-4-
Masa Awal Kuliah
Masa Belajar Hidup Mandiri
Di Elang Biru adalah Awal Perjalanan Baru
Kelulusan SMA membawa angin segar sekaligus tantangan baru. Nilai EBTANAS-ku cukup memuaskan, memberikan harapan besar untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Bersama beberapa teman SMA, aku mengikuti Tes UMPTN di Universitas Brawijaya. Suasana kampus yang megah, dihiasi deretan pepohonan rindang, terasa begitu mengesankan. Ribuan calon mahasiswa melangkah di trotoar, menikmati semilir angin pagi. Di tengah suasana itu, aku tetap optimis, membayangkan diri menjadi bagian dari kehidupan kampus impian.
Namun, kenyataan tidak selalu sesuai harapan. Hasil tes diumumkan, dan nama Agung tidak ada di daftar kelulusan. Rasanya seperti dipukul telak. Kecewa..? Tentu saja, tapi aku tahu ini bukan akhir dari segalanya. Dalam kekecewaan setelah hasil UMPTN, Agung mulai mencari alternatif.
Di tengah pencarian itu, kakak laki-lakinya mendengar kabar tentang sebuah perguruan tinggi swasta yang baru saja berdiri mencetak ahli komputer di Jalan Tidar, Malang. Informasinya, kampus baru ini menawarkan biaya yang masih terjangkau sesuai dengan kondisi keuangan keluarga kami. Maklum, dua kakak kandung Agung juga sedang menempuh kuliah di perguruan tinggi keguruan, sehingga pengelolaan keuangannya menjadi hal yang sangat dipertimbangkan.
Setelah berdiskusi dengan keluarga, Agung memutuskan untuk mendaftar di jurusan Manajemen Informatika di sebuah perguruan tinggi di Jalan Tidar Permai, Kota Malang. Pilihan ini terasa unik sekaligus menantang, karena dunia informatika saat itu masih sangat baru di Indonesia. Komputer masih menjadi barang mewah, dan hanya segelintir orang yang benar-benar memahami atau menggunakannya secara luas.
Oh ya, kampus ini memiliki julukan "Elang Biru," sebuah nama yang penuh makna. Julukan itu seakan menyiratkan harapan besar, mengajak para mahasiswa untuk terbang tinggi meraih mimpi, meski memulai perjalanan dari langkah yang sederhana.
Orentasi Kampus (Opspek).
Memulai perjalanan baru sebagai mahasiswa di Kota Malang, Agung dihadapkan pada tantangan pertama, mencari tempat tinggal. Rumahnya di Kepanjen terlalu jauh untuk pulang-pergi setiap hari, terutama dengan jadwal Opspek yang padat. Beruntung, Agung memiliki saudara yang tinggal di Jalan Aris Munandar, Malang. Dengan senang hati, mereka menawarkan tempat tinggal sementara.
Setelah menetap di rumah saudara, Agung segera dihadapkan pada tugas awal sebagai mahasiswa baru, mempersiapkan kebutuhan untuk ospek. Beruntung, adik keponakannya bernama David, dengan penuh semangat membantu mencarikan berbagai kebutuhan. Mulai dari atribut unik ospek hingga alat-alat yang sedikit "ajaib" seperti pisang gandeng 3 yang asli buah, semua dicarikan bersama-sama, sering kali sambil tertawa karena sulit permintaan panitia opspek.
Hari-hari itu menjadi awal yang penuh warna bagi Agung. Meski sempat merasa canggung tinggal di rumah saudara, bantuan mereka membuatnya cepat merasa diterima. Perlahan, ia mulai menyesuaikan diri dengan jalanan Kota Malang yang ramai dan lebih kompleks dibandingkan Kepanjen. Dengan sepeda sebagai alat transportasi, ia belajar mengenal jalur-jalur baru menuju kampus, sesuai aturan ospek yang melarang mahasiswa baru menggunakan kendaraan bermotor atau diantar mobil.
