Legenda Gunung Kawi

Jaman Pelarian Pasukan Diponegoro
Ke Gunung Kawi
Eyang Djoego dan R.M. Iman Soedjono

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertampuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah di Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa sehingga sering disebut sebagai “Perang Jawa” atau “Java Oorlog”, peristiwa ini terjadi pada tahun 1825 - 1830.

Dalam perang ini, kerugian dari pihak Belanda ditafsir tidak kurang dari 15.000 tentara serta menghabiskan dana hingga 20 juta Gulden. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah juga menyebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa nyawa rakyat yang terengut. Sementara itu dipihak Belanda korban yang tewas adalah 8.000 orang. Setelah selaesai perang ini penduduk Jogjakarta penduduknya menyusut separuhnya.

Peristiwa ini terjadi masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono V tahun 1822 yang disebabkan karena usia Sultan Hamengku Buwono V masih 3 tahun, sedangkan pemerintah dipengang oleh Patih Danurejo yang menyetujui atau tunduk kepada Belanda.

Setelah perang jawa berakhir dengan ditangkapnya pangeran Diponegoro di Magelang, maka para pengikut beserta keluarga melarikan diri secara besar-besaran kedaerah baru yaitu dipedalaman Jawa dan selatan Jawa. Para pengikut itu kemudian membangun pemukiman-pemukiman baru itu diberi nama menurut asal-usul daerah baru dan membentu kelompok-kelompok, dan termasuk datang ke Malang terutama kebagian Selatan.

Dengan istilah "sing babat alas" itulah sebutan  baru bagi orang-orang Mataram yang melarikan diri dengan semangat tetap berjuang anti pemerintah Belanda dan akhirnya meninggal dunia di Malang selatan .

Salah satunya Kisah pelarian dari penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria. Beliau pergi ke berbagai daerah di antaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi ke arah Timur Selatan  ke daerah Malang yaitu Kepanjen.

Setelah mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di Dusun Djoego ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam di dusun Djoego Desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840-1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri ke daerah Malang selatan.

Didalam pengembaraanya beliau akhirnya menemukan seorang guru yang akhirnya dijadikan  ayah angkat saat berada didaerah Kesamben, Kabupaten Blitar. Tepatnya didusun Djoego Desa Sanan akhirnya Panembahan Eyang Djoego (Kyai Zakaria) kemudian R.M. Iman Soedjono mengikuti tinggal sementara di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola Padepokan Djoego akhirnya padepokan tersebut telah berkembang pesat dan. banyak pengunjung yang datang dan akhhirnya menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego.

Beberapa tahun kemudian ± tahun 1850-1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono (Ki Moeridun) dari Warungasem Pekalongan, beberapa waktu kemudian oleh maha guru diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka wilyah baru dihutan lereng Gunung Kawi. Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa di tempat baru tersebut beliau ingin dimakamkan jika sudah di panggil oleh Allah SWT, beliau juga berpesan lagi bahwa nanti tempat baru itu akan menjadi desa yang ramai dan dijadikan tempat penampungan pengungsian  dari Mataram.

