadi ibu rumah tangga sembari menghadiri berbagai seminar, sarasehan, hingga menjadi pemangku adat dalam upacara tradisi Jawa seperti siraman, tingkepan, hingga boyong manten.

Pengabdian dan Prestasi

Di atas meja, saya melihat sebuah catatan berisi prestasi beliau. Di antaranya:
  • Penerima Bintang Budaya dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa Surakarta
  • Juara II penulis cerita rakyat tingkat nasional (juara I tidak diberikan) oleh Wanita Taman Siswa Yogyakarta
  • Penerima tali asih dari Gubernur Jawa Timur sebagai Sastrawati Jatim
  • Dan berbagai penghargaan dari kongres, seminar, hingga pelatihan kebudayaan.

Tak hanya itu, peran keorganisasiannya pun tak kalah mengagumkan. Ia adalah pendiri dan Ketua Wanita Taman Siswa, Wakil Ketua PWRI Kepanjen, pembina bahasa dan budaya Jawa tingkat provinsi, hingga pembina kader Posyandu.

Karya Tak Terbendung

"Saya sudah menulis hampir 400 naskah," ujar Mbah Brintik sambil tersenyum bangga. Karya-karyanya yang berupa cerpen, cerbung, dan cerita budaya telah menghiasi berbagai media seperti Penyebar Semangat, Joyo Boyo, Malang Post, Pujangga Anom, dan lainnya. Lagu-lagu Jawa ciptaannya pun turut memperkaya khazanah karawitan lokal, berisi pesan moral kepada generasi muda dan pemimpin bangsa agar menjunjung nilai kejujuran dan keadilan.

Kenangan Melawan Penjajah

Mbah Brintik juga membagikan kisah heroik masa pendudukan Belanda. Saat itu, rumah keluarganya di Jalan Panji Kepanjen menjadi tempat persembunyian para pejuang Indonesia. Untuk menyelamatkan mereka, Mbah Brintik yang masih remaja menyuruh para pejuang bersembunyi di kolong tempat tidur bambu, yang sengaja ditaburi kotoran ayam agar tidak dicurigai tentara Belanda. “Dan benar, mereka tidak menemukannya,” kisahnya sambil terkekeh, mata berbinar bangga.

Mbah Brintik bukan sekadar tokoh budaya, beliau adalah penjaga ingatan kolektif Jawa, simbol ketekunan dan dedikasi di tengah arus zaman yang terus berubah. Di balik rambut yang telah memutih, tersimpan api semangat yang tak kunjung padam. Bagi generasi muda, ia adalah teladan bahwa mencintai budaya sendiri adalah bentuk paling luhur dari sebuah nasionalisme dan beliau wafat pada tahun 2019, dalam usia 89


“Budaya itu seperti akar pohon. Bila tak dijaga, pohonnya bisa tumbang,” 
tutupnya dengan senyum bijak.

Tokoh Maestro Komik yang MenduniaTokoh Maestro Komik yang Mendunia

Tokoh Pencatat Budaya Kepanjen                 Maestro Komik yang Mendunia

Teguh Santosa - Maestro dari Kepanjen









ARTIKEL POPULER

KELUARGA DALEM DHARMOREDJO

KELUARGA DALEM DHARMOREDJO
PILIH JUDUL DIBAWAH INI :