Kitab PARARATON (berarti "Kitab Raja-raja")
Ditulis oleh : Empu Tantular
Adalah salah satu karya sastra Jawa kuno yang menceritakan sejarah pendirian Kerajaan Tumapel (Singosari) oleh Ken Angrok dan perkembangan kerajaan tersebut hingga masa Majapahit. Kitab ini terdiri dari dua bagian utama, dengan bagian pertama berfokus pada kisah Ken Angrok dan bagian kedua mencatat raja-raja yang berkuasa di Majapahit.
Serat Pararaton ditulis dalam bahasa Kawi
Adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan
terdiri 32 halaman ditulis sebanyak 1126 baris.
Isinya : sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit.
----------------------------------------------------------------------------
ISI
----------------------------------------------------------------------------
ISI
KITAB PARARATON
Tuhan, Sang Pencipta, Sang Pelindung, dan Pengakhir Alam,
Semoga tiada halangan yang menghadang,
Sujud hamba-Mu, sesempurna-purnanya, penuh kerendahan.
BAB I.
Awal kisah ini menceritakan tentang seorang pemuda bernama Ken Angrok, anak seorang janda dari Jiput, yang dikenal dengan perilakunya yang buruk dan sering melanggar norma kesusilaan. Tingkah lakunya tidak hanya mengganggu masyarakat, tetapi juga makhluk gaib yang menjaga keseimbangan alam. Akibat ulahnya, akhirnya diusir dari Jiput dan diperintahkan oleh kekuatan gaib untuk pindah ke Bulalak.
Di Bulalak, penguasanya adalah seorang tokoh sakti bernama Mpu Tapawangkeng. Pada saat itu, Mpu Tapawangkeng sedang membangun pintu gerbang untuk asramanya. Tiba-tiba, roh penjaga pintu menuntut tumbal berupa seekor kambing merah jantan agar pintu tersebut dapat didirikan dengan sempurna. Mpu Tapawangkeng merasa cemas dan kesal, lalu berkata, "Tidak ada gunanya memikirkan hal ini sampai pusing. Kalau aku menurutinya, bisa-bisa aku terjerumus dalam dosa besar. Jika harus membunuh manusia sebagai korban, amarahku tak tertahan dan tak ada yang dapat menolak tuntutan roh ini."
Di tengah kebingungan itu, seseorang ada yang menawarkan diri untuk menjadi korban tumbal. Ia berkata, "Saya bersedia menjadi korban untuk pintu gerbang Mpu Tapawangkeng. Biarlah ini menjadi jalan agar saya bisa kembali ke surga Dewa Wisnu dan menjelma kembali dalam kelahiran yang mulia di alam tengah.
Setelah permintaannya untuk menjelma menjadi manusia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, lalu diajarkan tentang hakikat kematian, yaitu harus melewati tujuh alam. Saat berada di alam kematian, diperlukan pengorbanan yang harus dilakukan oleh Mpu Tapawangkeng sebagai syarat. Setelah ritual tersebut selesai, maka terbanglah menuju Surga Wisnu untuk menagih janji yang telah disepakati. Ia kemudian memohon agar dirinya dijelmakan kembali sebagai manusia, tepatnya di sebelah timur Gunung Kawi, tempat di mana nasib besarnya akan terwujud.
Dewa Brahma sedang mencari sosok yang tepat untuk dijadikan pasangan. Setelah itu, ditetapkanlah sepasang mempelai baru yang saling mencintai, yaitu seorang pria bernama Gajahpara dan seorang wanita bernama Ken Endok. Mereka adalah sepasang petani yang hidup sederhana. Suatu hari, Ken Endok pergi ke sawah untuk mengirimkan makanan kepada suaminya, Gajahpara, yang sedang bekerja di ladang. Desa tempat Ken Endok tinggal bernama Pangkur, di mana kehidupan mereka berlangsung dengan damai dan penuh kasih.
Dewa Brahma turun ke dunia untuk menemui Ken Endok. Dalam pertemuan tersebut, mereka berdua melakukan hubungan intim di ladang Lalaten. Setelah itu, Dewa Brahma memberikan pesan penting kepada Ken Endok, "Jangan kamu bertemu dengan suamimu lagi. Jika kamu bertemu, dia akan mati akibat janin yang kau kandung. Janin ini adalah anakku yang kelak akan memerintah tanah Jawa." Setelah menyampaikan pesan tersebut, Dewa Brahma menghilang.