Dengan demikian maka berangkatlah RM. Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, di antaranya :
  1. Mbah Suro Wates, 
  2. Mbah Kaji Dulsalam (Birowo),
  3. Mbah Saiupan (Nyawangan), 
  4. Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang), 
  5. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro, 
  6. Mbah Tugu Drono, 
  7. Ki Kromorejo, 
  8. Ki Kromosari, 
  9. Ki Haji Mustofa, 
  10. Mbah Wono
  11. Mbah Dawud, 
  12. Mbah Belo, 
  13. Den Suryo, 
  14. Mbah Tasiman, 
  15. Mbah Tundonegoro, 
  16. Mbah Bantinegoro, 
  17. Mbah Sainem, 
  18. Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina), 
  19. Mbah Cakar Buwono, 
  20. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC). 
  • dan lainnya
Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta teman-teman seperjuanganya, 20 orang sebagai penderek (pengikut) :
.
Setelah kebutuhan perbekalan sudah dianggap cukup maka, berangkatlah rombongan itu untuk menuju arah Gunung Kawi, dalam perjalanannya banyak hal hal yang unik-unik, yang nantinya digunakan sebagai tanda pengingat tempat, cara memasuki hutan belantara banyak cara agar tidak tersesat tidak tesesat, tapak tilas ini akan dijadikan nama tempat sebagai pengingat yang akhirnya sebagai kelanjutan untuk membuka wilayah-wilayah baru nantinya, misalnya wilayah pemukiman tersebut adalah :
  1. Saat rombongan melihat "batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang" kemudian dipakai nama tempat tersebut "Tumpang Rejo"
  2. Pada saat diperjalanan ke utara bertemu dengan jalan yang menanjak curam, didekat jalan tersebut terdapat pohon "Lo" yang besar sekali, ditempat ini karena capek maka istirahat, sambil membuat Pawon (perapian) untuk menahan dinginnya hawa di lereng gunung Kawi, kemudian dipakai nama tempat tersebut "Lopawon"
  3. Kemudian dilanjutkan ke arah utara bertemu sebuah patilasan sebuah gendok pecah, alat ini biasa digunakan untuk merebus jamu dan terbuat dari tembaga, akhirnya penemuan benda ini dipakai nama tempat yaitu  "Gendogo"
  4. Kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat dan setelah berjalan cukup jauh akhirnya beristirahat dan melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) bersebelahan dengan pohon nangka yang pohonnya besar, kemudian nama kedua pohon ini dipakai sebagai nama tempat disebut dengan Bulu-Nangko sekarang dikenal "Blongko"
  5. Perjalanan tetap kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu itu ditemui dua buah pohon kelapa yang tampaknya yang satu tumbuh bercabang dua dan cabangnya tumbuh doyong (tidak tegak), sehingga tempat itu dinamakan "Klopopang"
  6. Kemudian diteruskan ke arah selatan sampai di daerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan "Bulongko", kemudian naik keutara sampai sungai yang airnya besar sekarang ini dinamakan "Kali Gedong", lalu berjalan kebarat sampai dekat dengan sumber yang jernih dan pemandangannya indah akhirnya dinamakan "Sumbersari".
  7. Setelah menemukan tempat yang dianggap cocok untuk tempat tinggal akhirnya dilakukan sholat berjamaah dan dilakukan doa munajah, agar tempat ini oleh Allah SWT di beri kerohmatan. Dan membuka "hutan gong lewang lewung" dimulai dengan mbabati hutan (memotong pohon-pohon hutan) jadi wilayah "Babatan" dan membuat rumah-rumah tempat tinggal yang terbuat dari kayu-kayu dan dibuarlah tanah lapang yang nantinya digunakan untuk latihan kanuragan, yang nantinya dibuatkah padepokan bangunannya  besar juga baik dan jauh dari pantauan "Mataram pro Belanda", akhirnya tempat ini diberi nama "Wonosari"
Setelah rumah dan padepokan sudah selesai maka R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk segera mengutus beberapau pendereknya (pengikut) untuk pulang ke daerah "Sanan - Kesamben" (daerah disana untuk sementara), untuk melapor kepada Eyang Djoego.
Setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka tidak lama setelah perbekalan dianggap cukup maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke daerah Babatan  - Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru saja selesai.
Beberapa saat setelah kedatangan Kanjeng Eyang Djoego di tempat padepoka baru tersebut maka Arahan-arahan dan mengaturan strategi maka diputuskan siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun "Sanan - Kesamben" dan beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) di sebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur.

Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono).

Tokoh-tokoh yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah :
  1. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, 
  2. Ki Moeridun, 
  3. Mbah Bantu Negoro, 
  4. Mbah Tuhu Drono, 
  5. Mbah Kromo Rejo, 
  6. Mbah Kromo Sasi, 
  7. Mbah Sainem, 
  8. Kyai Haji Mustofa, 
  9. Kyai Haji Muntoha, 
  10. Mbah Belo, 
  11. Mbah Sifat / TjanThian, 
  12. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro, 
  13. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa.
Demikian di antaranya yang tinggal di Dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering melakukan perjalanan bolak-balik dari dusun Djoego–Sanan–Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya wejangan, strategi dan petunjuknya yang berada di Wonosari Gunung Kawi.

Pada hari Senin Pahing tanggal Satu Selo Tahun 1817 M, Kanjeng Eyang Djoego wafat. Jenasahnya dibawa dari Dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk dimakamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung Kawi, kemudian tiba di Gunung Kawi pada hari Rabu Wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari Kamis Kliwon pagi.

Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari Senin Pahing, maka pada setiap hari Senin Pahing diadakan sesaji dan selamatan oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono. Apabila, hari Senin Pahing tepat pada bulan Selo (bulan Jawa ke sebelas), maka selamatan diikuti oleh seluruh penduduk Desa Wonosari yang dilakukan pada pagi harinya. Kegiatan ini sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.

Sejak meninggalnya Kanjeng Eyang Djoego, Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang yang menetap di Dusun Wonosari. Dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan (membuka lahan di hutan). Oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahkan ke barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh : Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan),Mbah Kasan Mubarot (tetap menetap di babatan Kapurono), Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah Kasan Sengut),Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah Kasan Sengut).

Rombongan itu juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari beserta teman-temannya.

Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak pula. Dengan bertambah luasnya dusun dan bertambah banyaknya jumlah penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yang bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu. Maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman merupakan pamong pertama dari Dusun Wonosari.

Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-1876, datang seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller (seorang putri Residen Kediri) datang ke Wonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eyang R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari dan mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876. Setelah sepeninggal Eyang R.M. Iman Soedjono, Ny Schuller kemudian pulang ke Kediri.

Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (Pek Yam) untuk berziarah di Gunung Kawi. Pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat. Pek Yam pada waktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura. Setelah jalan itu jadi, kemudian dilengkapi dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan. Pada hari Rabu Kliwon tahun 1876 Masehi, Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sejak meninggalnya Eyang R.M. Iman Soejono, Dusun Wonosari bertambah ramai.

Eyang Jugo adalah prajurit Diponegoro yang lari ke Gunung Kawi, dan dimakamkan di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang.

Sumber :
1. Sesepuh Gunung Kawi dan Kepanjen Malang
2. di Jawas Pos 2008
3. http://gunungkawi.synthasite.com/sejarah.php

ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo