1. Swasti : S. makmur; bahagia.
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019.
2. Saka (sOkO) : [a K. N. = sakakayu]: tiyang, saka; [b N. saking K.]: dhiwik; [saka ing]:
sakari, sakèng, sangkya, sangguta, yadin, minăngka; [pinăngka]: mika.
Kamus : Bausastra: Jarwa Kawi, Padmasusastra, 1903, #11.
3. Warsa tita = Tahun wis kepungkur
warsa (warsO) : (S) kw. 1 taun; 2 udan.
Kamus Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.
tita (titO) : 1 kw. kaliwat, wis kêpungkur; 2 kn. (wis [x]) wis katog (luwih saka cukup) ênggone nyrantêkake.
Kamus : Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.
4. Masa (mOsO) : măngsa nênêm, masa utawi măngsa = wêktu, peranganing wêktu,
(Skr. maasa = wulan, saprakalih wêlasipun sataun). Panêdhanipun kewan galak utawi danawa
(Skr. maangpa = daging). Têmbung pamaibên. Cêkapan, (?Skr. masa = ukuran).
Kamus : Căndrasangkala, Bratakesawa, 1928, #610.
5. Srawana (srOwOnO) : (S) kw. mangsa kasa (kang kapisan).
Kamus Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.
6. tithi : S. hari bulan.
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019.
7. Aṣṭamī : S. hari ke-8 dari setengah bulan (yang pertama atau yang terakhir).
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019.
8. Krêsnapaksa (kr|snOpaksO) : tanggal kaping pitulas.
Kamus : Têmbung Kawi Mawi Têgêsipun, Wintêr, 1928, #1506.
9. Wara (wOrO) : wadon, linuwih. wara sêmbadra, wara srikandhi. wara hastra:
gêgaman linuwih, panah. wara duita: putri linuwih, widadari. wara wadu: putri linuwih,
widadari. dwijawara: guru linuwih, pandhita gêdhe.
Kamus : Kawi - Jarwa, Dirjasupraba, 1931, #1263.
10. Mawulu = ringkêl (riGk|l) : ... warukung = ringkêl sato, kewan-kewan lagi padha apês; paningron = ringkêl mina, iwak loh lagi apês; uwas = ringkêl pêksi, manuk-manuk padha apês; mawulu = ringkêl wiji, yèn nyêbar wiji ora thukul); pa-[x]-an: dina ing pawukon (tungle, aryang, warukung, paningron, uwas, mawulu). II ng-[x] yen nyebar wiji ora thukul
Kamus : Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.
12. umanis : I. manis; ramah; menawan hati; II. manis nama hari pertama dari pekan.
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019.
13. aditya (adityO) : Kw. dezon [= srêngenge, Skr. âditya].
Kamus : Javaansch-Nederduitsch Woordenboek, Gericke en Roorda, 1847, #16.
14. āgneya : S. tenggara.
Kamus : Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019.
Artinya
Sesuai Kamus Jawa
bahagia Sakèng taun kepungkur 8.. peranganing wêktu mangsa kasa hari bulan hari ke-8 dari ½ bulan tanggal kaping pitulas putri yen nyebar wiji ora thukul menawan hati srêngenge tenggara.
Tafsir Indonesia
Kebahagiaan dari tahun yang lewat 8 merupakan waktu musim bulan ke-8 dari pertengahan bulan, pada tanggal ke-17. Seorang perempuan yang menyebarkan biji yang tidak tumbuh, disebabkan terik matahari di tempat TENGGARA.
Alih Aksara
taniɧ sakri da malaɧ, akalihan
wacid lawan mucu pasabhanira deh limpã, 20 makaharan i.
Tafsir arti Kamus
diperang-perang
pêpunthukan (dietung-etung gumuk), main cinta, sumèlèh sumlandhang (alangan), akalihan
pitutur kosok baline nyikut, papan kang dianggo
sêsaba, risak, tebih dalam papan kang dianggo sêsaba, risak, tebih dalam. 20
dados dapat dianggap sebagai, i
Ubah dari arti K kamu ke Bahasa Indonesia
Banyak gundukan tanah (gunung) yang saling berdekatan, telah menghalangi (melintang), agar tempat yang sering dikunjungi tidak mengalami kerusakan, maka perlu “menyatukan 20 tempat dianggap menjadi 1 tempat”.