Kembali ke sawah, Ken Endok menemui suaminya, Gajahpara. Dengan penuh penyesalan, ia berkata, "Kakak Gajahpara, mohon dimaafkan. Saya telah bertemu dengan Dewa, dan beliau berpesan agar saya tidak tidur denganmu lagi. Jika kita tetap bersama, kamu akan mati, dan janin anakku, Ken Angrok, akan tercampur dengan darahmu. Dia adalah sosok yang kelak akan memerintah tanah Jawa."
Kekhawatiran dan tanggung jawab yang baru saja ditanggung Ken Endok semakin menambah kompleksitas hubungan mereka, namun dia tahu bahwa ini adalah demi masa depan yang lebih besar.
Setelah kembali ke rumah, Ken Endok tak bisa menolak ketika suaminya, Gajahpara, mengajaknya tidur bersama. Namun, dengan penuh ketakutan, Ken Endok berkata, "Wahai, Kakak Gajahpara, putuskanlah perkawinan kita. Aku takut akan perkataan Sang Hyang, yang melarang kita untuk berkumpul lagi."
Gajahpara menjawab, "Adikku, apa yang harus kulakukan? Jika memang itu kehendakmu, aku tidak keberatan. Kita bercerai saja. Harta benda yang kau bawa saat kita menikah kembali menjadi milikmu, dan harta milikku akan aku ambil kembali."
Setelah percakapan itu, Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, sementara Gajahpara tetap tinggal di Campara di seberang selatan. Tak lama berselang, belum genap sepekan setelah perceraian, Gajahpara pun meninggal dunia. Orang-orang yang membicarakan hal itu berkata, "Luar biasa panasnya anak yang ada dalam kandungan Ken Endok, bahkan belum lama mereka bercerai, sang ayah sudah meninggal dunia."
Setelah sembilan bulan sepuluh hari, Ken Endok melahirkan seorang anak laki-laki. Namun, karena takut akan masa depan anak tersebut, ia memutuskan untuk membuang bayi itu di kuburan anak-anak. Anak itu kelak dikenal sebagai Ken Angrok, sosok yang ditakdirkan untuk memerintah tanah Jawa.
Suatu malam, seorang pencuri bernama Lembong tersesat di kuburan anak-anak. Saat itu, ia melihat sebuah benda yang menyala dari kejauhan. Dengan rasa penasaran, ia mendekati sumber cahaya tersebut dan mendengar suara tangisan bayi. Setelah mendekati lebih dekat, ia menemukan seorang bayi yang sedang menangis di sana. Lembong lalu mengambil bayi itu dan membawanya pulang, merawatnya seolah bayi tersebut adalah anaknya sendiri.
Mendengar penjelasan itu, Lembong dan keluarganya semakin mencintai bayi tersebut. Seiring berjalannya waktu, bayi itu tumbuh menjadi seorang remaja yang diberi nama Ken Angrok. Ia tinggal lama bersama keluarga Lembong di Pangkur, menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Saat mulai dewasa, Ken Angrok tumbuh secara fisik dengan wajar, tetapi sayangnya, ia kurang mendapat bimbingan dan malah dimanjakan oleh orang-orang di sekitarnya. Pengaruh buruk dari lingkungannya sangat kuat, membuat Ken Angrok berubah menjadi seorang penjudi. Ketika masih remaja, Ken Angrok sepenuhnya terjerumus dalam perjudian hingga akhirnya seluruh harta benda milik Ken Endok dan Lembong, habis dipertaruhkan oleh Ken Angrok.
Setelah harta benda kedua orang tua angkatnya habis, Ken Angrok terpaksa bekerja sebagai penggembala bagi seorang majikan di Lebak. Majikannya mempercayakan sepasang kerbau kepadanya untuk digembalakan. Namun, karena kelalaiannya, sepasang kerbau tersebut hilang. Ken Angrok dengan jujur melaporkan kehilangan kerbau itu kepada majikannya, tetapi kejujurannya tidak dihargai. Majikannya malah marah dan menuntut ganti rugi. Ken Angrok diharuskan mengganti kerbau yang hilang atau membayarnya dengan uang dalam jumlah besar, yakni delapan ribu.
Ken Angrok kini menghadapi kenyataan pahit, dimarahi oleh kedua orang tua angkatnya, Lembong dan Ken Endok, yang menangis sedih. Mereka berkata, "Aduh, anakku... jika kami harus mengganti uang sebesar itu, dari mana kami akan mendapatkannya? Namun, karena rasa sayang kami padamu, kami siap menjadi hamba tanggungan demi menebus kehilangan sepasang kerbau itu. Asal kamu tidak pergi, anakku..."
