KITAB RUJUKAN
CERITA KERAJAAN MAJAPAHIT
CERITA KERAJAAN MAJAPAHIT
Masa Berkembangannya Kerajaan Majapahit
----------------------------------------------------------------------------
VII
Raden Wijaya menjadi raja pada tahun Saka 1216, yang dikenal dengan gelar nobatannya sebagai Sri Kertarajasa Jayawardhana. Ia menikahi Dara Pethak, seorang wanita dari Melayu, dan dari pernikahan ini lahir seorang putra yang diberi nama Raden Kalagemet. Selain itu, Raden Wijaya juga memperistri dua putri dari Batara Siwa Buda yang dijadikan simbol diplomatik dengan orang Tatar (Mongol). Putri yang lebih tua menjadi ratu di Kahuripan, sedangkan yang lebih muda menjadi ratu di Daha.
Di bawah pemerintahan Raden Wijaya, kerajaan Majapahit mulai tumbuh dan berkembang, namun di tahun-tahun terakhir pemerintahannya, ia menderita penyakit bisul yang semakin parah. Raden Wijaya akhirnya wafat di Antapura pada tahun Saka 1257 (atau 1335 M).
VIII
Setelah wafatnya Raden Wijaya (Sri Kertarajasa), putranya Raden Kalagemet naik takhta dengan nama nobatan Batara Jayanagara. Di bawah pemerintahannya, Sri Siwa Buda, yang merupakan salah satu figur penting dalam dinasti, dicandikan di Tumapel, dengan nama resmi candi tersebut Purwa Patapan. Pembangunan candi ini berjarak 17 tahun setelah terjadinya pemberontakan Ranggalawe.
Pemberontakan Ranggalawe merupakan salah satu peristiwa penting di awal pemerintahan Majapahit. Awalnya, Ranggalawe hendak dijadikan Patih, namun rencana itu dibatalkan, yang menyebabkan kekecewaan besar dan mendorongnya untuk memberontak. Ia mengumpulkan kawan-kawannya dan membentuk sebuah perserikatan. Ranggalawe kemudian memimpin pemberontakan di Tuban, mengajak orang-orang dari gunung sebelah utara untuk bergabung dalam perjuangannya.
Beberapa tokoh penting yang mendukung pemberontakan Ranggalawe antara lain: Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya Sidi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, dan Ra Tati. Mereka adalah sekutu-sekutu setia Ranggalawe dalam pemberontakan tersebut.
Pemberontakan ini dipicu oleh fitnah yang disebarkan oleh Mahapati, seorang pejabat kerajaan yang berambisi mempertahankan kekuasaannya. Mahapati menyebarkan fitnah dengan memelintir ucapan Ranggalawe, yang katanya berkata: “Jangan banyak bicara, di dalam kitab Partayadnya ada tempat untuk para penakut.” Fitnah ini memicu ketegangan, dan akhirnya Ranggalawe memilih untuk meninggalkan Majapahit demi merebut kedudukan dan memulai pemberontakannya.
Setelah mendengar tentang pemberontakan Ranggalawe, Mahapatih (pejabat tinggi kerajaan) yang memberi tahu raja Jayanagara mengenai hal tersebut. Raja Jayanagara marah besar atas pemberontakan tersebut, sehingga semua teman Ranggalawe yang terlibat dalam pemberontakan itu tewas, kecuali Ra Gelatik yang berhasil berbalik hati dan selamat dari kematian.
Peristiwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun Saka 1217, yang disebut sebagai Kuda Bumi Sayap Orang.
Di waktu yang sama, Wiraraja memohon untuk menetap di Lamajang, sebuah wilayah yang luasnya tiga daerah juru. Hal ini terkait dengan janji yang pernah diberikan oleh Raden Wijaya untuk membagi dua Pulau Jawa dan memberikan daerah lembah Lumajang, baik sebelah selatan maupun utara, beserta tiga daerah juru di dalamnya.
