M e n g u n g k a p
M a k a m M b a h R e s o
di Desa Jenggolo
oleh : Agung Cahyo Wibowo
oleh : Agung Cahyo Wibowo
Pendahuluan
Dengan adanya kebangkrutan dari VOC dengan cara
tiba-tiba telah mengalami devisit sebesar 74 juta Gulden, 2 tahun kemudian
menjadi 96 juta Gulden, akhirnya VOC
dibubarkan dengan tanggungan 134-219 juta gulde. Akhirnya hutang diambil alih
oleh pemerintah Belanda.
Bagaimana
mungkin semua kekayaan yang bersumber dari monopoli beragam komoditas bernilai
jutaan gulden itu lenyap begitu saja ?
Karena keserakahan,
salah urus dan korupsi menjadi salah satu penyebab bangkrutnya VOC. Anehnya,
menjelang bangkrutnya VOC ketika perusahaan dagang tersebut nyaris tak lagi
bisa membayar dividen tahunannya, pengiriman rempah-rempah bernilai mahal ke
Eropa masih mampu menunjukkan tingkat keuntungan rata-rata yang tinggi. Dari
sinilah muncul dugaan bahwa jutaan gulden harta kekayaan VOC telah digelapkan. Untuk mengembalikan tanggungan Keuangan VOC akhirnya pemerintah Belanda.
Bagi penguasa Jawa,
proses perfeodalan ini tidaklah berarti bahwa disini baru untuk pertama kali
timbul struktur feodal atau bahwa disini baru untuk pertama kali diadakan kerja
dan penyerahan wajib, karena kesemuanya itu adalah hal-hal yang sudah lama ada.
Disini
proses perfeodalan itu berarti, bahwa susunan masyarakat yang semula bermacam
ragam bergeser kearah struktur feodal yang amat tajam berat sebelah dan keadaan
ini adalah suatu kerugaian bagi masyarakat Nusantara.
Upaya pemerintah VOC/Belanda untuk menancapkan kekuasaannya dengan proses
peperangan dan politik adu domba (de vide is empera), antara lain
Perang Jawa yang pertama (tahun 1705)
Mataram
menyerahkan kepada VOC beberapa daerah di Periangan, Cirebon, dan Madura.
Setiap tahun Mataram berwajib menyerahkan beras dalam jumlah yang tertentu
kepada V.O.C.
Perang Jawa yang kedua (tahun 1747)
Mataram
menyerahkan pada Hindia, memperluas monopoli perdagangan lada dan kayu, maka
pada tahun 1743. Mataram mengadakan perjanjian dengan kompeni, kompeni
memperoleh hak untuk mengangkat pegawai pemerintah dan bupati. Disamping
itu Mataram menyerahkan pula daerah-daerah pantai yaitu Semarang, Jepara,
Rembang, Surabaya, dan Madura.
Perang Jawa yang ketiga (tahun 1755)
Mataram
menyerahkan seluruh kerajaan Mataram kepada kompeni. Dalam tahun ini kerajaan
Mataram dibagi menjadi dua daerah kerajaan, Surakarta dan Jogjakarta.
Perang Jawa yang keempat (tahun 1825)
Perang
Diponegoro, baca tentang “pelarian prajurit Mataram” ke Malang Selatan :
Perlu disukuri tentang Keraton Mataram yang telah banyak memiliki warisan
budaya baik , baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda
kuno dan bersejarah. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu
pula mitologi menyelubungi Keraton Mataram tentang kemampuan para Abdi Keraton dan Prajuritnya.
Cerita Mbah Reso di Desa
Jenggolo
Menurut Ahli Waris
Makam Mbah Reso terletak di desa Jenggolo, kecamatan Kepanjen, yang telah dianggap oleh masyarakat sekitar sebagai makam sesepuh desa atau makam orang yang “Buka Kerawang
Desa”, sampai saat ini makam tersebut telah dirawat dengan baik oleh ahli warisnya yang bernama bapak Riyanto.
Cerita yang telah beredar tentang mbah Rekso adalah seorang prajurit dari Mataram yang
telah ikut berperang melawan Kompeni bersama Pangeran Diponegoro, dengan ditangkapnya
Panglima Perang Mataram, maka pasukan Diponegoro banyak yang melarikan
diri ke daerah Sengguruh.