Kedua orang tuanya akhirnya menawarkan diri untuk menjadi hamba tanggungan bagi majikan di Lebak sebagai bentuk tanggung jawab. Melihat pengorbanan besar yang dilakukan oleh orang tua angkatnya, Ken Angrok merasa hatinya sangat sedih dan dihantui perasaan bersalah. Ia menyadari betapa besar kesalahan dan kelalaiannya yang telah membebani orang tua yang begitu mencintainya.
Dengan tekad untuk menebus dosa-dosanya dan mencari uang agar dapat mengganti kerbau yang hilang, Ken Angrok memutuskan untuk meninggalkan daerah Campara dan Pangkur. Tujuannya satu, agar kedua orang tua angkatnya bisa terbebas dari status hamba tanggungan secepat mungkin.
Ken Angrok melanjutkan perjalanannya, mencari penghidupan di Kapundungan, sebuah daerah baru di mana ia tidak memiliki tempat berlindung dan tak seorang pun yang menaruh belas kasihan kepadanya. Ia benar-benar harus berjuang sendiri, menghadapi kerasnya hidup.
Di daerah tersebut, Ken Angrok bertemu dengan seorang penjudi terkenal dari Karuman bernama Bango Samparan. Bango Samparan dikenal sebagai seorang ahli dalam permainan Saji, sebuah permainan judi populer. Pertemuan ini membawa Ken Angrok pada pergaulan yang semakin jauh dari jalan yang lurus, meskipun pada saat itu, ia masih mencari cara untuk memperbaiki nasibnya dan membebaskan kedua orang tuanya dari status hamba tanggungan.
Pada saat itu, Bango Samparan baru saja mengalami kekalahan dalam perjudian besar di daerahnya dan terpaksa harus segera melunasi hutang yang cukup besar. Karena tidak memiliki cara untuk membayar, ia memutuskan untuk pergi dari rumahnya dan berziarah ke tempat keramat Rabut Jalu (7). Saat sedang khusyuk di tempat keramat, ia mendengar sebuah suara dari angkasa yang memberitahunya, "Pulanglah ke Karuman, di sana kamu akan menemukan seorang anak remaja yang nantinya akan membantumu menyelesaikan semua hutangmu. Anak itu bernama Ken Angrok." Dengan rasa penasaran dan harapan, Bango Samparan segera meninggalkan Rabut Jalu dan pulang ke Karuman.
Dalam perjalanan pulangnya yang gelap dan penuh keraguan, tiba-tiba ia melihat seorang anak remaja yang terbaring lemah di bawah sebuah pohon, memelas dan tampak tak berdaya. Hati Bango Samparan terhenyak, merasa iba, dan tanpa berpikir panjang ia langsung menolong anak itu. Ia membawa remaja tersebut ke rumahnya di Karuman dengan niat yang tulus, bahkan melupakan petunjuk yang didengar sebelumnya. Keinginannya untuk menolong anak itu dengan hati ikhlas membuat Bango Samparan justru bertemu dengan sosok yang dinubuatkan, Ken Angrok, tanpa perlu bersusah payah mencarinya.
Setelah beberapa hari tinggal bersama di rumahnya, Bango Samparan merasa waktunya sudah tiba untuk menghadapi bandar judi yang menagih hutangnya. Dengan tekad yang bulat dan penuh harapan, ia kembali ke tempat perjudian. Meski berat hati karena takut akan ancaman dari para centeng bandar, Bango Samparan memberanikan diri dan kembali terlibat dalam permainan judi. Kali ini, dalam pertandingan terakhir yang penuh ketegangan, ia berhasil mengalahkan sang bandar judi, melunasi semua hutangnya, dan bahkan keluar sebagai pemenang. Merasa bahwa kemenangan ini adalah berkat pertolongan Hyang Widi, Bango Samparan pun memutuskan untuk berhenti berjudi selamanya.
Setelah berhasil melunasi hutangnya dan keluar dari dunia perjudian, Bango Samparan pulang ke rumah dengan perasaan penuh syukur dan ingin segera bertemu keluarganya serta Ken Angrok, yang kini dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Ia merasakan pengalaman hidup yang seperti mimpi, dan ingin menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada istri-istrinya, Genuk Buntu, istri tuanya, dan Tirtaya, istri mudanya.
