Kisah Petualang Cari Sejarah Lokal

-3-

Masa SMA (tahun 1985-1988) 

⇚INGIN KE AWAL KISAH

Masa SMA adalah masa yang penuh warna kenanan dalam hidup Agung. Sebagai anak Kelurahan Kepanjen yang tumbuh di lingkungan sederhana, masuk SMA membuka cakrawala baru yang dulu hanya bergaul sekitar lingkungan kampung, kini lebih luas untuk berteman dengan teman cowok atau cewek.

Teman-teman baru, datang dari berbagai daerah, tak
hanya dari desa-desa tetangga, tetapi juga dari kecamatan dengan latar belakang  berbeda. Perbedaan ini bukan menjadi penghalang, melainkan pengikat yang membuat persahabatan mereka semakin seru, bersama mereka, Agung menemukan dinamika baru, mulai dari berbagi cerita, belajar bersama, hingga menjelajahi tempat-tempat baru yang belum pernah Agung kunjungi sebelumnya.

Kebebasan dari seorang remaja telah Agung rasakan dan menjadi landasan untuk mencari pengalaman yang tak terlupakan. Dari diskusi ringan di sela-sela jam pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, hingga petualangan kecil selepas sekolah, semuanya terasa istimewa. Setiap hari adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh, bukan hanya dalam hal akademis, tetapi juga dalam memahami kehidupan dengan keberagaman, kemandirian, dan pentingnya menghargai setiap momen. 

Persahabatan gaya Remaja

Seiring berjalannya waktu, kegemaran Agung tentang menjelajah sungai mulai tergantikan dengan petualangan baru yalni, rekreasi ke alam, pantai dan pegunungan. Agung tidak sengaja menemukan teman-teman baru yang memiliki minat serupa. 

Masa SMP adalah salah satu periode paling berkesan dalam hidup Agung. Ia menghabiskan hari-hari penuh kenangan bersama teman-teman akrabnya seperti Handoko, Nur Sodik, Syamsul Arif, Sugeng, Jainul, Bambang, Rohani Nur, Wiwin, dan Pujiharti. Banyak di antara mereka kemudian melanjutkan sekolah ke SMA yang sama di Kepanjen, mempererat persahabatan yang sudah terjalin.

Saat memasuki masa remaja, dunia Agung mulai meluas. Ia bertemu teman-teman baru melalui tongkrongan di dekat gedung bioskop "Pendowo" dan "Teater Kepanjen," yang kebetulan hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya di Jalan Welirang.

Kepribadiannya yang mudah bergaul dan cepat membaur membuatnya diterima di berbagai kelompok. Ia bersahabat dengan Khoirul (Celeng), Jono, Yori, Wanto (Batang), Agus (Kandim), Agus (Lengges), Agus (Gembos), Suryanto, Purwanto, serta banyak lagi, termasuk teman dari kakak dan adik kelas.

Selain itu, Agung menjalin hubungan erat dengan kelompok remaja kreatif seperti Othek (singkatan dari "oleh tekad"), yang terdiri dari para pemuda di sekitar lor pasar. Mereka juga aktif dalam kegiatan Pecinta Alam, musik, hingga menjadi bagian dari grup band rock lokal. Kebersamaan ini menjadikan masa remaja Agung penuh warna dan membangun jaringan pertemanan.

Pendakian ke Gunung Bendera

Pendakian ke Gunung Bendera selalu diawali dengan kesepakatan sederhana. Kali ini, mereka sepakat berkumpul di rumah Handoko, yang berlokasi strategis di dekat Pasar Besar Kepanjen. Tempat itu mudah dijangkau oleh semua teman, menjadikannya titik kumpul yang sempurna.  

Pagi itu, suasana penuh semangat. Satu per satu mereka tiba, membawa perbekalan sederhana: nasi bungkus, air minum, senter, dan tenda seadanya. Tepat pukul 7 pagi, perjalanan dimulai. Gunung Bendera, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Pasar Besar, menjadi tujuan mereka. Gunung ini merupakan bagian dari deretan pegunungan kapur disebut "pegunungan Kendeng", dihiasi hutan jati yang rimbun dan batuan kapur yang khas. Keindahan alamnya yang masih asri dan udara sejuknya membuat tempat ini menjadi favorit teman-teman Agung.

