Analisa Geografis, Arti Tugaran (3)





   gambar 3.1. Lertak Dusun Tegaron

Hal ini penulis mencoba Memaknai nama-nama sungai sehingga dapat memberikan pemahaman tambahan tentang wilayah Tegaron dan karakteristiknya. Meskipun tidak ada informasi spesifik tentang makna nama-nama sungai tersebut, beberapa nama sungai sering kali memiliki asal-usul dan makna tertentu. Namun, perlu dicatat bahwa penamaan sungai juga dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, sejarah, atau geografi lokal.

Berikut adalah beberapa contoh umum dalam memaknai nama-nama sungai di Indonesia:

a) Sungai Metro, memiliki arti yaitu "tirta agung/suci/panguripan",
    Berasal dari kata : Amerta atau Maha+teru
     - Maha (mOhO) : luwih agung, maha tirta: banyu agung,
       Kamus Kawi - Jarwa, Dirjasupraba, 1931, #1263.
     - Truh (trUh) : kw. grimis; kc. têruh: Tumeduh 
       kamus : Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, #75.
     - Mrêta (mr|tO) : toya, bêning, jampi, anggêsangi, anuntên,.
      kamusTêmbung Kawi Mawi Têgêsipun, Wintêr, 1928, #1506.


Pada zaman dahulu, di sekitar lereng Gunung Kawi di Malang, terdapat sebuah sungai yang sangat berarti bagi masyarakat desa saat itu. Meskipun pada era Medang belum ada catatan resmi mengenai nama sungai tersebut, namun prasasti Ukir Negara memberikan petunjuk penting tentang cara menjaga sumber air di daerah tersebut agar air sungai tidak sampai mengering dan bisa dilewati perahu, diibaratkan perahu tersebut berjalan berjajar seperti semut [5].

Sungai-sungai tersebut, yang kemudian dikenal sebagai sungai Brantas dan sungai Metro, memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah masyarakat setempat. Cerita dari kisah Kerajaan Kanjuruhan, Jenggolo-Kediri, Tumapel, dan Sengguruh telah mengisahkan betapa sungai-sungai ini menjadi sumber kehidupan yang penting dan tak ternilai.

Prasasti Ukir Negara memberikan panduan penting mengenai merawat dan menjaga sumber air di sekitar lereng Gunung Kawi. Pada masa itu, masyarakat memahami bahwa sumber air yang jernih dan mengalir dengan baik memiliki nilai yang tak ternilai, terutama bagi lahan pertanian dan kelancaran arus sungai. Mereka menyadari bahwa tanpa pasokan air yang cukup, pertanian akan terancam, dan kehidupan mereka tidak akan berjalan dengan lancar. Cerita yang terdapat dalam pararaton juga mengisahkan tentang desa Tugaran, yang merupakan lahan pertanian yang subur dan bergantung pada sumber air yang terjaga dengan baik.

Berdasarkan Kisah tentang sungai-sungai ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, terutama dalam hal merawat dan melindungi sumber air dan berdasarkan fungsi dari sungai pada era Medang diceritakan sebagai pembatas wilayah Panjalu dan Jenggolo,


PENJELASAN
Jika dilihat secara hierarkis, empat pasar desa-anak dalam siklus pasar pañcawāra mungkin dapat dipandang sebagai pusat-pusat pengumpulan barang pada tingkat pertama. Sedangkan pasar desa-induk yang ada di tengah berfungsi sebagai pusat pengumpulan barang pada tataran yang lebih tinggi. Di tempat ini, barang-barang akan ditemukan dalam jumlah dan variasi yang lebih besar daripada barang-barang yang diperjual-belikan di keempat pasar desa-anak yang mengelilinginya. Hal ini dapat terjadi karena pasar ini berfungsi sebagai pusat pengumpulan barang-barang yang dihasilkan oleh keempat desa anak yang mengelilinginya. Itulah mengapa sumber prasasti dan data etnografi menegaskan bahwa transaksi jual beli paling ramai terjadi pada hari Kaliwuan. Karena alasan tersebut, didukung oleh sumber prasasti dan data etnografi, transaksi jual beli paling ramai terjadi pada hari Kaliwuan. 