Bango Samparan memiliki anak-anak dari istri mudanya, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung, dan si bungsu, seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Sementara itu, Ken Angrok, meski bukan anak kandung, telah diambil sebagai anak oleh Genuk Buntu, istri tuanya, dan diterima dalam keluarga tersebut.
Namun, meskipun Ken Angrok tinggal bersama mereka, hatinya tak pernah sepenuhnya merasa tenang. Ia selalu teringat akan kedua orang tua angkatnya, Ken Endok dan Lembong, yang kini menjadi hamba tanggungan di Pangkur akibat kelalaiannya. Perasaan bersalah itu terus menghantuinya, terutama saat melihat adik-adik dari keluarga Panji mendapatkan kasih sayang yang melimpah, sementara orang tua angkatnya menderita. Rasa kehilangan dan tanggung jawab atas kesalahan masa lalu semakin menyayat hatinya, membuatnya tak betah berlama-lama tinggal di Karuman.
Akhirnya, Ken Angrok memutuskan untuk meninggalkan Karuman dan berpamitan kepada Bango Samparan serta keluarganya. Ia bertekad mencari pekerjaan di Kapundungan dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Di sana, Ken Angrok bertemu dengan seorang anak gembala bernama Tuwan Tita, anak dari Tuwan Sahaja, Kepala Desa Tua di Sagenggeng. Persahabatan antara Ken Angrok dan Tuwan Tita tumbuh dengan cepat, keduanya menjadi sangat akrab. Melihat potensi dalam diri Ken Angrok, Tuwan Sahaja mengizinkan anak muda itu tinggal di rumahnya, dan keduanya sering bekerja serta bermain bersama.
Selama tinggal di Sagenggeng, Ken Angrok melihat betapa orang-orang yang memiliki kedudukan dan jabatan dihormati serta hidup dengan berkecukupan. Hal ini membangkitkan keinginannya untuk belajar dan meningkatkan kemampuan diri, terutama dalam hal membaca dan menulis. Ia sadar bahwa pengetahuan merupakan jalan menuju cita-cita yang luhur. Bersama Tuwan Tita, Ken Angrok pergi mencari guru di Sagenggeng untuk mempelajari huruf dan kesusasteraan. Ken Angrok ternyata memiliki bakat yang luar biasa dalam belajar. Ia dengan cepat menguasai bentuk-bentuk huruf, baik huruf hidup maupun mati, serta perubahan-perubahan huruf. Ia juga diajarkan tentang berbagai hal yang lebih mendalam, seperti perhitungan sengkalan (penanggalan Jawa), perhitungan hari dalam bulan, tahun Saka, serta pengelompokan hari-hari seperti hari enam, hari lima, hari tujuh, dan seterusnya. Pengetahuan ini menjadi fondasi bagi Ken Angrok untuk meraih cita-cita besarnya di masa depan.
Ken Angrok dan Tuwan Tita, yang telah belajar ilmu tanaman dari guru mereka, menanam pohon jambu yang buahnya tumbuh lebat. Mereka berdua menjaga pohon itu dengan baik, tidak membiarkan siapa pun memetiknya. Guru mereka berkata, “Jika buah jambu itu sudah masak, baru petiklah.” Namun, keinginan Ken Angrok untuk buah jambu itu semakin besar, dan ia sering membayangkannya.
Suatu malam, saat semua orang tidur nyenyak, hal aneh terjadi. Dari ubun-ubun Ken Angrok, kelelawar berbondong-bondong keluar tanpa ia sadari dan memakan buah jambu milik gurunya. Keesokan paginya, buah jambu berserakan di halaman, dan para pengiring melaporkannya kepada sang guru. Melihat kerusakan itu, guru menjadi sedih. Ketika ditanya, para pengiring berkata, “Jambu ini rusak karena dimakan kelelawar.”
Guru kemudian memasang pagar duri rotan di sekitar sisa buah jambu dan menyuruh murid-murid berjaga. Malam berikutnya, ketika Ken Angrok tertidur di atas balai-balai, dekat tempat gurunya menganyam atap, sang guru melihat lagi kelelawar berbondong-bondong keluar dari ubun-ubun Ken Angrok dan menyerbu pohon jambu. Guru merasa bingung dan tak berdaya, tidak bisa mengusir kelelawar yang terus memakan buah-buahnya.