Sumber kamus
taning (tanIG) : di-[x]-[x], di-[x]-i kn. diperang-perang pêpunthukan (dietung-etung gumuk) tmr. sêga, kêmbang lsp; [x]-an. pêpunthukan sapantha-panth
Sumber: Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.
Akalihan wacid artinya : akalihan pitutur
kalih : dua; berdua; akalihan berdua; kakalih dua.
Sumber: Kawi - Indonesia, Wojowasito, 1977, #1019
Dalam konteks geografis dan sejarah, pada salah satu teks prasasti Ukir Negara, dijelaskan bahwa terdapat banyak gundukan tanah atau gunung yang berdekatan di sekitar lereng Gunung Kawi. Area ini dianggap sebagai penghalang dan untuk melindung kerusakan lingkungan hutan dan sumber air karena tempat-tempat yang sering dikunjungi. Oleh karena itu, diperlukan penyatuan desa di pedalaman dengan cara 20 desa menjadi satu kesatuan.
Proses ini merupakan dampak pada masa kerajaan akhir Kanjuruhan saat di bawah kekuasaan Raja Empu Sendok, seorang raja Brahmana dari Kerajaan Medang. Salah satu desa tersebut berlokasi di pertemuan sungai Brantas, Metro, dan Lest yang diduga berna desa Tugaran.
Penyatuan wilayah ini berdampak pada pertumbuhan desa-desa kecil yang muncul di dalam hutan, Sebagai respons terhadap perubahan tersebut, maka pada masa pemerintahan akhir Kerajaan Panjalu tahun 1198 masehi dilakukan upaya pengaturan dan pembentukan desa-desa baru dengan mendirikan petugas kerajaan di wilayah Gunung Kawi.
3.3.4. Temuan "Watu Lumpang
Di wilayah Tegaron dan desa-desa ditepi sungai Metro, penulis akan memperjelas fungsi watu lumpang dan arah menghadap berdasarkan kejadian-kejadian yang dapat diidentifikasi.
Dengan adanya kegiatan-kegiatan yang menandai tata urutan dalam pelaksanaan upacara masa Hindu-Budha, dan masa Jawa Timur dengan periode lebih lama yaitu 557 tahun (mulai dari 929-1486 masehi). Ada kemungkinan bahwa sebagian alat-alat itu dipergunakan untuk keperluan pertanian, tetapi sulit untuk membedakannya karena beberapa barang tanah liat, khususnya jenis wadah, serupa ditemukan juga di dalam situs bangunan keagamaan. Alat rumah tangga juga dibuat dari batu, misalnya pipisan dan anak pipisannya. Terdapat umpak atau penyangga tiang juga terbuat dari batu. Ditemukan juga jenis batu lain yang berkaitan dengan bagian dari bangunan candi berupa ukiran candi.
Secara umum, produksi ekonomi masyarakat pedalaman diperoleh dari enam jenis aktivitas, yakni pertanian, perkebunan, pemanfaatan hutan, peternakan, perburuan hewan, dan kerajinan. Namun, sumber-sumber prasasti dan data arkeologi memberikan sedikit sekali keterangan mengenai bagaimana aktivitas-aktivitas produksi mereka dilakukan. Pengetahuan mengenai hal ini umumnya diperoleh atas dasar penafsiran dari barang-barang produksi yang disebut dalam prasasti dan relief pada candi.
Termasuk dalam kategori ini adalah bahan makanan dari tumbuhan (nabati) dan bahan makanan dari hewan (hewani). Sumber-sumber tertulis Jawa Kuno (prasasti, kakawin) dan data arkeologi (relief pada candi) memberikan keterangan adanya bahan-bahan makanan yang termasuk kategori pertama, yakni beras, umbi-umbian (ubi, talas), cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah (jahe, jamuju, sirih, kapulaga), buah-buahan (durian, rambutan, manggis, jeruk, kecapi, sukun, langsat, jamblang, salak, nangka, jambu bol, wuni, mangga, dan pisang), dan jenis palem (kelapa) (Jones 1984:52 list 9; Nastiti 1994-1995:92-94).