Sambil mengayuh sepeda, Agung menikmati pengalaman baru ini, meski menantang, sebagai bagian dari perjalanan barunya sebagai mahasiswa. Hari pertama Opspek, kami datang dengan seragam putih hitam sederhana, lengkap dengan atribut-atribut buatan tangan yang konyol tapi penuh usaha. Nama-nama aneh yang sengaja diberikan senior terpampang di dada, membuat kami tertawa kecil tapi juga sedikit malu. Opspek ini dijadwalkan berlangsung enam hari penuh. Sungguh, aku tak pernah menyangka orientasi kampus akan seberat ini.
Pada hari pertama sampai selesai bisa saya rasakan ternyata digunakan membangun mental, fisik, Kreatifitas dalam membagi tugas senior dan bisa bekerja dengan team.
Begini cerita seingat saya, Pagi-pagi sekali, kami sudah berkumpul di lapangan kampus. Senior berdiri tegap, wajah mereka serius, seperti komandan perang. Suara lantang mereka memerintahkan kami untuk berbaris rapi, memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri, dan mengikuti serangkaian kegiatan fisik.
"Push-up atau squat jump 20 kali kalau salah, ulangi dari awal!" teriak seorang senior.
Kami yang sudah kelelahan hanya bisa menuruti. Kadang ada teman yang salah mengerjakan tugas individu atau team dan itu berarti hukuman untuk semua. Rasanya frustrasi, tapi aku mulai melihat sisi lain dari hukuman ini, kami mulai saling mendukung, saling menyemangati dan membentuk sikap kerja Teamwork dan Kreatifitas.
Memasuki hari kelima, tekanan fisik sedikit berkurang, tapi tantangan baru muncul. Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mengikuti berbagai perintah senior mengenalkan kampus dan ceramah Pancasila saat siang dia aula sampai isoma jam 1 siang. Ada lomba joget, membuat yel-yel kreatif, hingga drama singkat yang harus dipentaskan tanpa persiapan panjang.
Aku ingat, kelompokku harus membuat miniatur taman aada bangunan. Waktu yang diberikan hanya dua jam. Kami saling berbagi tugas: ada yang menggambar, ada yang memotong, dan ada yang merangkai. Awalnya kami saling berbantahan karena ide-ide yang berbeda, tapi akhirnya kami sadar bahwa keberhasilan hanya bisa dicapai dengan kerja sama.
Hari terakhir ospek menjadi momen yang tak terlupakan bagi Agung dan teman-teman barunya. Kegiatan dimulai dengan gotong-royong membersihkan kampus, menciptakan suasana kebersamaan yang hangat. Namun, suasana berubah drastis ketika para senior tiba-tiba memanas. Mereka mendadak marah besar, menuduh ada barang yang dicuri dan meminta pelakunya segera mengaku.
Ketegangan meningkat ketika seorang peserta dituduh, diseret ke sebuah ruangan, dan terdengar suara bentakan keras bercampur bunyi benda yang dipukul, “Brak... brak... brak!” Para peserta hanya bisa tunduk diam, sementara senior meluapkan amarah dengan memukul dan melempar benda-benda, membuat suasana semakin mencekam. Hati mereka ciut, ketakutan menyelimuti. Tetapi, tak satu pun yang mengaku.
Akhirnya, seluruh peserta dikumpulkan di lapangan. Mereka diminta berbaring terlentang dengan mata terpejam. Dalam suasana tegang itu, senior memberikan pilihan akhir: membela teman yang mencuri atau tetap mendukung senior. Tanpa ragu, 100% peserta memilih membela senior, sebuah keputusan yang ternyata menjadi kunci keberhasilan.
Pada akhirnya, semua ini hanyalah skenario untuk menguji kekompakan dan loyalitas peserta ospek. Ketika rahasia ini terungkap, suasana berubah menjadi penuh kelegaan dan kebanggaan. Dengan sorak-sorai, senior mengumumkan bahwa angkatan baru resmi menjadi bagian dari "Elang Biru," menandai kesuksesan pembinaan mahasiswa baru dalam membangun semangat tim yang solid.
Setelah ospek resmi ditutup, suasana yang sebelumnya tegang berubah menjadi hangat. Para senior mendekati kami satu per satu, bersalaman sambil tersenyum ramah, berputar mengelilingi lapangan. Obrolan santai mulai tercipta, bahkan mereka dengan sukarela membantu kami menyelesaikan tugas-tugas persiapan untuk acara selanjutnya: Api Unggun, yang dijadwalkan berlangsung pada pukul delapan malam.
