BIOGRAFI
Mayor Hamid Rusdi
Hamid
Roesdi dikenang sebagai sosok pahlawan tiga masa, yaitu masa penjajahan
Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan yang sangat konsisten memperjuangkan hak-hak
rakyat.
Data Biografi
Nama : Hamid Rusdi
Tempat Lahir : Sumbermanjing Kulon, Pagak,
Kabupaten Malang
Tahun Lahir : 1911
Tahun Meninggal : 1949
Pangkat Terakhir : Mayor (AD)
Tempat Tinggal : jalan Semeru Malang.
Nama Istri : Siti Fatimah
Asal
Istri : Turen
Anak : -
Orang Tua
Nama Bapak :
H. Umar
Roesdi
Nama Ibu : Teguh ...
Riwayat Pekerjaan :
1.
Aktif
di Kepanduan dan tergabung di 'Pandu Ansor'
2.
Guru
agama, sekaligus staf Partai NU.
3.
Sopir
Penjara Lowokwaru di Malang .
4.
Tentara
PETA (Pembela Tanah Air) tahun 1943, masa Jepang
pangkat Sudanco
(Letnan I).
5.
Tentara
Nasional Indonesia (TNI), perwira Staf Divisi VII Suropati
pangkat Mayor,
bertugas sebagai
Komandan Pertahanan Malang-Pandaan-Pasuruan
Riwayat Perjuangan
Hamid Rusdi
Pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang
memasuki kota Malang dan mulai memerintahkan membuat barisan Heiho, Seinedan,
Keibodan dan Djibakutai sekaligus melakukan tekanan fisik pada rakyat. Melihat
situasi itu, Hamid Roesdi keluar dari pekerjaannya dan mulai membela nasib
rakyat dengan menyusup ke PETA (Pembela Tanah Air) tahun 1943 yang dibentuk
atas usul Gatot Mangkupraja dan ditugaskan di Malang dengan pangkat Sudanco
(Letnan I).
Setelah Soekarno
membacakan Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia tidak serta merta terbebas begitu
saja. Pasukan Belanda kembali menyerang Indonesia dalam agresi militer. Hamid
Roesdi yang sudah bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (sekarang TNI) berada
di garda depan untuk memukul mundur tentara Belanda.
Selain berlatih
militer, ia juga sibuk mempersiapkan laskar rakyat untuk menentang Jepang
sendiri. Pada malam hari tanggak 3 September 1945 diumumkan daerah karesidenan
Surabaya masuk wilayah RI, Hamid Roesdi mulai melucuti tentara Jepang di
Malang. Pada tahun 1946 menjabat sebagai perwira Staf Divisi VII Suropati
dengan pangkat. Dianggap berhasil dalam menangani pelucutan senjata Jepang,
kemudian Beliau diangkat sebagai komandan Batalyon I Resimen Infanteri 38 Jawa
Barat dan menyelesaikan pertempuran disana dengan sukses. Sekembalinya dari
Jawa Barat dinaikkan pangkatnya dari Letnan Kolonel menjadi Komandan Pertahanan
daerah Karisidenan Malang.
Pada Clash I 1947 Hamid Roesdi dengan
gigih memimpin pasukan mempertahankan Kota Malang dari tentara Belanda. Sebelum
Belanda memasuki Pandaan, Hamid Roesdi berkeliling kota menaiki Jeep untuk
memerintahkan seluruh rakyat agar 'membumi hanguskan' bangunan Belanda. Ketika
Kota Malang tidak dapat dipertahankan lagi, beliau membuat pertahanan di
Bululawang dan menyusun strategi merebut Malang kembali.
Kisah miris yang dialami pahlawan kita
ini. Pada tahun 1948, Hamid yang berpangkat kolonel harus turun pangkat menjadi
mayor. Penurunan pangkat ini diterapkan pada seluruh tentara di Indonesia.
Tujuannya adalah untuk menghemat keuangan negara dengan menekan gaji tentara.
Penurunan pangkat dan gaji itu ternyata tidak membuat semangat Hamid turun. Ia
terus bekerja memberantas musuh. Bayangkan jika penurunan gaji itu diterapkan
pada kita. Mungkin kita semua bakal mogok kerja ya. Tapi Hamid dan pasukannya
berbeda dengan kita. Mereka menganggap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia
lebih penting daripada pangkat dan uang.
Bahkan bersamaan dengan keberhasilan
mengusir Belanda dari Indonesia, perjuangannya masih belum berhenti. Kala itu,
PKI sedang berusaha mengubah Indonesia menjadi negara komunis. Hamid kembali
mengambil komando dan memimpin pasukan untuk memberantas PKI di Malang Selatan.
Mayor Hamid Rusdi melakukan perjalanan
keliling untuk mengkonsolidasikan perjuangan dengan jalan mendatangi
sektor-sektor seperti di Malang Barat pimpinan Kapten Abdul Manan dan Malang
Selatan pimpinah Kapten Mochlas Rowie. Sebenanya, Mayor Hamid Rusdi pada saat
terbentuknya sektor-sektor tersebut mendapatkan tugas sebagai Komandan MG-I
(Markas GerilyaI) yang terdiri dari tujuh perwira dan enam orang pengawal,
berkedudukan di Nongkojajar. Namun, keadaan memaksa beliau untuk sementara
waktu tetap bertempat di Sumber Suko bersama wakilnya, Kapten Wachman. Bersama
Kompi Sabar Sutopo, beliau melakukan penyusupan ke daerah pendudukan ketika
Belanda menyerang dengan pesawat-pesawat tempurnya ke markas komando di Turen.