Sesuai dengan keterangan literasi tersebut, bahwa dengan adanya bahan pangan nabati dan banyaknya batu lumpang andesit yang ditemukan, maka dapat diperoleh tingkat kepastian yang tinggi terhadap posisi (keletakan) ketiga tokoh Hujung, Kanjuron, dan khususnya Tugaran yang rinciannya terdapat dalam bab sumber data
3.3.5. Temuan Umpak Bangunan Pendopo
Pertama, di lokasi Desa Turus, penulis telah menemukan bukti adanya umpak yang diduga merupakan bangunan pendopo dengan ukuran sedang. Keberadaannya sekarang berada di makam umum Desa Turus-Sumberpucung. Penemuan benda berupa umpak dengan 2 ukuran besar dan kecil ditemukan tidak jauh dari dusun Tegaron, yang masih berada dalam satu area di hamparan sawah dan tepi hutan Jati.
Kedua, di lokasi Desa Jenggolo, penulis telah menemukan bukti adanya umpak batu, yang totalnya berjumlah 7 buah (rincian keterangan di bab II) yang diduga merupakan bangunan pendopo agung dengan ukuran besar. Keberadaannya sekarang berada di sebelah timur Sungai Metro.
Dengan mengacu pada data tersebut diatas penulis mencoba mengacu pada isi 👉 prasati Ukirnegara tentang pengaturan konfigurasi desa-desa kuna atau posisi masing-masing desa pada letak peta geografis merupakan satu kesatuan watak. Dari prasasti diketahui bahwa kumpulan beberapa desa kuna di waktu lampau bisa mencapai 20 desa atau dikuasai oleh petugas yang menguasai satuan wilayah administrati.
Beberapa sumber prasasti yang memuat masalah transaksi tanah (pembelian-utang-piutang, gadai) yang relatif luas, biasanya melibatkan orang-orang yang menggunakan sebutan dang, (m)pu atau mpungku, rakryan, samget, dan mapañji (cf. Boechari 1975; Nastiti 1985).Pemilikan luas tanah dapat dijadikan petunjuk mengenai status seseorang.
Dari penemuan di atas, yaitu bukti adanya umpak batu dan bangunan pendopo yang diduga berasal dari era tertentu, memang menarik perhatian dan perlu diteliti secara mendalam. mungkin juga bahwa perbedaan pemilikan tanah berkaitan dengan kedudukan sosial mereka bisa dilihat dari ukuran dan tafsiran bangunan pendoponya. Pendopo tersebut mengindikasikan bahwa mereka bukan golongan masyarakat kebanyakan, yang biasanya (cf. de Casparis 1985; Jones 1984:91-92).
Meskipun penemuan tersebut memberikan petunjuk yang cukup jelas tentang adanya bangunan pada masa lalu, namun masih banyak informasi yang perlu diungkap seperti usia pasti bangunan, fungsi dan tujuan bangunan tersebut, serta hubungannya dengan budaya dan sejarah masa lalu. Oleh karena itu, penelitian yang lebih intensif dan komprehensif perlu dilakukan untuk memastikan era dan karakteristik bangunan tersebut agar dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang sejarah masa lalu dan budaya yang berkembang pada masa itu.
Di wilayah Tegaron dan desa-desa ditepi sungai Metro, penulis akan memperjelas fungsi watu lumpang dan arah menghadap berdasarkan kejadian-kejadian yang dapat diidentifikasi.
Dengan adanya kegiatan-kegiatan yang menandai tata urutan dalam pelaksanaan upacara masa Hindu-Budha, dan masa Jawa Timur dengan periode lebih lama yaitu 557 tahun (mulai dari 929-1486 masehi). Ada kemungkinan bahwa sebagian alat-alat itu dipergunakan untuk keperluan pertanian, tetapi sulit untuk membedakannya karena beberapa barang tanah liat, khususnya jenis wadah, serupa ditemukan juga di dalam situs bangunan keagamaan. Alat rumah tangga juga dibuat dari batu, misalnya pipisan dan anak pipisannya. Terdapat umpak atau penyangga tiang juga terbuat dari batu. Ditemukan juga jenis batu lain yang berkaitan dengan bagian dari bangunan candi berupa ukiran candi.