Semua kelelahan seakan sirna saat kami duduk melingkar di sekitar api unggun. Suasana penuh keakraban, diiringi tawa saat kami saling berbagi cerita lucu selama ospek. Senior yang sebelumnya terlihat galak ternyata memiliki sisi humoris dan ramah. Mereka menyampaikan wejangan penuh makna tentang pentingnya solidaritas, kerja keras, dan cinta terhadap almamater.
Acara malam itu semakin meriah dengan penampilan spontan dari peserta dan senior, mulai dari nyanyian, tarian, hingga lawakan yang mengundang gelak tawa. Api unggun yang menyala terang menjadi saksi kebersamaan kami malam itu. Semua keseruan dan kenangan ini terasa seperti penutup yang sempurna untuk hari-hari ospek yang penuh tantangan sekaligus kebahagiaan. Wow, benar-benar pengalaman yang tak terlupakan!
Tinggal Pertama di Kota Pelajar, Sebagai Anak Kos.
Setelah ospek selesai, kehidupan baru Agung di Malang benar-benar dimulai. Ia tak lagi tinggal di rumah om, seperti yang disarankan oleh bapak, dan memutuskan untuk mencari kos. Kebetulan, Agung bertemu dengan Sugeng, teman satu kelas saat SMA di Kepanjen, yang juga sedang mencari tempat tinggal di Malang. Sugeng, yang berasal dari Desa Panggungrejo, kuliah di sebuah universitas yang dimiliki oleh yayasan Tentara, dan letaknya tak jauh dari kampus Agung. Karena memiliki nasib yang sama, kami memutuskan untuk mencari kos bersama.

Hari-hari awal tinggal di sana diisi dengan adaptasi, baik dengan lingkungan baru maupun rutinitas kampus. Aku mulai memahami ritme kehidupan sebagai anak kos yang harus belajar mengatur waktu, mengelola keuangan, dan selalu berbagi cerita dengan Sugeng tentang suka-duka dunia perkuliahan. Lokasi kos kami yang strategis juga memudahkan kami untuk saling mendukung, terutama saat ada tugas-tugas mendadak atau kegiatan kampus yang menyita waktu.
Dengan latar belakang persahabatan kami yang sudah terjalin sejak SMA, hidup bersama di kos di Jalan Galunggung menjadi pengalaman yang seru dan penuh warna. Selain tinggal bersama Sugeng, aku juga berkenalan dengan teman-teman baru di kos: Koko dan Slamet dari Jember, Andre dan Indra dari Jakarta,
Hari-hari kami diisi dengan obrolan hingga larut malam, berbagi cerita, dan bercanda di teras kos yang selalu ramai dengan tawa. Tak jarang, teman-teman kos mengajakku keluar menikmati suasana Kota Malang yang dinamis. Dengan naik motor, naik bemo atau naik mikrolet, kami sering nongkrong di tempat hits seperti Malang Plasa, Gajah Mada Plasa, dan Malang Plasa. Tak ketinggalan, agenda wajib kami adalah menonton film di bioskop legendaris seperti 21, Bioskop Kelud, Bioskop merdeka, atau Ria. Tak lupa selesai nonton jalan-jalan di Alun-alun Bunder Kabupaten Malang.
Momen-momen itu terasa sangat seru, terutama karena banyak dari kami memiliki hobi serupa, seperti hobi bersepedah motorbersama teman-teman saat masih SMA. Obrolan tentang rencana pendakian atau cerita pengalaman petualangan "cinta monyet masih ABG" menjadi topik favorit yang selalu menyatukan kami. Di tengah kesibukan perkuliahan, aktivitas sederhana ini menjadi cara kami menikmati masa muda, menciptakan kenangan yang akan selalu kami ingat.
Bahasa khas Arek Malang.
Di kos-kosan Jalan Galunggung, pertemanan kami semakin seru dengan kehadiran teman-teman baru dari berbagai daerah dan pulau. Ada Dabrin dan Wahyu dari Sumatra, Barnabas dan Toto Noya dari Irian Jaya, serta Suwarsono dari Ambon, Naning dari Jakarta, Hadi dan Wawan dari Solo. Mereka membawa warna baru dalam kehidupan kami, termasuk ketika mencoba memahami tren bahasa Walikan, bahasa khas Malangan yang sudah akrab bagiku sejak SMP di era 80-an.