Dalam kemarahannya, sang guru membangunkan Ken Angrok di tengah malam dan mengusirnya dari balai-balai. Terperanjat, Ken Angrok bangun dengan terhuyung-huyung dan pergi tidur di luar, di lapangan berumput ilalang. Ketika sang guru melihatnya tidur di luar, ia melihat sesuatu yang menyala di tengah ilalang dan mengira ada kebakaran. Setelah diperiksa, ternyata yang menyala itu adalah tubuh Ken Angrok.
Guru terkejut dan segera menyuruh Ken Angrok bangun dan kembali tidur di dalam rumah. Ken Angrok menurut dan kembali tidur di ruang tengah. Keesokan paginya, sang guru menyuruhnya mengambil buah jambu. Ken Angrok, yang sangat senang, berkata dalam hati, “Aku berharap suatu hari menjadi orang yang berguna dan akan membalas budi kepada guru yang kuhormati.”
Setelah mendapatkan izin dari guru mereka, Ken Angrok dan Tuwan Tita memulai kehidupan baru dengan mendirikan pondok di ladang Sanja, yang terletak di sebelah timur Sagenggeng. Mereka memanfaatkan ilmu yang diajarkan oleh guru untuk beternak kambing dan lembu. Pondok yang mereka dirikan pun segera menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh orang-orang yang melintasi jalan tersebut. Hubungan Ken Angrok dengan masyarakat setempat semakin erat, menjadikan pondok mereka sebagai pusat aktivitas sosial yang hidup.
Ken Angrok tidak hanya bekerja keras, tetapi juga aktif belajar memahami dunia di sekelilingnya serta cara membangun hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat yang sering berinteraksi dengannya. Proses ini menjadi pondasi penting dalam pertumbuhannya, mengubahnya dari seorang remaja yang penuh harapan menjadi seorang dewasa yang mulai menyadari dan menggali potensinya.
Tanpa terasa, Ken Angrok tumbuh menjadi seorang pemuda yang mulai tertarik pada seorang gadis cantik yang sering ditemuinya. Dia sering menghantar gadis itu untuk menunggui penyadapan enau. Karena mereka bekerja dengan senang hati, hasil yang mereka peroleh pun semakin melimpah.
Namun, keakraban mereka menarik perhatian teman gadis tersebut, Adiyuga, yang merasa cemburu. Ketika Ken Angrok dan gadis itu berpegangan tangan sambil mengangkat hasil penyadapan enau di hutan, perasaan cemburu Adiyuga semakin membara.
Merasa sakit hati melihat kedekatan mereka, Adiyuga pun berusaha merusak hubungan itu dengan menyebarkan cerita fitnah. Dia mengatakan kepada orang-orang di sekitar hutan bahwa Ken Angrok telah memperkosa gadis-gadis yang melintasi jalan tersebut. Berita bohong ini menyebar dengan cepat, membuat banyak orang mulai takut dan menjauhi nama Ken Angrok.
Akhirnya, berita fitnah tentang Ken Angrok semakin meluas hingga sampai ke telinga penguasa NEGARA DAHA. Pihak penguasa mulai mencari Ken Angrok, yang dianggap sebagai penyebab kerusuhan dan keonaran di daerah tersebut. Dengan perintah dari akuwu setempat, Tunggul Ametung, Ken Angrok pun harus ditindak dan dihukum berat.
Untuk menghindari fitnah dan hukuman yang menantinya, Ken Angrok secara diam-diam meninggalkan Sagenggeng dan bersembunyi di tempat keramat bernama Rabut Gorontol. Di tempat itu, Ken Angrok mencoba menenggelamkan dirinya ke dalam air, berharap untuk mati dan terlepas dari masalah yang menghimpitnya, serta dari ancaman orang-orang yang ingin menghabisinya.
Namun, takdir berkata lain. Sang Yang Widi tidak menghendaki kematiannya. Ken Angrok muncul kembali dari dalam air, selamat dan masih hidup, meskipun berita tentang kematiannya telah menyebar di kalangan masyarakat.
Menghadapi masa-masa sulit untuk keluar dari keruwetan yang melanda, Ken Angrok memutuskan untuk meninggalkan Rabut Gorontol dan mengungsi ke Wayang, sebuah ladang di Sukamanggala. Di sana, ia bertemu dengan seorang pemikat burung pipit yang sedang berusaha memanggil burung tersebut.