Dalam sistem perekonomian kerajaan, masih ada kemungkinan adanya pasar yang lebih besar yang menjadi pusat pertukaran utama. Lokasi pasar jenis ini mungkin terdapat di pelabuhan-pelabuhan Pantai Utara di Jawa, tetapi juga dapat ditemukan di daerah-daerah yang lebih ke arah hulu, seperti di pelabuhan-pelabuhan sungai. Sumber-sumber prasasti memberikan indikasi adanya pelabuhan-pelabuhan baik di daerah pedalaman maupun di daerah pantai.


Jika berdasarkan data keterangan tentang pembagian bengkok ke tiga kecamatan tersebut, dan penulis mencoba menganalisis bahwa dusun Tegaron merupakan wilayah yang lebih luas pada era kerajaan dibanding dengan luas dusun Tegaron sekarang, maka dapat diasumsikan bahwa wilayah dusun Tegaron mengalami perubahan dan penyusutan luas dari era kerajaan hingga saat ini.

Perubahan ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk, perubahan administrasi wilayah, atau perubahan penggunaan lahan. Hal ini cukup umum terjadi dalam perkembangan geografis suatu wilayah dari masa ke masa.

3.2.  ANALISA ARTI, NAMA WATAK TUGARAN  

Menurut legenda Gunung Kawi Malang, Mpu Sendok, seorang Maha Resi, dikatakan mendirikan "keraton spiritual" di puncak Gunung Kawi yang terletak jauh dari kemewahan. Legenda ini menyiratkan bahwa Mpu Sendok memilih tempat yang lebih terpencil dan terpencil di puncak Gunung Kawi untuk mendirikan keratonnya.

Dalam konteks legenda, "keraton spiritual" mengacu pada tempat suci atau tempat bersemayamnya kekuatan spiritual. Pemilihan lokasi yang terletak di puncak Gunung Kawi yang jauh dari kemewahan mungkin mencerminkan upaya Mpu Sendok untuk menciptakan lingkungan yang tenang, terpisah dari dunia duniawi, dan lebih dekat dengan alam serta spiritualitas.

Namun, penting untuk diingat bahwa legenda-legenda sering kali mencampuradukkan elemen sejarah dan mitos. Oleh karena itu, interpretasi legenda ini harus dipahami sebagai cerita yang memiliki nilai-nilai simbolis dan spiritual, tanpa penekanan pada fakta sejarah yang jelas. [6]

Berdasarkan informasi sejarah wilayah, ditemukan sumber tertulis berupa prasasti Balingawan tahun 813 Saka/891 M yang mencatat keberadaan Watak Tugaran. Prasasti ini menyebutkan tentang seorang pejabat tinggi bernama Mpu Huntu yang merupakan penguasa ke-Rakai-an. Dalam kurun waktu sekitar 131 tahun, terjadi dua peristiwa penting di wilayah tersebut, yaitu lahirnya ke-Rakai-an Kanuruhan di wilayah yang relatif sama dan perubahan mendasar dalam Kerajaan Kanjuruhan.

Masa pemerintahan Kerajaan Ke-Rakai-an di wilayah Kanjuruhan dimulai ketika sebuah kerajaan besar mengubah sistem pemerintahannya setelah kedatangan Empu Sendok. Raja Kanjuruhan bersedia membagi wilayahnya menjadi bawahan dari raja baru, Mpu Sendok, yang juga menjadi pemimpin agama. Keberadaan toleransi agama ini menjadikan catatan sejarah yang tidak menyebutkan adanya kudeta atau perang. Pada saat itu, Mataram Hindu masih menerapkan perekonomian agraris di daerah pedalaman. Kembali ke penjelasan prasasti di atas, wilayah pemerintahan Kanjuruhan kemudian dibagi menjadi tiga : [7] 