Setibanya di kaki gunung, pendakian dimulai dengan suasana penuh keceriaan. Mereka saling bercanda, menertawakan hal-hal kecil, dan sesekali berlomba siapa yang lebih cepat mencapai puncak meski akhirnya tetap saling menunggu. Kebersamaan mereka membuat setiap langkah terasa lebih ringan.  

Saat malam menjelang, mereka tiba di puncak pegunungan Kendeng seakan langit berbintang menjadi atap yang indah, menghamparkan pesona malam yang menenangkan. Di sekitar api unggun, mereka duduk melingkar. Ada yang memetik gitar, ada yang bercerita, dan ada pula yang hanya menikmati keheningan malam. Sebelum tidur, mereka menyempatkan diri berdoa bersama, mensyukuri kesempatan menikmati kebersamaan dalam kesederhanaan.  

Bagi Agung dan teman-temannya, Gunung Bendera bukan sekadar tujuan yang asik. Tempat ini adalah cocok untuk menenangkan kejenuhan dari rutinitas. Di sini, mereka menemukan ketenangan, keakraban, kebersamaan, kebebasan yang menyatukan hati mereka. Di bawah langit malam, dengan bekal makanan seadanya kami merasakan hidup yang begitu sederhana.  

Beli Vespa 1986 Tokonya sekarang Sudah Tutup

Pada tahun kedua SMA, hidup saya mengalami perubahan besar yang tak pernah saya duga sebelumnya. Suatu sore, bapak memanggil saya dengan nada serius namun penuh kasih sayang. "Le, bapak kepingin nukokno sepeda motor. Kira-kira tumbas sepeda motor merk Honda Priama opo Vespa?"

Mendengar itu, hati saya berdebar senang. Sepeda motor? Rasanya seperti mendapat tiket menuju kebebasan! Tidak hanya untuk bepergian lebih jauh, tapi juga untuk merasakan kebanggaan memiliki kendaraan sendiri. Saya langsung berdiskusi dengan kakak. Kami mempertimbangkan berbagai aspek, dari kenyamanan berkendara hingga daya tahan kendaraan. Akhirnya, pilihan jatuh pada Vespa P-150-S keluaran tahun 1986 dengan warna biru metalik yang menawan.

Proses pembeliannya pun menjadi pengalaman berkesan. Bapak mengajak saya ke UD. Candra, sebuah show room, toko besar di Jalan Kayutangan, Malang, yang terkenal sebagai pusat keramaian dan belanja. Jalan ini dipenuhi toko-toko bersejarah yang menambah suasana khas kota Malang. Ketika Vespa biru itu terlihat terpajang di etalase, saya langsung jatuh cinta. Warnanya biru tua yang elegan, dengan desain klasik yang memancarkan kesan gagah sekaligus berkelas.

Hari pertama menaiki Vespa itu menjadi momen yang sulit dilupakan. Ada rasa bangga yang meluap-luap, seolah-olah Vespa itu bukan sekadar kendaraan, melainkan simbol kebebasan dan kedewasaan saya. Vespa biru tersebut kemudian menjadi teman setia dalam berbagai perjalanan hidup.

Mulai dari rutinitas sehari-hari seperti berangkat ke sekolah hingga petualangan ke salah satu kenangan yang tak terlupakan adalah saat Vespa itu digunakan untuk perjalanan bersama teman-teman ke Pantai Ngliyep. Berboncengan tiga, mereka melaju perlahan, tertawa terbahak-bahak saat Vespa kehilangan tenaga di tanjakan curam. “Dorong, dorong!” teriak salah satu temannya sambil bercanda. Namun, setelah melewati perjuangan itu, mereka akhirnya tiba di pantai, menikmati keindahan alam yang seolah menjadi hadiah cukup menyenangkan.