Karena Ilmu dan Kemampuannya yang dimiliki oleh dari mbah Reso maka oleh penduduk Sengguruh telah dijadikan seorang
tokoh desa. Menurut nara sumber beliau dianggap sebagai seorang Kyai. Pada jaman itu daerah Sengguruh merupakan
daerah pertanian sawah dan perkebunan kopi disepanjan sungai Brantas dan Metro.
Pada jaman itu banyak perampok yang merampas kekayaan warga Sengguruh dan Mbah Rekso ikut mengusirnya.
Karakter mbah Reso adalah orangnya sabar/tenang dan
berwibawah, kalau berbicara pelan dan tegas. Beliau juga berperan juga dalam mengajarkan agama Islam kepada kemasyarakat sekitar. Kalau mendengar cerita Raden Bagus (adik adipati Malang III) seriing datang ke rumah yang di Kalinyamat.
Untuk memperkuat cerita diatas maka Penulis diantar oleh mas Budhi datang menjumpai dari keturunan mbah Reso, guna menemui mas Edi Hariyono yang rumahnya jl Kalinyamat Jenggolo.
Ketika datang kami disambut dengan hangat penuh
persaudaraan, setelah kami dipersilahkan duduk maka kami menjelaskan maksud dan
tujuan menemui, mas Edi menjawab, “Kalau mas Agung ingin lebih jelas tanya saja
langsung ke Mak saya..., agar
keterangannya lebih jelas dan gamblang...”.
Mak Warni yang usianya sudah lebih dari 100 tahun,
Alhamdulilah masih tampak sehat....masih kuat berjalan dan ingatannya masih
baik. Mak Warni mempunyai anak 4, sudah
mempunyai cucu dan cicit, ia menerangkan
:
Bapak saya adalah bernama RESO yang berasal dari
Barat....Mataram
Mbah Reso telah meninggalkan Peti Kerajaan dan beberapa alat-alat perang.
Pada saat dia
mengadakan acara GONG-an pernah datang “Sinuwun” (raja) telah menjumpai Beliau, saat itu acara
Gong-an itu dirayakan selama 7 hari, tetapi saat hari ketujuh raja datang,
tetapi sambutan berupa makanan sudah habis, akhirnya disajikan seadanya,
sehingga Beliau Kewirangan (malu)”, begitu ceritanya.
Lanjut cerita Mak Warni, “karena Bapak saya, merasa
kewirangan maka benda berupa “Pitu Gong Emas” di pendem ndek Gundukan (terletak
dimakam Jenggolo)”. Setelah selesai
menanam pitu Gong lalu berpamitan, “Anak-anakku aku kate lunga menyang gunung
Semeru karo ibumu, jaran belang tak gawa ya... Bapak suwe ora bali mrene,
mengko lek bali entenono umbul-umbul Klaras aku kate mulih, ndik kono ona wong
jejer loro pilihen aku, aku ono sing sebelah tengen”.
Setelah cerita beberapa pengalaman akhirnya kami tanyakan tentang silsilah anak dari mbah Reso, beliau menerangkan, sambil mengingat-ingat, akhirnya tercatat sebagai berikut :
1.
Bulung Reso
Wijaya
2.
Kelip menikah
dengan putra Siam
3.
Lasipan
4.
Lasiyo
5.
Tomblok atau Nyai
Cakram
6.
Sarmi atau Mbah
Gudang
7.
Mak Warni (nara sumber)
8.
Yongmo
9.
Nyai Warti
10.
Nyai Rasdi
11.
Lasminah
12.
Kanapi / Pak Rawi
(anaknya sebagai nara sumber)
Menurut Mak Warni, bahwa putra pertama dari Bapak saya Reso
bernama Bulung Reso Wijoyo yang tinggal di Jalan Kalinyamat. Untuk rumah punden tersebut
sudah dijual oleh salah satu putranya, tetapi bekas rumah yang sudah
dibongkar oleh pembelinya masih tersisa benda berupa “Gebyokan Ukir berupa pintu dan skat rumah sampai
sekarang.
Sisa perabotan yang sampai sekarang tersisa berupa, kursi
kayu yang diperkirakan sebagai kursi raja, gentong beras (rusak), cowek (hilang)
dan kursi panjang dan sewek (terjual). Keadaan barang tersebut sudah tidak
terawat. Sedangkan Peti besar yang berisi perangkat kerajan dan beberapa
senjata berupa keris, tumbak, rompi ontokusumo masih terawat dengan baik.
Menurut saksi masih kerabat keluarga, yang bernama Siamin
putra dari bapak Rukimin dan Ibu Kasiatu menceritakan, “Sewaktu bapak masih hidup,
barang-barang yang ada di dalam Peti ukir berukuran Panjang 1,5 m dan tinggi 1
m didalamnya berisi :
1. Tiga kotak kecil
berukuran ± 20 cm x 30 cm, salah satunya berisi uang koin berwarna kuning
seperti emas bertuliskan huruf Jawa (sebesar kancing jas), dan saya melihat
sendiri bahkan sempat pegang.
2. Pakaian Kerajaan
: Topi raja, Cende, sandal slop, beberapa payung, udeng kain motif batik,
beberapa Sewek dan pakian keraton untuk pria dan wanita.
3. Perangkat Perang
: beberapa Keris, Tumbak, rompi onto kusumo
4. Batu Aji : Kol
buntet, merah delima
5. Besi Aji : Keris khusus untuk bertanisebagai mengusir
tikus, penyubur padi (sempat dicoba saksi)
6. Tempat cuci
keris.
Itu semua cerita bapak saya, dari keluarga besar yang
mampu cuma beliau, tetapi setelah meninggal sekarang diberikan kepada yang
berhak dan kuat”.
Saksi ini adalah keturunan dari :
Bapak Kanapi anak ke 12 (meninggal), ini mempunyai anak :
1.
Rawi mempunyai anak : Sukir, Tuminah, Bek Sari
2.
Supiyah
3.
Dikan
4.
Rukimin mempunyai anak : Bak’in, Bakri, Turid,
Muliarti
5.
Rukina
6.
Ruki
7.
Raji mempunyai anak : Sunari, Riyanto
Untuk silsilah,
penulis telah mendapatkan keterangan dari Mak Warni (satu-satunya anak
mbah Rekso yang masih Hidup) didampingi putranya Edi Hariono (umur 46 tahun)
untuk lebih lengkapnya silsilah keluarga mbah Reso, silakan tanya kekeluarga.....
Kami mencoba memberikan artikel tentang cerita Raden Mas Reso Diwiryo, yang bisa dipakai bahan pertimbangan (bisa salah juga bisa benar).
Sebagai Tumenggung, KRT Cokro Joyo berhak atas tanah bengkok (siti lenggah) di wilayah Tanggung seluas 350 hektar. Menurut peta bumi, Tanggung berada di sebelah timur Sungai Bogowonto dan saat ini masuk di wilayah Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo.
Kami mencoba memberikan artikel tentang cerita Raden Mas Reso Diwiryo, yang bisa dipakai bahan pertimbangan (bisa salah juga bisa benar).
Sebagai Tumenggung, KRT Cokro Joyo berhak atas tanah bengkok (siti lenggah) di wilayah Tanggung seluas 350 hektar. Menurut peta bumi, Tanggung berada di sebelah timur Sungai Bogowonto dan saat ini masuk di wilayah Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo.
Sikap pengabdian Cokro Joyo, dikisahkan sungguh luar biasa. Selama perang
Diponegoro, kiprahnya membela Pangeran Kusumoyudo sangat tak tertandingi. Konon
selama peperangan berlangsung, Pangeran Kusumoyudo tidak pernah turun berlaga
namun hanya berdiam diri di Tangsi Kedhung Kebo. Tapi Cokro Joyo tak pernah
mengungkit kasus itu sama sekali.
Suatu ketika seorang opsir Belanda menyindir peristiwa itu dan bertanya; "Mengapa
Pangeran Kusumoyudo tidak pernah mau turun berperang dan hanya bersenang-senang
di markas besar?" Dengan tegas Reso Diwiryo menjawab; "Selama masih
ada saya, Pangeran Kusumoyudo tak perlu turun tangan."
Loyalitas Cokro Joyo kepada junjungan maupun negara tempat dirinya dibesarkan
sungguh tak tertandingi. Kesetiaan kepada Pangeran Kusumoyudo tetap ditunjukkan
meskipun adalah sahabatnya sendiri. Baginya, Pangeran Kusumoyudo telah membantu
dalam mengentaskan diri dari ketidakpastian persoalan hidup yang pernah
melilitnya. klik....