Namun, Ken Angrok menjawab, “Apa pun yang terjadi, aku ingin keris itu selesai dalam lima bulan.”
Ken Angrok pergi dari Lulumbang ke Tumapel, di sana ia bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya, “Apa sebabnya kamu lama di Tumapel?” Setelah genap lima bulan, Ken Angrok teringat akan perjanjiannya untuk membuat keris kepada Mpu Gandring.
Ken Angrok pergi ke Lulumbang dan menemukan Mpu Gandring yang sedang mengasah keris pesanan dirinya.
Ken Angrok bertanya, “Di manakah pesanan saya, Tuan Gandring?” Mpu Gandring menjawab, “Inilah keris yang sedang saya asah, Buyung Angrok.” Ken Angrok meminta untuk melihat keris tersebut. Dengan nada marah, ia berkata, “Ah, tidak ada gunanya saya meminta keris ini kepada Tuan Gandring! Bukankah keris ini belum selesai diasah? Sangat disayangkan, inikah yang Tuan kerjakan selama lima bulan?” Emosi Ken Angrok semakin memuncak, dan ia menusukkan keris buatan Gandring itu kepada sang empu.
Tunggul Ametung memiliki seorang orang kepercayaan yang setia, Kebo Hijo, yang juga merupakan sahabat dekat Ken Angrok. Dalam hubungan persahabatan yang erat itu.
Suatu ketika, Kebo Hijo melihat Ken Angrok menyisipkan sebuah keris baru. Keris tersebut memiliki hulu yang terbuat dari kayu cangkring, masih berduri dan belum diberi perekat, sehingga tampak kasar namun memancarkan daya tarik tersendiri. Kebo Hijo pun merasa terpesona oleh keindahan keris itu.
Dengan antusiasme yang tinggi, ia berkata kepada Ken Angrok, “Wahai kakak, bolehkah aku meminjam keris itu?” Tanpa ragu, Ken Angrok memberikan kerisnya kepada Kebo Hijo. Begitu memilikinya, Kebo Hijo merasa bahagia dan bangga, merasakan kekuatan dan pesona dari keris tersebut saat ia menggunakannya.
Keris milik Ken Angrok telah lama dipakai oleh Kebo Hijo, hingga tak ada seorang pun di Tumapel yang tidak mengenal Kebo Hijo dengan keris baru di pinggangnya. Kehadiran keris tersebut menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, yang terpesona oleh keanggunannya.
Namun, di balik semua itu, Ken Angrok memiliki rencana licik. Ia mencuri kembali kerisnya dari Kebo Hijo dengan cerdik, berhasil mengambilnya tanpa ada yang menyadari.
Suatu malam yang sunyi, ketika semua orang di Tumapel terlelap dalam mimpi, Ken Angrok melangkah ke rumah akuwu. Dengan langkah hati-hati dan nasib baik yang menyertainya, ia menuju peraduan Tunggul Ametung. Tanpa ada yang menghalangi jalannya, Ken Angrok mendekati sang akuwu dan menusukkan keris tersebut tepat di jantungnya.
Tunggul Ametung terjatuh, mati seketika akibat serangan yang mendadak. Dalam pelarian, Ken Angrok dengan sengaja meninggalkan keris buatan Gandring di tempat kejadian, sebuah tindakan yang semakin menambah misteri di balik perbuatannya.
Ken Angrok dan Ken Dedes menjalin cinta yang begitu dalam, dan pernikahan mereka telah berlangsung cukup lama. Dari pernikahan sebelumnya dengan Tunggul Ametung, Ken Dedes melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Sang Anusapati, atau dikenal dengan nama panjangnya, Sang Apanji Anengah.
Setelah Ken Dedes menikah dengan Ken Angrok, ia melahirkan seorang putra bernama Mahisa Wonga Teleng. Tak lama kemudian, Ken Dedes juga melahirkan tiga anak lainnya: Sang Apanji Saprang, Agnibaya, dan Dewi Rimbu. Jadi, dari Ken Angrok, Ken Dedes memiliki empat orang anak.
Selain Ken Dedes, Ken Angrok juga memiliki istri muda bernama Ken Umang, yang memberinya tiga orang anak: Panji Tohjaya, Twan Wregola, dan Dewi Rambi. Keseluruhan, Ken Angrok memiliki sembilan orang anak—tujuh laki-laki dan dua perempuan.