Wiraraja telah lama menikmati kedudukannya di daerah tersebut. Nambi tetap menjadi patih, Sora menjabat sebagai Demung, dan Tipar menjabat sebagai Tumenggung, memperkuat struktur pemerintahan yang stabil di masa itu.
Pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, setelah peristiwa pemberontakan Ranggalawe, terjadi serangkaian intrik politik yang sebagian besar dipicu oleh Mahapati, seorang pejabat yang berpengaruh namun penuh tipu muslihat. Setelah tiga tahun berlalu dari peristiwa Ranggalawe, muncul Peristiwa Sora. Sora, yang sebelumnya menjabat sebagai Demung, difitnah oleh Mahapati dan akhirnya dibunuh oleh Kebo Mundarang pada tahun Saka Baba Tangan Orang (1222).
Mahapati melanjutkan strateginya dengan menjatuhkan tokoh penting lainnya, yaitu Nambi. Meskipun Nambi berjasa besar dalam peperangan, kontribusinya diabaikan. Pada saat yang tepat, Nambi memohon izin kepada Sri Jayanagara untuk meninjau keadaan Wiraraja, yang dikabarkan sedang sakit. Sri Jayanagara mengizinkan, namun memerintahkan Nambi agar tidak berlama-lama. Setelah kunjungannya, Nambi tidak kembali ke Majapahit, melainkan menetap di Lembah Lumajang, membangun benteng dan menyiapkan pasukan, sebagai tanda penolakan terhadap kekuasaan pusat.
Di sisi lain, Wiraraja meninggal dunia, mengakhiri karier panjangnya sebagai penguasa di Lumajang, sementara Sri Jayanagara terus memerintah. Namun, pemerintahannya tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun.
Pada tahun Saka Api Api Tangan Satu (1233), terjadi letusan gunung Lungge, yang menambah tekanan pada masa pemerintahan Jayanagara. Dua tahun setelah peristiwa Sora, terjadi Peristiwa Juru Demung yang juga mengakibatkan kematian Juru Demung pada tahun Saka Keinginan Sifat Sayap Orang (1235). Peristiwa ini diikuti oleh Peristiwa Gajah Biru pada tahun Saka Rasa Sifat Sayap Orang (1236), yang semakin menambah ketegangan dalam pemerintahan.
Kemudian, muncul Peristiwa Mandana, di mana Sri Jayanagara sendiri memimpin pasukan untuk melenyapkan orang-orang dari Mandana, sebagai bagian dari upaya mempertahankan kekuasaannya di tengah banyaknya konflik yang terjadi.
Setelah serangkaian peristiwa politik yang mengguncang kerajaan, Sri Jayanagara akhirnya memutuskan untuk pergi ke timur guna menumpas pemberontakan Nambi. Sebelumnya, Nambi telah mendapat kabar bahwa banyak tokoh penting dari Majapahit telah gugur, termasuk Juru Demung, Patih Pengasuh, dan Tumenggung Jaran Lejong. Mendengar ini, Nambi merasa yakin bahwa pasukan Majapahit telah melemah, dan berkata kepada para pengikutnya: “Kakak Samara, Ki Derpana, Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Ki Wirot, Ra Windan, Ra Jangkung, jika dibandingkan, orang-orang di timur ini tak akan kalah. Apalagi setelah pasukan mereka rusak, siapa lagi yang menjadi pemimpin di sebelah barat? Apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng, atau Ikal Ikalan Bang? Aku tak gentar, biar selaksa pasukan mereka maju dari depan dan belakang, akan kuhadapi seperti perang di Bubat.”
Ketika pasukan Majapahit datang untuk menyerang, Nambi dan pasukannya melakukan perlawanan sengit. Ganding rusak dan piagam-piagam penting berhasil direbut oleh pihak Majapahit. Nambi dan sekutunya, termasuk Derpana, Samara, Wirot Made, Windan, dan Jangkung, mulai melancarkan serangan besar-besaran. Dalam pertempuran awal, pasukan Majapahit hampir tercabut akarnya, tak ada yang dapat menahan serangan Nambi.