1. Watak Kanuruhan
Dalam beberapa prasasti dari periode tersebut, Rakai Kanuruhan memiliki wewenang yang sangat tinggi, termasuk dalam memberikan anugerah sima, yang biasanya merupakan tugas raja. Meskipun belum diketahui dengan pasti siapa yang memiliki kewenangan tertinggi dalam mengurus perbendaharaan negara yang berasal dari rakyat, gelar jabatan tersebut disebutkan dalam prasasti-prasasti dari Jawa Timur.

Selain Rakai Kanuruhan, terdapat juga individu-individu dalam birokrasi pemerintahan yang kedudukannya belum diketahui secara pasti. Namun, jumlah mereka cukup banyak dan tampaknya merupakan pegawai rendahan. Kelompok ini dikenal dengan istilah mangilāla drawya haji dalam sumber-sumber prasasti. Secara harfiah, istilah ini berarti "mengambil milik raja," dan orang-orang yang termasuk dalam kategori ini umumnya dianggap sebagai petugas yang diberi wewenang untuk mengumpulkan pajak atas nama raja.

2. Watak Hujung
Rakai Hujung secara garis besar berada di sekitar wilayah kecamatan Singosari, Lawang, Jabung, paling selatan Polowijen, dan paling timur Blandit. Menurut penelitian de Casparis (1940), Rakai Hujung berkuasa pada masa pemerintahan Raja Sindok. Hal ini didukung oleh keberadaan prasasti Cunggrang yang ditemukan di desa Suci, kecamatan Gempol, kabupaten Pasuruan, yang berasal dari tahun 851 Saka/929 M.

Prasasti Cunggrang memberikan bukti tentang keberadaan Rakai Hujung dan pemerintahannya pada periode tersebut. Prasasti ini memberikan informasi mengenai peristiwa penting dan kegiatan administratif yang terjadi pada masa pemerintahan Rakai Hujung.

3. 👉 Watak Tugaran.
Wilayah Watak Tugaran memiliki banyak sungai yang melintas di sekitarnya, termasuk sungai Metro - Brantas - Lahor/Kalibiru, yang memberikan keunikan tersendiri pada daerah ini. Sungai Metro ini menjadi ciri khas dan mempengaruhi perkembangan desa-desa di sekitarnya. Beberapa desa kuno yang terletak di sepanjang sungai Metro, seperti Peniwen, Wagir, Dawuhan, Tegaron, Pagak, Lahor, dan Turen, masih dikenal hingga saat ini.

Nama-nama desa tersebut tercatat dalam prasasti dan menunjukkan adanya hubungan dan keterhubungan antara desa-desa tersebut. Secara geografis, desa-desa ini berdekatan dan membentuk sebuah jalur yang mengikuti aliran sungai Metro. Hal ini menunjukkan adanya interaksi dan pertukaran antara desa-desa tersebut, serta mungkin adanya jalur perdagangan atau jalur komunikasi yang menghubungkan mereka.


Namun, perlu dicatat bahwa penelitian sejarah terus berkembang, dan pemahaman kita tentang periode ini dapat mengalami perubahan seiring dengan ditemukannya sumber-sumber baru dan interpretasi yang lebih baru. 

BERDASARKAN DATA prasasti penulis mencoba menganalisis dan menduga bwedasarkan etimologis dan memperhatikan konteks sejarah, budaya, serta kajian linguistik dan arkeologi yang lebih mendalam memang dapat membantu dalam memahami kaitan antara nama Tegaron dengan budaya dan sejarah di wilayah Watak Tugaran. Dalam melakukan analisis etimologis, dapat dicari kemungkinan arti dan asal usul kata "Tegaron" dalam bahasa Jawa atau bahasa daerah setempat yang terkait dengan wilayah tersebut. Dalam konteks sejarah, dapat dikaji catatan-catatan atau sumber-sumber lain yang berkaitan dengan perkembangan wilayah Watak Tugaran dan adanya referensi atau penjelasan terkait dengan nama Tegaron. Selain itu, kajian linguistik dan arkeologi dapat memberikan pemahaman tentang pola nama-nama tempat atau wilayah dalam konteks sejarah setempat.