Dari desa Sumber Suko, Mayor Hamid Rusdi
kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Nongkojajar dan menyempatkan diri
untuk menuju dukuh Sekar Putih, Wonokoyo melalui desa Telogowaru, karena
istrinya tinggal di salah satu rumah pondokan di desa itu. Rencananya, setelah
bertemu istrinya, perjalanan akan be Beliau menjumpai istrinya sambil tetap
berjaga membawa senjata kesenangannya sebuah pistol Vickers isi 12 peluru.
Setelah pertemuan itu, sebelum pergi beliau berpesan agar istrinya segera meninggalkan
daerah tersebut. Sudah kebiasaan, saat pamit beliau tidak pernah memberi tahu
ke mana akan pergi. Lebih-lebih pada saat genting. Ini dimaksudkan agar
tempat-tempat persembunyiannya sukar dilacak oleh pihak Belanda.
Sehari sebelumnya Hamid Rusdi dan pasukannya
sudah berada di atas puncak Gunung Buring ketika pasukan Belanda menggencarkan
patroli di wilayah Tajinan. Sebenarnya, Komandan Sektor I Tajinan dan CODM
(Coordinator Operasi Daerah Militer) Serma Tjokro Hadi, juga Komandan Seksi II
dan III Kusno Hadiwinoto, sudah mengingatkan bahwa keadaan di bawah sangat
gawat, sebaiknya Hamid Rusdi menunda perjalanannya.
Hari itu, 7 Maret 1949, pasukan Belanda
dengan kekuatan lebih dari dua peleton berjalan kaki meringsek hendak melakukan
penyergapan. Penunjuk jalannya adalah mata-mata Belanda, oleh sebab itu tempat
kedudukan Mayor Hamid Rusdi dapat diendus. Menurut kabar, Belanda sudah
berangkat dari Tajinan sejak pukul 12 siang, mempergunakan pasukan KNIL.
Malam itu Mayor Hamid Rusdi berada di salah
satu rumah penduduk. Di situ ada Pak Moesmari pemilik rumah dan Yoenoes
menantunya, istri Moesmari Mbok Ngasirah, serta anaknya bernama Roekayah yang
sedang hamil. Ajudan Hamid Rusdi, Letnan Ismail Etfendi dan adiknya, Abdul
Razak yang mendampingi beliau masuk ke desa Wonokoyo, malam itu tidak ikut
menginap di rumah tersebut.
Tengah malam 8 Maret 1949 kondisi
perang sangat genting, Hamid dan empat kawannya gugur ditembak oleh
Belanda di pinggir sungai Wonokoyo, Kedungkandang, Malang.
sekitar pukul sebelas malam, pasukan Belanda
menyergap saat semua penghuni rumah sedang tidur. Pak Moesmari membukakan
pintu, tak berdaya di bawah todongan senjata, disusul pasukan yang lain dengan
segera menuju kamar Mayor Hamid Rusdi. Dengan tindakan yang serba cepat, ketiga
laki-laki dalam rumah tersebut diikat dan segera dibawa pergi. Kedua perempuan
dibiarkan tinggal, tak ada pembicaraan yang terdengar kemana mereka bertiga
akan dibawa pergi.
Keesokan harinya, Kopda Soekarman dan
sebagian Kompi Sabar Soetopo melaporkan kejadian ini kepada Kapten Wachman yang
kemudian memerintahkan untuk menyisir tempat kejadian. Tak lama setelah
menelusuri jalanan kampung hingga sampai di dekat sungai Kali Sari, mereka
mendapati jenazah Mayor Hamid Rusdi tergeletak di sekitar jembatan Sekar Putih
Wonokoyo, gugur dengan tubuh penuh luka ditembaki pasukan Belanda. Tak jauh,
ditemukan pula jenazah Letnan Ismail Effendi, Abdul Razak, Moesmari, dan
Yoenoes. Dini hari yang sama, pasukan Belanda juga menangkap kamituwo
Sumbersuko, tetapi jenazahnya tidak ditemukan.
Prajurit beserta masyarakat Wonokoyo merasa
sangat sedih ditinggalkan komandannya yang gagah berani dan berjiwa kesatria.
Telah gugur bunga bangsa yang tak pernah padam nyali dan semangatnya untuk
merebut kembali Kota Malang. Sejak saat itu, daerah basis gerilya dan pusat
Komando Batalyon I dipindahkan ke desa Madyopuro dan berkedudukan di Cemoro
Kandang dengan pasukan inti satu kompi di bawah pimpinan Kapten Djoeri. Setelah
pasukan Belanda meninggalkan Malang, 15 Mei 1950 jenazah Mayor Hamid Rusdi
dipindahkan ke Makam Pahlawan Suropati.
Untuk Mengenang Jasa Beliau
Dibangunlah Monumen
Atas gagasan dan
inisiatif pihak TNI KOBEM 083 BALADHIKA JAYA untuk mengenang jasa-jasa Mayor
Hamid Rusdi dalam mewujudkan Kemerdekaan Indonesia. Diresmikan pertama kali pada 10
November 1975 di persimpangan jalan antara Jl. Semeru dan Jl. Arjuna.
Namun kemudian dengan
seiring keberhasilan Kota Malang dalam meraih dan mempertahankan Piala Adipura
untuk yang kesekian kalinya, maka keberadaan monumen Hamid Rusdi digantikan oleh
Monumen Adipura Kencana. Kemudian Monumen Hamid Rusdi dipindahkan sementara ke Areal
Taman rekreasi Sena Putra Malang dan akhirnya sekarang Monumen Hamid Rusdi berada di
Simpang Balapan atau Ijen Boulevard.