Namun, pertempuran berubah arah ketika Jabung Terewes, Lembu Peteng, dan Ikal Ikalan Bang memimpin pasukan Majapahit dan menyerang Nambi secara serempak. Dalam pertempuran itu, Nambi gugur bersama dengan teman-temannya yang setia. Pertempuran sengit di Rabut Buhayabang berakhir dengan kekalahan pihak Nambi, dan pasukan dari sebelah timur menyerah, mencabut payung kebesaran mereka.
Dengan tewasnya Nambi, perlawanan dari pihak timur, terutama di Lumajang, berhasil ditumpas. Daerah Lumajang jatuh ke tangan Majapahit pada tahun Saka Ular Menggigit Bulan (1238), menandai berakhirnya pemberontakan Nambi dan kemenangan mutlak Majapahit di kawasan tersebut.
Peristiwa Wagal dan Mandana terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan, dan dua tahun setelah peristiwa Wagal, muncul peristiwa di Lasem, di mana seorang tokoh bernama Semi dibunuh di bawah pohon kapuk pada tahun Saka Bukan Kitab Suci Sayap Orang (1240).
Selanjutnya, terjadi Peristiwa Ra Kuti, yang melibatkan dua kelompok Darmaputra Raja, yaitu pejabat-pejabat yang sebelumnya menerima anugerah dari raja. Tujuh orang utama dalam kelompok ini adalah Ra Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak. Konflik semakin memanas ketika Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh karena difitnah oleh Mahapati, yang sudah lama dikenal sebagai dalang di balik berbagai intrik di kerajaan.
Namun, Mahapati akhirnya diketahui sebagai pelaku fitnah dan pengkhianatan. Ia ditangkap dan dihukum mati dengan cara yang memalukan, dibunuh seperti seekor babi hutan. Sebagai hukuman atas dosanya, Mahapati dikirim ke Bedander. Ia pergi pada malam hari secara diam-diam, hanya diikuti oleh para prajurit Bayangkara, pasukan elit pengawal raja, yang kebetulan bertugas pada malam itu. Jumlah pengawal yang mengiringinya ada 15 orang, dan Gajah Mada, yang saat itu adalah Kepala Bayangkara, juga sedang bertugas menjaga raja. Oleh karena itu, ia ikut serta dalam iringan pengawal yang mendampingi raja dalam penyamarannya menuju Bedander.
Ada seorang pejabat yang memohon izin untuk pulang ke rumahnya ketika raja sedang berada dalam persembunyian di Bedander, namun permintaan ini tidak diizinkan oleh Gajah Mada. Alasan Gajah Mada adalah karena jumlah orang yang mengiringi raja sangat sedikit, dan ia khawatir jika pejabat tersebut pulang, informasi mengenai keberadaan raja bisa bocor, terutama kepada Ra Kuti, yang sedang mengincar raja. Meski demikian, pejabat tersebut tetap bersikeras untuk pergi, dan akhirnya Gajah Mada terpaksa menusuknya untuk mencegahnya membuka rahasia lokasi raja.
Lima hari kemudian, Gajah Mada meminta izin untuk pergi ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit, ia ditanya oleh para Amanca Negara tentang keberadaan raja. Dengan kecerdikan, Gajah Mada menjawab bahwa raja telah diculik oleh teman-teman Ra Kuti. Mendengar ini, para pejabat yang mendukung raja mulai menangis, namun Gajah Mada segera menenangkan mereka dengan berkata: “Janganlah menangis, apakah kalian ingin menghamba kepada Ra Kuti?” Para pejabat menjawab dengan tegas bahwa Ra Kuti bukanlah tuan mereka, menandakan bahwa mereka masih setia kepada raja yang sah.