Vespa juga menjadi saksi momen-momen romantis Agung. Suatu kali, ia mengantarkan seorang teman perempuan yang diam-diam ia sukai pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan, hujan turun tiba-tiba, membuat mereka basah kuyup. Alih-alih kesal, mereka malah tertawa sepanjang jalan. Vespa itu, tetap tangguh melewati genangan air, membawa mereka pulang dengan selamat.

Kini, setiap kali melihat Vespa lawas melintasi jalan, hati saya selalu tersentuh. vespa biru metalik itu bukan hanya sebuah kendaraan, tetapi juga simbol dari masa muda yang sederhana namun penuh warna. Setiap perjalanan yang saya lakukan bersamanya, sekecil apa pun, menjadi bagian dari cerita hidup yang tidak akan pernah pudar.

Cerita di Pasar Senggol dengan Gaya sok Aktor Rokok

Sebelum tahun 1990-an, pada masa SMA adalah masa di mana ada pengaruh "bergaya sok modern" dan ingin mulai meresapi kehidupan remaja. Modernitas saat itu bukan hanya soal penampilan atau teknologi, tetapi juga cara bersosialisasi dan gaya hidup. Salah satu tren yang sulit dihindari adalah kebiasaan merokok, sesuatu yang dianggap keren dan simbol "gaul" di kalangan anak muda.

Sebagai remaja yang ingin diterima di lingkungan pergaulan, saya dan beberapa teman mencoba-coba merokok. Awalnya sekadar ikut-ikutan, mencari pengakuan agar tidak dianggap "kuno." Merk-merk rokok seperti Bentol Biru, Filtra, Gudang Garam Surya, Djarum Super, hingga Marllboro menjadi pilihan populer. Bagi saya, Bentol Biru, Djarum Super dan Gudang Garam Surya adalah favorit Agung karena harganya terjangkau dan rasa yang "pas."

Namun, merokok tidak hanya menjadi simbol gaya, tetapi juga alat sosial yang efektif. Sebatang rokok yang dibagi bersama sering menjadi awal dari obrolan seru, tawa, dan candaan. Meski sekarang saya sadar itu kebiasaan yang kurang baik, di masa itu, rokok adalah "jembatan" menuju persahabatan baru.

Salah satu lingkaran pergaulan baru saya adalah anak-anak yang sering nongkrong di kawasan Pasar Besar, Malang. Malam hari di sana penuh dengan hiruk-pikuk, terutama di "Pasar Senggol" area di sekitar pasar yang dipadati pedagang kaki lima. Lapak-lapak kecil menjual berbagai macam barang, dari makanan hingga pernak-pernik, diterangi lampu-lampu kios yang redup namun hangat. 

oh.. ya istilah pasar senggol merujuk pada pasar malam atau area pasar tradisional yang sangat padat. Disebut "senggol" karena suasananya yang begitu ramai, membuat orang-orang tak bisa menghindari saling bersentuhan atau "senggol-senggolan" saat berjalan di luar pasar tersebut. Biasanya, pasar senggol muncul sebagai pasar temporer, aktif hanya pada malam hari.

Di pasar senggol, barang dagangan yang ditawarkan sangat beragam, mencerminkan kehidupan masyarakat yang dinamis. Anda dapat menemukan aneka makanan khas yang menggugah selera, seperti soto Madura yang berkuah gurih, sate gule yang aromanya menggoda, tahu campur dengan rasa daging kekel, nasi goreng khas pedagang kaki lima, nasi empok yang mengenyangkan, bakso, pangsit, hingga bakmie. Bagi pecinta camilan, ada gorengan hangat yang selalu laris, atau Anda bisa sekadar menikmati secangkir kopi di warung-warung kecil yang tersebar di sepanjang pasar.

Selain makanan, pasar senggol juga menjadi tempat favorit untuk berbelanja kebutuhan lainnya. Ada pedagang yang menjual pakaian, mainan anak, aksesori, hingga peralatan rumah tangga. Bahkan, toko-toko tepi jalan di sekitar pasar sering kali ikut buka, menawarkan kebutuhan sehari-hari dengan suasana yang tak kalah ramai.