Seiring waktu, pengaruh Ken Angrok semakin kuat. Ia berhasil menguasai wilayah sebelah timur Gunung Kawi, dan semua penduduk di daerah tersebut takut serta tunduk kepadanya. Keinginan Ken Angrok untuk menjadi raja semakin jelas, dan hal ini disambut baik oleh masyarakat Tumapel yang mendukung ambisinya.
Nasib pun seolah berpihak pada Ken Angrok. Di Daha, Raja Dandhang Gendis, yang semakin sombong, memanggil para bujangga—pemeluk agama Siwa dan Buddha—dari seluruh wilayahnya. Dengan penuh arogansi, ia berkata, “Wahai para bujangga, mengapa kalian tidak menyembah kami? Bukankah kami ini adalah Batara Guru yang sejati?”
Para bujangga pun menjawab dengan tenang, “Tuanku, sejak zaman dahulu, tidak ada bujangga yang menyembah raja.”
Mendengar jawaban itu, Raja Dandhang Gendis menjadi marah dan berkata, “Jika di masa lalu tidak ada yang menyembah raja, sekarang kalian harus menyembah kami! Jika kalian meragukan kesaktian kami, akan kami tunjukkan buktinya.”
Kemudian, Raja Dandhang Gendis menancapkan sebuah tombak ke tanah dan duduk di ujungnya. Di hadapan para bujangga, ia menampakkan dirinya sebagai sosok sakti dengan empat lengan dan tiga mata, memperlihatkan wujudnya sebagai Batara Guru. Meski begitu, para bujangga tetap menolak untuk menyembahnya. Mereka bahkan menentang Dandhang Gendis dan akhirnya pergi mencari perlindungan di Tumapel, memilih untuk menghamba kepada Ken Angrok.
Inilah asal mula mengapa Tumapel tak lagi mau berhubungan dengan negara Daha.
Tak lama setelah itu, Ken Angrok diakui dan direstui sebagai raja di Tumapel, yang kemudian dikenal dengan nama Singasari. Nama nobatannya adalah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, disaksikan oleh para bujangga yang merupakan pemeluk agama Siwa dan Buddha dari Daha, termasuk Dang Hyang Lohgawe yang diangkat sebagai pendeta istana.
Semua yang telah menunjukkan belas kasih kepada Ken Angrok, terutama saat ia berada dalam masa sulit, dipanggil untuk menerima perlindungan dan imbalan atas jasa-jasanya. Di antara mereka adalah Bango Samparan, kepala lingkungan Turyantapada, serta anak-anak pandai besi dari Lulumbang, termasuk Mpu Gandring. Seratus pandai besi di Lulumbang diberikan hak istimewa dalam batas wilayah mereka, dan anak Kebo Hijo setara haknya dengan anak Mpu Gandring.
Anak laki-laki Dang Hyang Lohgawe, bernama Wangbang Sadang, lahir dari seorang ibu yang memeluk agama Wisnu, kemudian dikawinkan dengan Cucu Puranti, putri Bapa Bango. Inilah inti keutamaan Sang Amurwabumi yang berhasil menjadikan Singasari sebagai negara yang makmur dan aman tanpa halangan.
Kabar tentang Ken Angrok yang kini menjadi raja segera tersebar. Raja Dandhang Gendis mendengar bahwa Ken Angrok berniat menyerang Daha. Dengan nada meremehkan, Dandhang Gendis berkata, “Siapakah yang dapat mengalahkan negara kami ini? Mungkin baru kalah jika Batara Guru turun dari angkasa.”
Ken Angrok mendapat informasi tentang perkataan Raja Dandhang Gendis tersebut. Ia pun berucap, “Wahai para bujangga pemeluk Siwa dan Buddha, restuilah kami untuk mengambil nama nobatan Batara Guru.” Dengan restu dari para brahmana dan resi, ia resmi menggunakan nama nobatan tersebut.
Segera setelah itu, Ken Angrok berangkat untuk menyerang Daha. Dandhang Gendis, yang mendengar bahwa Sang Amurwabumi dari Tumapel akan menyerang, merasa cemas dan berkata, “Kami akan kalah, karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa.”
Pertempuran pun berlangsung antara tentara Tumapel dan tentara Daha di sebelah utara Ganter. Kedua belah pihak bertarung dengan gigih, mengakibatkan banyak korban. Adik Raja Dandhang Gendis, Mahisa Walungan, gugur sebagai pahlawan, bersama menterinya yang bernama Gubar Baleman. Keduanya gugur akibat serangan mendalam yang dilancarkan oleh tentara Tumapel, yang berperang dengan semangat yang tak tertandingi, bagaikan banjir yang mengalir dari gunung.