Gajah Mada kemudian mengungkapkan bahwa sebenarnya raja masih aman dan bersembunyi di Bedander. Setelah itu, ia berhasil membentuk aliansi dengan para menteri dan pejabat kerajaan untuk menyusun rencana pembunuhan terhadap Ra Kuti. Akhirnya, Ra Kuti tewas dibunuh, dan raja bisa kembali dengan selamat dari Bedander.
Karena keberaniannya dan strateginya yang cerdik, Gajah Mada menjadi sangat dihormati. Kepala desa Bedander, yang telah melindungi raja, juga menjadi terkenal karena perannya dalam menyembunyikan raja selama masa genting tersebut. Setelah raja kembali, Gajah Mada diberi penghargaan, namun ia tidak lagi menjabat sebagai Kepala pasukan Bayangkara. Selama dua bulan, Gajah Mada diberi cuti dan dibebaskan dari tugas.
Setelah itu, Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan selama dua tahun. Ketika Sang Arya Tilam, patih di Daha, meninggal dunia, Gajah Mada dipindahkan dan diangkat menjadi Patih di Daha. Jabatan ini diberikan atas dukungan penuh dari Sang Arya Tadah, yang merupakan Patih Mangkubumi, atau pejabat tinggi kerajaan. Sang Arya Tadah memainkan peran penting dalam mendukung karier Gajah Mada hingga ia menjadi salah satu pejabat paling berpengaruh di Majapahit.
Raja Jayanagara memiliki dua orang saudara perempuan dari ibu yang berbeda, dan Jayanagara tidak mengizinkan mereka menikah dengan orang lain. Dia berniat untuk mengambil mereka sebagai istri sendiri, yang menyebabkan kecemasan di kalangan kesatria Majapahit. Karena takut akan tindakan Jayanagara yang cenderung kejam terhadap mereka yang dianggap mengincar adik-adiknya, para kesatria Majapahit memilih untuk bersembunyi dan tidak menampakkan diri.
Dalam situasi ini, istri Tanca, seorang pejabat istana, menyebarkan berita bahwa dirinya diperlakukan tidak baik oleh raja. Hal ini membuat Gajah Mada menuntut Tanca. Pada saat yang bersamaan, Raja Jayanagara sedang menderita penyakit bengkak, yang membuatnya tidak bisa keluar dari istana. Tanca diberi perintah untuk melakukan pembedahan pada raja dengan menggunakan taji.
Namun, ketika ia diizinkan mendekat untuk melakukan prosedur, Tanca menikam raja beberapa kali dengan taji. Awalnya, tusukan itu tidak berhasil karena raja mengenakan jimat. Ketika diminta untuk meletakkan jimatnya, Jayanagara meletakkannya di dekat tempat tidurnya, setelah itu Tanca kembali menyerang dan berhasil membunuh raja.
Setelah insiden ini, Gajah Mada segera bertindak dan membunuh Tanca, menyelesaikan peristiwa pembunuhan itu dengan cepat. Peristiwa ini terjadi sembilan tahun setelah insiden Ra Kuti, tepat pada tahun saka 1250 (tahun Jawa: Abu Unsur Memukul Raja).
Raja Jayanagara kemudian dicandikan di Kapopongan, dengan nama candi resminya Srenggapura, sementara arca beliau ditempatkan di Antawulan. Setelah kematian Jayanagara, Majapahit mulai kembali stabil, dan para kesatria yang sebelumnya bersembunyi mulai menampakkan diri lagi di istana.
Dalam masa ini, diadakan sayembara untuk memilih suami bagi Sri Ratu di Kahuripan, dan yang terpilih adalah Raden Cakradara. Selain itu, Raden Kuda Merta menikahi Sri Ratu di Daha dan menjadi raja di Wengker, sedangkan gelarnya adalah Sri Paduka Prameswara di Pamotan, dengan nama nobatan Sri Wijayarajasa.
Anak dari Raden Cakradara kemudian menjadi raja di Tumapel dengan gelar Sri Kertawardana, memperluas dinasti keluarga tersebut.