Kitab Pararaton (2)





Saat itu, kepala lingkungan memperhatikan dari tempat persembunyiannya bahwa nasi anak gembala yang sedang membajak lahan sedang diintai. Anak gembala diperintahkan untuk terus membajak. Tak lama kemudian, Ken Angrok muncul dari dalam hutan dengan niat mengambil nasi tersebut. Kepala lingkungan langsung menegur, "Jelas sekali, kaulah, buyung, yang setiap hari mengambil nasi anak gembalaku."

Ken Angrok menjawab, "Benar, tuan kepala lingkungan, sayalah yang mengambil nasi anak gembala tuan setiap hari. Saya lapar, tak ada yang bisa saya makan."

Kepala lingkungan tersenyum dan berkata, "Baiklah, buyung. Datanglah ke asramaku jika kamu lapar. Mintalah nasi setiap hari, karena sebenarnya saya selalu menunggu tamu yang datang."

Ken Angrok kemudian diajak oleh kepala lingkungan ke rumahnya. Di sana, ia dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kepala lingkungan berkata kepada istrinya, "Nini Batari, aku berpesan padamu, jika Ken Angrok datang ke sini, meskipun aku tidak ada di rumah, terimalah dia sebagai keluarga kita. Kasihanilah dia."

Sejak itu, diceritakan bahwa Ken Angrok datang setiap hari ke rumah tersebut. Setelahnya, ia biasanya melanjutkan perjalanan ke Lulumbang, ke banjar Kocapet. Suatu ketika, seorang kepala lingkungan dari daerah Turyantapada, yang bernama Mpu Palot, sedang pulang dari Kebalon. Ia adalah seorang pandai emas yang berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon, yang begitu mahir dalam seni pembuatan barang-barang emas dengan kesempurnaan tanpa cela.

Mpu Palot yang telah menyelesaikan belajarnya membawa beban emas seberat lima tahil saat pulang ke Turyantapada. Ketika ia berhenti di Lulumbang, rasa takut menghampirinya karena mendengar kabar tentang seorang perampok di jalan yang bernama Ken Angrok, yang ditakuti oleh banyak orang. Takut akan bepergian sendirian, Mpu Palot merasa cemas.

Di tempat peristirahatannya, ia bertemu dengan seorang pria yang tak lain adalah Ken Angrok sendiri. Ken Angrok mendekatinya dan bertanya, "Wahai, tuanku, hendak pergi ke manakah?"

Mpu Palot menjawab dengan penuh kehati-hatian, "Aku sedang dalam perjalanan pulang dari Kebalon, buyung. Aku hendak kembali ke Turyantapada, tetapi aku takut di jalan karena mendengar kabar tentang seorang perampok bernama Ken Angrok."

Ken Angrok tersenyum mendengar kekhawatiran Mpu Palot. “Nah, Tuan, biarlah anaknda ini yang akan mengantarkan pulang Tuan. Jika sampai kita bertemu dengan Ken Angrok, biar anaknda yang akan melawannya. Tuan tak perlu khawatir, pulanglah dengan tenang ke Turyantapada.”

Mpu Palot merasa berhutang budi atas kesanggupan Ken Angrok. Setibanya di Turyantapada, Ken Angrok diajari ilmu membuat barang-barang emas oleh Mpu Palot. Dalam waktu singkat, Ken Angrok menjadi sangat pandai, bahkan tak kalah kepanaiannya dibandingkan dengan Mpu Palot. Karena kekagumannya, Mpu Palot mengangkat Ken Angrok sebagai anaknya, dan sejak saat itu, asrama di Turyantapada dikenal dengan nama "Bapa."

Meskipun demikian, Mpu Palot merasa bahwa ada satu kekurangan dalam ilmu Ken Angrok. Oleh karena itu, ia mengirim Ken Angrok ke Kebalon untuk menyempurnakan ilmunya dalam membuat barang-barang emas di bawah bimbingan orang tertua di sana. Tujuannya adalah agar Ken Angrok bisa menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh kepala lingkungan.

Ken Angrok pun berangkat ke Kebalon, tetapi ketika ia tiba, penduduk di sana tidak mempercayainya. Merasa diperlakukan dengan tidak hormat, Ken Angrok marah dan berkata, "Semoga ada lubang di tempat orang yang hidup menepi ini!" Dengan amarah yang meluap, ia menikam salah satu penduduk. Orang-orang pun melarikan diri, mencari perlindungan kepada kepala desa tertua di Kebalon.

Kepala desa memanggil seluruh petapa dan guru Hyang di Kebalon, termasuk para punta. Mereka semua berkumpul dan membawa pukulan perunggu, bertekad mengejar dan memukul Ken Angrok. Niat mereka jelas, yaitu membunuh Ken Angrok.