Pemikat burung itu mengarahkan Ken Angrok menuju tempat keramat Rabut Katu. Di tempat itu, Ken Angrok heran melihat tumbuhan katu yang tumbuh sebesar beringin, memberikan suasana mistis yang kental. Ia merasa bahwa lokasi ini dapat dijadikan persembunyian yang aman.
Setelah menjelajahi lebih jauh, Ken Angrok menemukan Jun Watu, sebuah daerah yang sempurna untuk dijadikan tempat tinggal baru. Di Lulumbang, yang merupakan bagian dari daerah tersebut, ia mendapati bahwa tempat itu dihuni oleh keturunan atau golongan tentara, menambah rasa aman dan persatuan dalam komunitas yang akan ia bangun di sana.
Nana Gagak Uget telah lama tinggal di daerah tersebut. Dia sering memaksa orang-orang yang melintas untuk pergi ke Kapundungan. Suatu ketika, seorang pencuri di Pama Lantenan ketahuan mencuri dan segera dikejar. Dia tidak menyadari bahwa dirinya sudah dikepung dan tidak bisa kemana-mana untuk bersembunyi. Dalam keadaan panik, pencuri itu memanjat pohon tal yang tumbuh di tepi sungai.
Setelah siang, keberadaannya terungkap. Ketika ia turun dari pohon tal tersebut, orang-orang dari Kapundungan yang menunggunya langsung menangkapnya. Mereka memukulkan canang kepadanya, dan sebagai bentuk hukuman, mereka menebang pohon tal tempat ia bersembunyi.
Dalam keadaan terdesak, pencuri itu menangis sedih dan mengingat Sang Pencipta atas kebaikan yang masih ada padanya. Tiba-tiba, ia mendengar suara dari angkasa yang memerintahkannya untuk memotong dua helai daun tal. Daun-daun tersebut diubahnya menjadi sayap di sebelah kiri dan kanan, memberi harapan untuk bisa melayang ke seberang.
Dengan sayap barunya, ia berharap dapat melarikan diri ke Nagamasa, yang terletak di manca negara, jauh dari kejaran dan buruan orang-orang di Kapundungan. Ia bercita-cita untuk meninggalkan tanah subur tersebut dan memulai hidup baru di tempat yang lebih aman.
Ken Angrok, yang merupakan buronan kerajaan Daha, mencari perlindungan kepada seorang pejabat di Tumapel dan memohon untuk diangkat menjadi anak angkat. Pejabat tersebut memiliki wilayah persawahan yang luas, yang dirawat oleh enam anaknya. Kebetulan, salah satu anaknya sedang pergi membeli alat pengeringan yang diletakkan di empangan rumah, sehingga hanya tersisa lima orang yang sedang mengerjakan sawah.
Saat itu, tentara dari Daha datang mencari Ken Angrok. Mereka menemui pejabat dan bertanya, "Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar. Kami mendengar bahwa dia mengungsi ke sini." Pejabat itu menjawab dengan tegas, "Kami tidak bisa berbohong. Di sini kami ada enam orang, yang sedang bertanam ini juga enam. Silakan hitung sendiri, jika lebih dari enam, berarti ada orang lain di sini."
Mendengar penjelasan tersebut, para tentara pun menghitung dan menyadari bahwa memang ada enam orang di situ. Mereka pun segera pergi. Setelah tentara pergi, pejabat daerah berkata kepada Ken Angrok, "Pergilah kamu, jangan kembali. Jika ada yang mendengar pembicaraan kita tadi, semua usaha saya akan sia-sia. Bersembunghilah di hutan." Ken Angrok mengucapkan terima kasih, "Semoga tuan selalu dianggap melindungi saya dari kejaran prajurit Tumapel." Dengan itu, Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan Terwag.
Namun, keberadaan Ken Angrok di hutan semakin merusuh. Di daerah Luki, kepala lingkungan mempersiapkan tanah untuk ditanami kacang. Ia pergi membajak ladang sambil membawa nasi untuk anaknya yang menggembalakan lembu. Nasi itu dimasukkan ke dalam tabung bambu dan diletakkan di atas onggokan tanah.
Kepala lingkungan itu sangat asyik membajak ladang kacang, tetapi setiap hari, nasi untuk anaknya hilang tanpa jejak. Hal ini membuatnya bingung. Ia mulai bertanya-tanya, "Apa sebabnya nasi itu selalu hilang?" Kebingungan ini semakin mendalam, dan ia bertekad untuk mencari tahu siapa yang mencuri makanannya.
terdiri 32 halaman ditulis sebanyak 1126 baris