Bahasa Walikan ini memang unik—kata-kata diucapkan secara terbalik, seperti "Malang" menjadi "Ngalam" atau "kawan" menjadi "nawak", "lanang" jadi Nganal", "Wedok" dadi Kodew", "bapak" jadi "ebes" dan lain-lain (baca Artikel basa malangang) Buatku, ini sudah jadi kebiasaan sehari-hari. Namun, bagi teman-teman baru yang belum terbiasa, mencoba Walikan adalah tantangan tersendiri, apalagi dengan logat khas mereka masing-masing.
Saat mereka mencoba berbicara Walikan, suasananya selalu penuh tawa. Logat Sumatra yang tegas, aksen Irian Jaya yang khas, hingga nada bicara Ambon yang melodius membuat setiap kata Walikan terdengar lucu dan kadang malah meleset. Misalnya, ketika Barnabas mencoba mengatakan "Ngalam," yang keluar justru terdengar seperti "Ngolam." Atau ketika Suwarsono berusaha bilang "Ebes Nganale kera endi", tapi nadanya terdengar seperti ia menyanyikan sebuah lagu ...!
oh ya ada sedikit cerita .... teman-teman yang dari luar daerah ternyata punya alasan menarik kenapa mereka ingin cepat bisa berbahasa Malangan, terutama bahasa Walikan. Selain ingin lebih cepat akrab dengan kami, mereka berharap bisa lebih mudah berbaur dengan warga lokal, entah saat belanja di warung, naik angkot, atau membeli kebutuhan di toko kecil. Ada candaan bahwa ini juga upaya supaya mereka nggak "kena harga turis" alias biar harganya nggak dimahalkan. Hehehe...
Barnabas dan Harun karet, misalnya, sempat bercerita bahwa saat pertama kali belanja di warung dekat kos, ia merasa penjualnya memandanginya seperti pelanggan asing. "Kayaknya aku langsung kelihatan nggak ngerti harga," katanya sambil tertawa. Karena itu, ia berusaha keras mengingat kata-kata Walikan sederhana seperti "Orip ojire bes" untuk "birapa harganya bapak" atau "ijol ojir" untuk "tukar uang" Wawan Ambon juga punya cerita seru saat naik angkot. Ketika ia mencoba menyebut tujuan dengan Walikan "mudun, bioskop Kelud onok jalan Kawi", sopir angkot malah tertawa sambil menebak-nebak maksudnya, tapi akhirnya ia justru dapat pengalaman berharga dan justru diberi harga sama dengan anak sekolah, lebih murah dari harga umum!
Suwarsono dan Toto Noya bahkan sering berlatih di kos sebelum berinteraksi dengan warga sekitar. Mereka akan bertanya kepada kami, "Kalau mau bilang beli tempe, pakai bahasa Walikan gimana?" lalu mencoba mengucapkannya dengan nada yang terdengar aneh tapi menggemaskan. Kami sering kali membantu mereka membenarkan pengucapan atau memberi tips supaya terdengar lebih alami.
Meski sering terdengar kagok, teman-teman kos tetap antusias belajar dan mencoba menggunakan bahasa Walikan Ngalam-an. Mereka mulai berusaha mempraktikkannya dalam obrolan sehari-hari, meski kadang salah ucap atau terdengar lucu. Kami pun dengan senang hati membantu mengajari mereka.
Bahasa Walikan bukan sekadar tren, tetapi juga menjadi jembatan untuk mendekatkan diri dengan warga lokal. Meski begitu, Bahasa Indonesia tetap menjadi pilihan kami untuk pembicaraan yang lebih serius, terutama saat membahas materi kuliah atau hal penting lainnya. Keberagaman budaya di kampus dan di kos-kosan menjadi pengingat berharga bahwa meskipun kami berasal dari latar belakang yang berbeda, selalu ada cara untuk saling memahami dan menyatukan diri dalam kebersamaan.
Ikuti cerita petualang agung selanjutnya
di "Masa Kuliah" tentunya lebih menarik
lagi ceritanya <klik di sini>
0 komentar anda:
Posting Komentar