Ada pusat kegiatan malam di kawasan adalah bioskop Pendowo, di sebelah utara pasar dan bioskop Teater letaknya tepat di depan pasar senggol. Dua tempat ini menjadi titik kumpul favorit kami. Biasanya, kami duduk-duduk di trotoar, bercanda, atau sekadar mengamati pengunjung pasar senggol yang datang dan pergi. Jika sedang ada uang lebih, kami menyelinap masuk untuk menonton film yang sedang tayang.

Pasar Senggol dan bioskop-bioskop di sekitarnya menyimpan sejuta cerita kenakalan dan keseruan masa remaja. Dari nongkrong di warung langganan kopi lek Kanapi karena menyediakan "cete kopi" yang di oleskan gi rokok, jajanan tahu petis dan gorengan sambil bertukar cerita tentang film aksi yang baru kami tonton atau gurauan. Sesekali, ada teman yang iseng menggoda pedagang, menambah riuh suasana malam kami.

Di malam-malam tertentu, kami menyusuri gang-gang kecil di belakang pasar, menemukan tempat makan baru, atau sekadar berjalan tanpa tujuan. Di tempat itu, saya merasa bebas, bebas dari aturan sekolah, bebas dari nasihat rumah, meski hanya untuk sementara. Rasanya seperti memiliki dunia sendiri di tengah keramaian kota.

Kini, bioskop-bioskop tua itu sudah berganti wajah, biskop Pendowo jadi toko besar menjual alat-alat rumah tangga dengan nama toko Pendowo, sedangkan bioskop Teater kini berubah menjadi kantor pusat BPR Kerta Arta Mandiri. Sedangkan pasar senggol tak ada lagi.  Namun, kenangan tentang malam-malam yang sederhana di sana tetap hidup dalam ingatan Agung.

Masa SMA tidak luput dari peristiwa yang mendebarkan. 

Hari-hari sekolah di masa SMA selalu dimulai dengan perjalanan melewati jalan Pahlawan dengan berjalan atau mengendarai Vespa biru metalik kalau tidak dipakai kuliah kakak laki-laki saya dan perjalanan santai menuju sekolah. Setelah tiba di sekolah, teman-teman seingat saya selau berkumpul di halaman, atau teras kelas terlihat sedang berbicara hal-hal ringan atau soal pelajaran atau PR, kadang terlihat berteriak lalu tertawa. 

Di kelas, suasana belajar pun sangat kekeluargaan antara murid dan guru-guru kami sangat piawai, terutama dalam mata pelajaran seperti Matematika dan Fisika. Saya masih ingat bagaimana salah satu guru favorit saya selalu menyisipkan cerita-cerita lucu saat menjelaskan konsep yang sulit. Metode ini membuat pelajaran terasa lebih ringan dan mudah dipahami. Nilai ujian saya cukup memuaskan, dan itu membuat saya semakin percaya untuk melanjutkan kuliah.

Suatu malam Minggu, Agung menerima undangan ulang tahun dari Syamsul Arif, teman yang tinggal di Dusun Ketawang, Ngadilangkung, Kepanjen. Untuk menghadiri acara tersebut, Purwanto, teman sekolahnya, datang menjemput dengan Honda Super-Cup. kami berangkat bersama Heru, seorang adik kelas yang mengendarai Vespa Spartan,

Pesta ulang tahun berlangsung meriah hingga tengah malam. Setelahnya, saking antusiasnya, kami bertiga memutuskan untuk pergi ke Malang, menjemput Yoyon teman lama dari SD dan SMP di Janti. Dalam perjalanan, kami melintasi jalan Malang-Kepanjen yang saat itu sedang dalam perbaikan dan penuh material hotmix.

Kejadian nahas itu terjadi begitu cepat. Ketika motor kami melaju kencang, Purwanto yang membonceng saya mencoba menghindari tumpukan material di jalan. Namun, gerakan tiba-tiba itu membuat motor kami bersenggolan dengan Vespa Heru. Kecelakaan pun tak terhindarkan. Saya terjatuh, dan tangan kiri saya menjadi tumpuan tubuh. Tulangnya retak, dan beberapa bagian tubuh mengalami lecet-lecet. Sementara itu, Purwanto dan Heru hanya mengalami luka ringan.

Masa pemulihan setelah kecelakaan itu menjadi momen refleksi pengalaman hidup yang baik. Selama beberapa minggu saya harus beristirahat dan absen dari sekolah, tetapi perhatian teman-teman membuat semuanya terasa lebih ringan. Mereka teman cewek datang membantu mencatatkan pelajaran, mengirimkan tugas, dan kadang-kadang menemani Agung di rumah. Kebaikan mereka sangat berarti, mengajarkan saya tentang arti persahabatan sejati.

Setelah sembuh, saya kembali ke sekolah dengan semangat yang jauh lebih besar. Saya sadar bahwa masa sekolah kelas 3 diakhir sekolah harus lulus, dan setiap momennya harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk belajar agar lulus Ujian EBTANAS yaitu Evaluasi Belajar Tahan Akhir Nasional. Kecelakaan itu juga mengajarkan saya untuk lebih berhati-hati, baik di jalan raya maupun dalam mengendarai kendaraan sepeda, motor dan mobil dan selaliu patuh Lalu-lintas.

Hari Kelulusan, Saat Amplop Menentukan Nasib

Kelulusan adalah puncak dari perjalanan panjang di masa SMA di Kepanjen. Saat itu, EBTANAS adalah penentu segalanya, dan gengsi sebagai siswa pandai dipertaruhkan. Hari pengumuman kelulusan menjadi momen yang mendebarkan. Perut mual, telapak tangan dingin, dan doa-doa terus terpanjat di hati. Amplop putih berkop nama sekolah di tangan menjadi penentu nasib. Tak seperti kakak kelas kami yang hasil kelulusannya diumumkan di papan pengumuman, kali ini sekolah memberikan amplop secara personal, menambah misteri dan ketegangan.

Alhamdulillah, berita baik datang...... semua siswa di sekolah kami lulus, kecuali dua teman kami yang memiliki jalan hidup berbeda satu telah menikah, dan satu lagi berpulang karena kecelakaan. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Kami semua saling berpelukan, beberapa teman menangis, tak percaya perjalanan masa SMA ini akhirnya selesai.

Setelah berita kelulusan diterima, kami menuju tempat tongkrongan favorit, Kantor Pos Kepanjen. Di sana, tempat yang biasa digunakan sebagai halte angkutan umum, suasana menjadi meriah. Anak-anak dari berbagai sekolah mulai berdatanga, yakni dari SMA Negeri, SMA PGRI, SMA Katolik, SMA Islam, hingga STM Muhammadiyah. Kami semua berbagi kebahagiaan, tidak ada sekat atau persaingan.

Konvoi menjadi agenda wajib......! 

Sepeda motor seadanya, bahkan beberapa teman bonceng bertiga, melanggar aturan guru dan polisi yang telah mengingatkan berulang kali. 

Tapi siapa peduli....?  

Ini hari kami, hari penuh kebebasan dan kegembiraan...!

Sebelum konvoi dimulai, tradisi coret-coret baju jadi puncak acara. Baju putih seragam sekolah berubah warna dengan tanda tangan teman-teman. Spidol warna-warni tak pernah absen. Ada juga yang sekadar menuliskan pesan singkat atau nama panggilan. Ketika baju selesai dihias, kami langsung meluncur keliling Kepanjen.

Konvoi dimulai dari Kantor pos, kemudian menuju Karangkates. Sepanjang jalan, tawa, sorakan, dan klakson motor bersahutan. Meski dilarang guru, euforia ini tak terbendung. Setibanya di Karangkates, kami berkumpul di tepi bendungan, menikmati pemandangan sore sambil bercanda.

Hari itu sangat berkesan mendalam di hati tentang kelulusan, tetapi tentang merayakan masa muda, kebersamaan, kenakalan, trek-trekan merupakan kenangan yang akan terus dikenang seumur hidup.

Ikuti cerita petualang agung selanjutnya

di "Belajar Mandiri di kota Malang" tentunya lebih menarik 

lagi ceritanya <klik di sini>