Secara umum, produksi ekonomi masyarakat pedalaman diperoleh dari enam jenis aktivitas, yakni pertanian, perkebunan, pemanfaatan hutan, peternakan, perburuan hewan, dan kerajinan. Namun, sumber-sumber prasasti dan data arkeologi memberikan sedikit sekali keterangan mengenai bagaimana aktivitas-aktivitas produksi mereka dilakukan. Pengetahuan mengenai hal ini umumnya diperoleh atas dasar penafsiran dari barang-barang produksi yang disebut dalam prasasti dan relief pada candi.
Termasuk dalam kategori ini adalah bahan makanan dari tumbuhan (nabati) dan bahan makanan dari hewan (hewani). Sumber-sumber tertulis Jawa Kuno (prasasti, kakawin) dan data arkeologi (relief pada candi) memberikan keterangan adanya bahan-bahan makanan yang termasuk kategori pertama, yakni beras, umbi-umbian (ubi, talas), cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah (jahe, jamuju, sirih, kapulaga), buah-buahan (durian, rambutan, manggis, jeruk, kecapi, sukun, langsat, jamblang, salak, nangka, jambu bol, wuni, mangga, dan pisang), dan jenis palem (kelapa) (Jones 1984:52 list 9; Nastiti 1994-1995:92-94).
Sesuai dengan keterangan literasi tersebut, bahwa dengan adanya bahan pangan nabati dan banyaknya batu lumpang andesit yang ditemukan, maka dapat diperoleh tingkat kepastian yang tinggi terhadap posisi (keletakan) ketiga tokoh Hujung, Kanjuron, dan khususnya Tugaran yang rinciannya terdapat dalam bab sumber data
3.3.5. Temuan Umpak Bangunan Pendopo
Pertama, di lokasi Desa Turus, penulis telah menemukan bukti adanya umpak yang diduga merupakan bangunan pendopo dengan ukuran sedang. Keberadaannya sekarang berada di makam umum Desa Turus-Sumberpucung. Penemuan benda berupa umpak dengan 2 ukuran besar dan kecil ditemukan tidak jauh dari dusun Tegaron, yang masih berada dalam satu area di hamparan sawah dan tepi hutan Jati.
Kedua, di lokasi Desa Jenggolo, penulis telah menemukan bukti adanya umpak batu, yang totalnya berjumlah 7 buah (rincian keterangan di bab II) yang diduga merupakan bangunan pendopo agung dengan ukuran besar. Keberadaannya sekarang berada di sebelah timur Sungai Metro.
Dengan mengacu pada data tersebut diatas penulis mencoba mengacu pada isi 👉 prasati Ukirnegara tentang pengaturan konfigurasi desa-desa kuna atau posisi masing-masing desa pada letak peta geografis merupakan satu kesatuan watak. Dari prasasti diketahui bahwa kumpulan beberapa desa kuna di waktu lampau bisa mencapai 20 desa atau dikuasai oleh petugas yang menguasai satuan wilayah administrati.
Beberapa sumber prasasti yang memuat masalah transaksi tanah (pembelian-utang-piutang, gadai) yang relatif luas, biasanya melibatkan orang-orang yang menggunakan sebutan dang, (m)pu atau mpungku, rakryan, samget, dan mapañji (cf. Boechari 1975; Nastiti 1985).Pemilikan luas tanah dapat dijadikan petunjuk mengenai status seseorang.
Dari penemuan di atas, yaitu bukti adanya umpak batu dan bangunan pendopo yang diduga berasal dari era tertentu, memang menarik perhatian dan perlu diteliti secara mendalam. mungkin juga bahwa perbedaan pemilikan tanah berkaitan dengan kedudukan sosial mereka bisa dilihat dari ukuran dan tafsiran bangunan pendoponya. Pendopo tersebut mengindikasikan bahwa mereka bukan golongan masyarakat kebanyakan, yang biasanya (cf. de Casparis 1985; Jones 1984:91-92).
Meskipun penemuan tersebut memberikan petunjuk yang cukup jelas tentang adanya bangunan pada masa lalu, namun masih banyak informasi yang perlu diungkap seperti usia pasti bangunan, fungsi dan tujuan bangunan tersebut, serta hubungannya dengan budaya dan sejarah masa lalu. Oleh karena itu, penelitian yang lebih intensif dan komprehensif perlu dilakukan untuk memastikan era dan karakteristik bangunan tersebut agar dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang sejarah masa lalu dan budaya yang berkembang pada masa itu.
PILIHAN DAFTAR ISI | |
0 komentar anda:
Posting Komentar