Namun, tiba-tiba terdengar suara dari angkasa, “Jangan bunuh orang itu, wahai para petapa! Anak itu adalah anakku, dan masih jauh tugasnya di dunia ini.”

Mendengar suara dari angkasa itu, para petapa pun berhenti dan menolong Ken Angrok, yang kemudian bangkit kembali seperti sediakala. Setelah itu, Ken Angrok mengucapkan kutukan, “Semoga tidak ada petapa di sebelah timur Gunung Kawi yang tidak sempurna kepandaiannya dalam membuat benda-benda emas.”

Setelah peristiwa di Kebalon, Ken Angrok mengungsi ke Turyantapada dan tinggal di daerah lingkungan Bapa. Di sana, ia berhasil menyempurnakan kepandaiannya dalam mengolah emas. Namun, Ken Angrok tidak berhenti sampai di situ. Ia kemudian pergi menuju desa Tugaran, di mana kepala tertua desa tersebut tidak menunjukkan belas kasih. Ken Angrok mengganggu penduduk Tugaran, bahkan arca penjaga pintu gerbang desa itu diambil dan diletakkan di daerah lingkungan Bapa.

Di desa Tugaran, Ken Angrok bertemu dengan anak perempuan kepala tertua yang sedang menanam kacang di sawah kering. Gadis ini lalu ditemani Ken Angrok dalam aktivitasnya. Seiring waktu, tanaman kacang itu tumbuh subur dan menghasilkan biji-biji yang besar, mengkilap, dan gurih. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kacang dari Tugaran sangat terkenal. Setelah beberapa waktu, Ken Angrok pulang lagi ke daerah Bapa.

Dalam perjalanan pulangnya, Ken Angrok berjanji, “Jika kelak saya menjadi orang besar, saya akan memberi perak kepada pemimpin di daerah Bapa ini.” Sementara itu, di kota Daha, kabar tentang Ken Angrok mulai tersebar, yang menyebutkan bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada. Ini memicu tindakan untuk mencarinya dan menghilangkannya. Ken Angrok pun pergi dari daerah Bapa dan menuju Gunung Pustaka untuk menghindari pencarian.

Selanjutnya, ia melanjutkan pelariannya ke Limbehan, di mana kepala tertua desa itu memberikan belas kasihan dan perlindungan kepada Ken Angrok. Dalam perjalanan, Ken Angrok akhirnya berziarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. Di sana, ia menerima petunjuk dari dewa yang memerintahkannya untuk pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama. Para dewa akan bermusyawarah di tempat itu.

Seorang nenek kebayan di Panitikan berkata kepada Ken Angrok, “Saya akan membantu menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tidak ada yang tahu. Saya akan menyapu di Gunung Lejar saat semua dewa bermusyawarah.” Mendengar kata-kata nenek kebayan itu, Ken Angrok merasa lega dan segera berlari menuju Gunung Lejar, menanti hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, untuk menghadiri musyawarah para dewa.


Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: “Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya.”

Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: “Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa,” demikian pertanyaan para dewa semua.

Menjawablah dewa Guru: “Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah Jawa.”

Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di sebelah timur Kawi.

Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok.

Kata Dang Hyang Lohgawe: “Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: “Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian.”

Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja.

Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja”.

Menjawablah Ken Angrok: “Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok.”
Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja kamu pergi.”

Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu.

Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung.

Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: “Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan.”
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu”.

Menjawablah Tunggul Ametung: “Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini”. Demikianlah kata Tunggul Ametung.

Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu, 

Kemudian ada seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawidjen, bernama Mpu Purwa.
Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. 

Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel.

Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gadis cantik itu.

Kebetulan saat itu Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, saat itu Ken Dedes langsung dilarikan oleh Tunggul Ametung.

Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: “Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang-orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan.

Demikian kata Mpu Purwa, "Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar”. Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen.

Setelah datang di Tumapel, ken Dedes dikawin paksa oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baru saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji;

Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat.

Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: “Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu”.

Dang Hyang menjawab: ” Siapa itu, buyung”. Kata Ken Angrok: ”Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba”.

Kata Dang Hyang: “Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa jika tidak memperisteri perempuan itu, karena akan menjadi maharaja.”

Ke Angrok diam, akhirnya berkata: “Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan mengijinkan.”

Jawab Dang Hyang: ” Ya, tentu bunuhlah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri.”

Kata Ken Angrok: “Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan.”
Sang Brahmana menjawab: “Akan kemana kamu buyung?”
Ken Angrok menjawab: ”Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya.”

Kata Dang Hyang: “Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung.”
Kata Ken Angrok: “Apakah perlunya hamba lama disana.”
Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya di Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. “Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi.”

Ken Angrok menjawab: “Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. 

Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba.
Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: “Bagaimana seorang perempuan yang menyala rahasianya itu.”











   terdiri 32 halaman ditulis sebanyak 1126 baris   .

 1    2    3     4     5     6     7    Next

 

ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo