Sejarah Topeng Malangan

Jejak Topeng Panji 

dalam Tradisi Topeng Malangan

Oleh: Agung Cahyo Wibowo

Pendahuluan

Wayang Topeng Malangan adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa Timur yang menggabungkan unsur seni tari, teater, dan kerajinan topeng. Kesenian ini tidak bisa dilepaskan dari warisan spiritual, politik, dan budaya yang telah berkembang sejak zaman Hindu-Buddha, terutama era Kerajaan Kanjuruhan abad ke-8 M. Dalam konteks ini, cerita Panji memiliki peran penting sebagai titik sentral transformasi naratif dalam pertunjukan Wayang Topeng di wilayah Malang.

1.     Asal Usul Wayang Topeng Malangan

Wayang Topeng Malangan diyakini sudah hidup sejak masa Kerajaan Kanjuruhan. Candi Badut sebagai peninggalan arkeologis masa itu dipahami memiliki fungsi sebagai media tontonan edukatif, di mana pertunjukan digunakan untuk menyampaikan pesan moral dan religius kepada masyarakat. Raja Gajayana, menurut legenda, adalah tokoh yang juga menarikan tarian topeng.

Henri Supriyanto mencatat bahwa narasi Wayang Topeng Malangan banyak dipengaruhi oleh pola pikir India, melalui cerita-cerita dari Mahabharata, Ramayana, dan nilai-nilai spiritual Hindu-Jawa. Ini menunjukkan betapa erat hubungan antara seni pertunjukan dan nilai-nilai religius masyarakat Jawa kuno.

2.     Transformasi Topeng: Dari Religius ke Pertunjukan

Menurut seniman senior almarhum Karimun, topeng awalnya adalah bagian dari ritual persembahyangan. Topeng batu berfungsi sebagai media spiritual, bukan hiburan. Baru pada masa Raja Airlangga, topeng dikembangkan menjadi properti tari yang praktis menggantikan rias wajah. Ini menjadi langkah penting dalam perjalanan topeng dari sakral menuju seni pertunjukan.

3.     Masuknya Cerita Panji

Perubahan paling signifikan terjadi pada masa Kerajaan Singhasari, di bawah kekuasaan Raja Kertanegara. Narasi topeng digantikan oleh kisah-kisah Panji yang mencerminkan heroisme, cinta, dan kebesaran kesatria-kesatria Jawa. Penggunaan cerita Panji adalah strategi politik Kertanegara untuk memperkuat identitas kekuasaan lokal dan mempertegas legitimasi kerajaan Singhasari sebagai pewaris sah tradisi Jawa.

Cerita Panji memiliki akar kuat dalam budaya Jawa karena merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan, kesetiaan, dan kepercayaan terhadap takdir, menjadikannya alat yang efektif dalam komunikasi politik antara penguasa dan rakyatnya.

4.     Perkembangan dalam Era Islam dan Kolonial

Saat Islam masuk ke tanah Jawa, seni pertunjukan topeng mengalami penyesuaian nilai. Cerita-cerita baru seperti Menak Jinggo dimunculkan oleh Keraton Mataram sebagai bentuk Islamisasi seni. Namun, di wilayah Malang Selatan "bekas wilayah Singhasari" cerita Panji tetap bertahan kuat, karena resistensi budaya terhadap pengaruh baru dan karena rekonsiliasi budaya yang dilakukan oleh Raden Wijaya (raja pertama Majapahit) dengan menggunakan narasi Panji sebagai simbol pemersatu.

Pada masa kolonial, kesenian topeng kembali dihidupkan di daerah perkebunan. Dalam konteks ini, seni topeng menjadi hiburan dan sarana pengajaran bagi masyarakat kelas bawah yang kurang akses terhadap pendidikan formal.

5.     Fungsi Sosial dan Perlawanan

Dalam konteks perlawanan, topeng juga digunakan sebagai alat penyamaran oleh para pelarian Perang Diponegoro. Mereka menyusup ke wilayah Malang Selatan seperti Kepanjen dan sekitarnya, memanfaatkan kesenian topeng untuk mendidik rakyat sambil menyembunyikan identitas mereka. Tari topeng dalam hal ini menjadi alat pendidikan sekaligus strategi politik yang halus.

6.     Wilayah Produksi dan Keberlanjutan Tradisi

Hingga kini, pengrajin topeng masih aktif di berbagai wilayah Malang Selatan, seperti:

• Pakisaji
• Wonosari
• Kromengan
• Sengguruh/Jenggolo
• Senggreng
• Tumpang

Daerah-daerah ini menjadi pusat pelestarian budaya topeng yang menghidupkan kembali nilai-nilai cerita Panji, baik dalam bentuk pertunjukan maupun kerajinan seni rupa.

 

Kesimpulan

Topeng Panji yang mewarnai Wayang Topeng Malangan bukan sekadar kisah pewayangan, namun merupakan refleksi dari dinamika kekuasaan, spiritualitas, dan identitas budaya Jawa. Keberlanjutan cerita Panji dalam tradisi topeng Malang mencerminkan kekuatan narasi lokal dalam menghadapi perubahan zaman, termasuk masa Hindu-Buddha, Islam, hingga kolonial.

Melalui tari topeng, masyarakat Jawa tidak hanya menyampaikan pesan estetika, namun juga menjalin komunikasi historis dan politis antar generasi. Oleh karena itu, pelestarian topeng Malangan tidak cukup hanya pada bentuk kesenian, tetapi juga pada narasi dan nilai-nilai budaya yang dikandungnya.