Kata dasar Tugaran, Menurut kamus “Bausastra Jawa”, Poerwadarminta, terbitan tahun 1939, halaman 75 sebagai berikut kata Tugar yang dibaca tugar merupakan kata benda yang berarti benda sejenis. linggis (jawa: gêjig) yang dipakai untuk mengerjakan pekarangan (jawa: patêgalan)       atau
  • persamaan dari katanya Tugar adalah Nugar merupakan kata kerja, yang berarti membersihkan rumput/gulma  (jawa: ndhangir), atau menanam padi di sawah  (jawa: nandur pari ing pagagan)      atau
  • Kata dasar Tang-Garan dan Te-Garon merupakan suatu benda yang cara kerjanya didorong dan mempunyai gigi-gigi seperti garpu (jawa: garu) atau suatu alat yang cara menggunakannya dengan pengungkit suatu pegangan yang terbuat dari kayu. (jawa: jungkatan) 


Awalnya, terdapat kata "Tanggaran" yang kemudian mengalami perubahan menjadi "Tugaran" karena pengaruh bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata "Tanggaran" memiliki arti yang mirip dengan "Tugaran" dalam bahasa Indonesia, yaitu sebuah kata benda yang berarti benda sejenis, linggis (jawa: gêjig), yang digunakan untuk mengerjakan pekarangan.
Selanjutnya, kata "Tugaran" mengalami perubahan ejaan menjadi "Tegaron" karena pengaruh dialek atau aksen tertentu. "Tegaron" memiliki cara kerja yang didorong dan memiliki gigi-gigi seperti garpu (jawa: garu) atau alat dengan pegangan yang terbuat dari kayu untuk mengolah lahan tanah perkebunan atau persawahan.




Uraian di atas menunjukkan adanya variasi jenis produksi kerajinan yang utamanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa, baik untuk keperluan rumah tangga maupun alat-alat kerja pertanian. Peralatan-peralatan seperti itu kemungkinan besar dibuat oleh para pengrajin yang juga tinggal di pedesaan. Selain itu, juga ada produksi berbagai kerajinan yang terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan atau bahkan untuk kepentingan khusus, seperti senjata untuk pertahanan dan perang.


Berdasarkan Analisa arti kata dan kebenaran nama Watak Tugaran, terdapat beberapa elemen yang perlu dianalisis terkait dengan penyebutan Tugaran dalam konteks Dusun Tegaron, desa Panggungrejo, Kepanjen Malang.

Penyebutan Tugaran dalam prasasti dan Pararaton sebagai sebuah alat garu menunjukkan arti Tugaran sebagai tempat lahan pertanian yang penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pertanian dalam wilayah tersebut, di mana Tugaran digunakan sebagai alat yang spesifik untuk mengolah tanah pertanian.

Peran Tugaran dalam prasasti Dinoyo 2 menunjukkan bahwa Tugaran sebagai salah satu  watak yang berada diujubg selatan sungai Metro. Watak ini diberikan sebagai wilayah bawahan dari Watak Kanuruhan dan memiliki peran penting dalam konteks penetapan tanah prertanian sebagai lumbung makanan kerajaan Kanuruhan (dibawah Medang Kamulyan)Dugaan lokasi geografis Tugaran berada di sepanjang beberapa sungai di sekitar Kecamatan Sumberpucung, Kecamatan Kepanjen, Kecamatan Ngajum, dan Kecamatan Wagir.

3.3. Analisa Temuan Artefak di sekitar area Tegaron. ......lanjut





ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo