Artikel Orang



Kisah 
Cokro Negoro
Lahir dengan nama 
Raden Mas Reso Diwiryo, 
pada Rebo Pahing, 17 Mei 1779.




Tempat kelahirannya Desa Bragolan, wilayah bagian (afdeling) Bagelen (sekarang masuk Kecamatan Purwodadi). Sebagai putera sulung dari Raden Bei Singawijaya (ayah) dan Raden Ayu Singawijaya (ibu), setelah remaja RM Reso Diwiryo mengabdi di Kepatihan, Keraton Surakarta. Tugasnya adalah mengawasi irigasi di daerah Ampel, Boyolali.

Kisah pengabdian Reso Diwiryo di Keraton Surakarta bermula karena ayahnya sempat tinggal di kota raja Surakarta sebagai seorang empu. Dikisahkan, ketika menginjak usia tua dan menderita lumpuh, RB Singawijaya mengundurkan diri dari abdi dalem Keraton Surakarta dengan jabatan terakhir Mantri Gladhag. Tonggak pengabdian di Kasunanan Surakarta selanjutnya diserahkan kepada putera sulungnya, yakni Reso Diwiryo.

Setelah menjadi tenaga magang, Reso Diwiryo berpeluang menjadi abdi dalem dengan pangkat Mantri Gladhag. Tugas Mantri Gladhag diceritakan menjadi pengawas narapidana yang akan menjalani sidang pengadilan. Diceritakan pula jika tugas Mantri Gladhag memimpin kantor yang mengurusi pajak keraton.

Sebagai Mantri Gladhag, kinerja RM Reso Diwiryo dinilai cukup berhasil sehingga diangkat sebagai Penewu Gladhag pada 1815. Kesuksesan ini dikisahkan karena ia berhasil melaksanakan tugas pemetaan ulang wilayah Keraton Surakarta yang diperintahkan oleh junjungannya, Sunan Paku Buwono VI.

Pemetaan ulang harus dilakukan karena pada tahun 1812 pemerintahan kolonial Belanda bertekuk lutut oleh pasukan Inggris pimpinan Gubernur Jenderal Raffles. Akibat status quo pemerintahan di Batavia (Jakarta), Keraton Surakarta yang dibantu laskar India (Sipahi) mencoba melawan bala tentara Inggris.

Perlawanan itu membuat Inggris berang dan segera mengambilalih wilayah afdeling yang dikuasai Kerajaan Surakarta. Situasi ini membuat para Pangeran dan pembesar Keraton yang mempunyai tanah bengkok (siti lenggah) di sekitar Kedu harus siap-siap memindahkan hak milik tanahnya ke wilayah bagian Bagelen (sebagai daerah yang masih menjadi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta).

Pekerjaan memetakan ulang wilayah Keraton Surakarta memang tidak mudah. Karena hasilnya terus mengecewakan, para pangeran dan pembesar kerajaan mendesak raja supaya memilih petugas pemetaan yang kompeten. Kemudian Paku Buwono VI menugaskan Reso Diwiryo yang melakukannya.

Karena kinerjanya luar biasa, pemetaan ulang tanah Keraton Surakarta berhasil diselesaikan dalam waktu cepat. Hasil itu membuat para pangeran dan pembesar Keraton merasa puas, karena dapat segera mengetahui batas wilayah hak atas siti lenggah mereka yang baru. Atas prestasi itu, Reso Diwiryo dinaikkan pangkatnya sebagai Penewu Gladhag dan diberi gelar Raden Ngabei Reso Diwiryo.

Prestasi itu membuat RNg Reso Diwiryo semakin populer di mata pangeran dan pembesar keraton. Popularitas ini semakin berlanjut ketika Paku Buwono VI memerintahkan untuk memindahkan binatang peliharaan kesayangannya, yakni seekor banteng ganas ke kandang yang baru. Lagi-lagi Reso Diwiryo berhasil menyelesaikannya dengan baik.

Pada tahun 1819, Paku Buwono VI memerintahkan Reso Diwiryo dan RNg Wongsocitro membasmi para perampok yang merajalela di wilayah Bagelen. Para pemimpin perampok yang sangat meresahkan rakyat sekitarnya itu berhasil ditangkap dan dilucuti sehingga wilayah Bagelen kembali aman. Kembali kinerja Reso Diwiryo semakin cemerlang dengan prestasi ini.

Pada tahun 1820, para Mantri Gladhag dan Penewu Gladhag mendapat perintah untuk membuat sumur di dalam keraton. Uniknya pengerjaan sumur ini diawasi langsung oleh Sunan Paku Buwono VI. Ada kisah yang cukup mencengangkan dalam pengerjaan sumur itu yang terjadi sewaktu istirahat makan siang. Saat itu seluruh abdi dalem sudah keluar sumur, dan tinggal Reso Diwiryo yang terakhir akan naik. Ketika akan mencapai bibir sumur, Sunan Paku Buwono mengulurkan tangan untuk menggapai tangan Reso Diwiryo dalam rangka menolongnya ke luar dari lubang sumur.

Namun tangan Reso Diwiryo salah tangkap. Yang dipegangnya justru gagang keris pusaka keraton yang terselip di pinggang Sunan Paku Buwono VI. Namun anehnya Sri Sunan justru sekaligus menyerahkan sarung kerisnya sambil berkata bahwa keris Kyai Basah itu memang sengaja akan diberikan.

Melihat peristiwa itu, seluruh abdi dalem pekerja penggali sumur menjadi terkesima. Mereka langsung menyadari bahwa Reso Diwiryo adalah abdi kinasih Sri Sunan karena loyalitas dan kepatuhannya kepada sang Raja. Peristiwa itu cepat menyebar ke seluruh isi istana. Para pangeran dan pembesar keraton lalu menyadari bahwa Reso Diwiryo telah mendapat anugerah dari Raja Surakarta.

Ketika mendengar peristiwa itu, Patih Danurejo memanggil Reso Diwiryo untuk menghadap. Di kepatihan, ia minta agar keris itu diperlihatkan. Patih Danurejo kemudian berujar bahwa keris itu hanya layak dimiliki oleh orang yang memiliki jabatan serendah-rendahnya bupati. Lagi pula keris pemberian Sri Sunan masih ber-kerangka emas campuran (mamas). Karena itu Patih Danurejo menyarankan agar keris itu ditukar dengan keris miliknya yang berkerangka emas murni. Ia pun langsung memperlihatkan keris yang dimaksud yang pada saat itu sedang digenggam istrinya.

Namun Reso Diwiryo menolak mentah-mentah tawaran itu. Ia berkilah bahwa keris itu adalah miliknya yang saat sedang menggali sumur dipegang oleh Sri Sunan. Ia meyakinkan bahwa keris yang diberikan Raja adalah keris seorang Penewu dan bukan keris Raja.

Patih Danurejo tentu saja kecewa dengan jawaban itu. Ia menganggap Reso Diwiryo sudah berbohong. Setelah peristiwa itu ia langsung menyimpulkan bahwa Reso Diwiryo adalah abdi dalem yang tidak setia sehingga tidak layak menjadi Penewu Gladhag. Ia pun menurunkan pangkat Reso Diwiryo menjadi Mantri Gladhag.

Konon, Reso Diwiryo menjadi sakit hati. Ia merasa terhina dan malu karena hanya dalam soal keris, pangkatnya harus diturunkan. Tapi sebagai abdi dalem setia ia tidak mau berontak meski harus hidup di lingkungan keraton dengan menanggung malu. Akhirnya ia memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya yang kemudian diserahkan kepada anak sulungnya, yakni Ngabei Cokrosoro.

Sebagai seorang Priayi (Jawa:kenthol) Bagelen, Reso Diwiryo merasa dirinya diperlakukan sewenang-wenang. Namun kesetiaan terhadap raja adalah segala-galanya. Ia yakin benar bahwa Kyai Basah sangat tak ternilai. Baginya keris itu tidak bisa diukur dengan uang atau emas murni dan bahkan harus dipertahankan dengan segenap jiwa dan raga.

Sejak saat itu, Reso Diwiryo mengunci diri dari kehidupan luar. Ia tidak sudi lagi berhubungan dengan pembesar maupun para priyayi keraton. Yang kerap menyambanginya adalah Pangeran Kusumoyudo, seorang sahabat sejatinya yang datang untuk bertukar pikiran. Pangeran Kusumoyudo selalu meyakinkan bahwa kebenaran suatu saat pasti datang meski membutuhkan perjuangan yang berat.

Reso Diwiryo kemudian menjalani laku tirakat (yakni syarat yang dilakukan dengan menahan hawa nafsu berupa berpuasa, berpantang dan sebagainya untuk mencapai suatu maksud tertentu). Selain ingin membersihkan rohani, ia berharap agar Tuhan YME dapat memberikan keadilan serta melapangkan pintu kebenaran.

Pada tahun pertama laku tirakat, ia hanya makan nasi putih (yakni tirakat putih). Pada tahun kedua ia hanya makan pisang emas setiap hari dan pada tahun ketiga hanya makan kunyit (kunir). Pada tahun keempat dilanjutkan hanya makan cabe (lombok) seunting sehari. Lalu pada tahun kelima, hidupnya sehari-hari hanya dipertahankan hanya dengan makan ketan.

Supaya tidak banyak tidur setiap malam, ia membuat batu bata (batu merah) di pekarangan rumah. Jika merasa lelah, ia memanjat atap rumah yang terbuat dari sirap (genteng kayu) dan berbaring di atasnya. Sebagai alas kepala, dibuatnya sepotong kayu yang dikerat cekung agar sesuai dengan kepalanya. Kayu cekung bantalan kepala ini masih dianggap sebagai kayu bertuah dan tersimpan di atas pusaranya di Bulus Hadi Purwo, Purworejo. Laku tirakat lima tahun ini oleh para sesepuh disebut tirakat puji dina dan bagi yang tidak mampu menjalaninya bisa menjadi gila.

Setelah merasa cukup bertirakat di kediamannya, Reso Diwiryo memutuskan untuk menemui sang bunda. Pada saat itu Nyai Singo Wijoyo telah kembali ke desa asalnya di Ngasinan (sekarang berada di wilayah Banyurip). Kembalinya sang bunda dari Barogolan (di Tanah Bagelen) ke Ngasinan karena ia ditinggal pergi suami tercintanya, yakni RB Singowijoyo menuju haribaan Sang Pencipta.

Setibanya di Ngasinan, Reso Diwiryo justru minta restu untuk melakukan laku tirakat ngluwat. Laku tirakat ini sangat berat karena dilakukan dengan cara menguburkan diri selama 40 hari di dalam tanah, dan hanya orang-orang tertentu yang mampu menjalaninya.

Mendengar tekad itu, Nyai Singo Wijoyo sempat melarang. Namun ia hanya mampu meneteskan air mata ketika mendengar tekad sang buah hatinya sudah sangat bulat. Sebagai bukti kasih ibu yang tak pernah padam, ia hanya bisa menunggu dan menjaga tempat penguburan diri sang putera sulung tercintanya dengan ditemani anak bungsunya, yakni RNg. Prawironegoro.

Dikisahkan, Reso Diwiryo mampu menyelesaikan tirakat ngluwat tersebut. Sewaktu baru digali dari liang tanah, tubuhnya sudah mirip kerangka. Bersama dengan RNg. Prawironegoro, sang ibunda tercinta merawat dengan penuh kasih tubuh sang putera sulungnya sehingga kembali sehat seperti sedia kala.

Pada saat yang bersamaan, sedang berlangsung pertempuran Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Perang Diponegoro disebut sebagai Perang Jawa terhebat dan terbesar yang meletus sepanjang 1825-1830. Kedahsyatan perang itu karena mendapat dukungan penuh dari kalangan pangeran dan sejumlah pembesar Keraton Yogyakarta.

Berkobarnya Perang Diponegoro dikisahkan karena dukungan banyak kalangan ternama. Kyai Maja (ulama besar Keraton Surakarta dari Tanah Bagelen) dan Sentot Prawirodirjo adalah tokoh kunci yang mendukung perang menjadi semakin akbar. Sentot Prawirodirjo, putra Adipati Madiun RNg. Prawiro Dirjo yang saat itu baru berusia 21 tahun, bahkan turut tewas karena diperdaya Belanda.

Pada 7 Januari 1828, laskar Diponegoro berhasil menghancurkan pos terdepan tentara Belanda di sebelah utara Brengkelan. Kehebatan taktik gerilya pasukannya benar-benar membuat Belanda kewalahan dan bahkan nyaris lumpuh tidak berdaya.

Terhadap daerah-daerah yang berhasil dikuasai, Pangeran Diponegoro langsung membentuk pemerintahan. Beberapa kepala pemerintahan yang diangkat, yakni Bupati Madyokusumo (di Brengkelan), Tumenggung Tanggung (di sebelah timur Sungai Bogowonto), Tumenggung Loning, Tumenggung Karangdhuwur, Tumenggung Pacor, Tumenggung Semawung, Tumenggung Ambal, Tumenggung Wingko dan beberapa tumenggung lainnya di sekitar Bagelen.

Pemerintah Belanda kemudian meminta pertolongan Kasunanan Surakarta untuk ikut membantu. Semula Paku Buwono VI menolak mentah-mentah karena merasa bukan perang Keraton Surakarta, tapi hanya perlawanan Keraton Yogyakarta. Namun setelah dihasut bahwa Pangeran Diponegoro telah mengambil Tanah Bagelen yang merupakan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta, Paku Buwono VI menjadi bimbang.

Susuhunan Paku Buwono VI kemudian membentuk pasukan dan mengangkat pamannya sendiri, yakni Pangeran Kusumoyudo sebagai panglima perang. Sebelum berangkat ke medan laga, Pangeran Kusumoyudo mengusulkan agar dirinya didampingi oleh Reso Diwiryo. Sebagai orang asli Bagelen, Reso Diwiryo dianggap lebih mengenal situasi dan kondisi wilayahnya. Pangeran Kusumoyudo juga tetap beranggapan bahwa Reso Diwiryo adalah abdi dalem yang setia. Meski telah mengundurkan diri, kesetian terhadap Raja tetap utuh. Pengunduran diri itu hanya bentuk rasa sakit kepada Patih Danurejo yang dianggap tidak adil. Susuhunan Paku Bowono pun memahami alasan itu sehingga menyetujui usulan Pangeran Kusumoyudo.


Reso Diwiryo kemudian dipanggil dan diperintahkan untuk maju ke medan laga dengan jabatan Senopati Pendamping. Tugasnya sebagai penunjuk jalan bagi pasukan Surakarta dan mendampingi Pangeran Kusumoyudo. Semula ia menolak perintah tersebut dan memohon agar Ngabei Cokrodiwiryo, putera keduanya yang menjadi Senopati Pendamping karena dinilai masih muda.

Namun Paku Buwono VI menolak gagasan itu. Ia yakin hanya Reso Diwiryo yang menguasai peta situasi Tanah Bagelen. Sebagai seorang abdi dalem setia, Reso Diwiryo tidak mampu menolak titah junjungannya. Sebagai prajurit, titah Raja tidak boleh dilanggar dan harus dipatuhi dengan segenap jiwa dan raga.


Setelah mendapat bantuan pasukan Surakarta, pasukan Pangeran Diponegoro mulai terdesak. Menurut Keraton Surakarta, semangat tempur Reso Diwiryo sungguh luar biasa. Sebagai tangan kanan Pangeran Kusumoyudo, ia berlaga di medan pertempuran dengan gagah berani. Taktik perangnya sungguh luar biasa, sehingga mendapat pujian Keraton Surakarta. Karena itu pada 1828 ia diangkat menjadi Tumenggung di Brengkelan dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Cokro Joyo.

Sebagai Tumenggung, KRT Cokro Joyo berhak atas tanah bengkok (siti lenggah) di wilayah Tanggung seluas 350 hektar. Menurut peta bumi, Tanggung berada di sebelah timur Sungai Bogowonto dan saat ini masuk di wilayah Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo.

Sikap pengabdian Cokro Joyo, dikisahkan sungguh luar biasa. Selama perang Diponegoro, kiprahnya membela Pangeran Kusumoyudo sangat tak tertandingi. Konon selama peperangan berlangsung, Pangeran Kusumoyudo tidak pernah turun berlaga namun hanya berdiam diri di Tangsi Kedhung Kebo. Tapi Cokro Joyo tak pernah mengungkit kasus itu sama sekali.


Suatu ketika seorang opsir Belanda menyindir peristiwa itu dan bertanya; "Mengapa Pangeran Kusumoyudo tidak pernah mau turun berperang dan hanya bersenang-senang di markas besar?" Dengan tegas Reso Diwiryo menjawab; "Selama masih ada saya, Pangeran Kusumoyudo tak perlu turun tangan."


Loyalitas Cokro Joyo kepada junjungan maupun negara tempat dirinya dibesarkan sungguh tak tertandingi. Kesetiaan kepada Pangeran Kusumoyudo tetap ditunjukkan meskipun adalah sahabatnya sendiri. Baginya, Pangeran Kusumoyudo telah membantu dalam mengentaskan diri dari ketidakpastian persoalan hidup yang pernah melilitnya.

Selama peperangan, Reso Diwiryo sempat mengajak adik bungsunya, yakni RNg Prawironegoro dan abdi setianya, Jayeng Kuwuh. Kepada mereka, ia pun tak pernah menyinggung sikap Pangeran Kusumoyudo yang tak pernah mau turun bertempur. Hubungan Cokro Joyo dengan Pangeran Kusumoyudo makin terpelihara dengan baik terbukti mereka saling menikahkan putra-putrinya (berbesanan).

Setelah Pangeran Diponegoro dikalahkan dengan licik oleh Jenderal De Kock (dijebak sewaktu ditawarkan perundingan gencatan senjata di Magelang pada 28 Maret 1830), kehidupan di Tanah Bagelen kembali normal. Tidak ada lagi suara genderang perang dan terompet untuk membangunkan prajurit agar bersiap-siap mengangkat senjata. Juga tidak terdengar lagi dentuman meriam disertai jerit pilu suara rakyat yang lari ketakutan karena melihat desanya dijadikan medan laga.

Begitu dahsyatnya perang Diponegoro, sehingga banyak pihak yang melukiskannya ke dalam kidung. Kidung adalah apresiasi kesenian yang disukai masyarakat pada masa itu. Selain Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta yang membuat Serat Babat Perang Diponegoro, Pangeran Diponegoro dan Kiai Kuwaron (sekretarias pribadi Pangeran Diponegoro) juga melukiskan sendiri Serat Babad Perang Diponegoro sesuai versinya masing-masing. Cokro Joyo juga tidak ketinggalan melukiskannya melalui Serat Babad Kedhung Kebo setebal 700 halaman.

Setelah Diponegoro ditangkap, pada 22 Juni 1830 Pemerintah Hindia Belanda membuat perjanjian segi tiga dengan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Dengan kekuasaan yang semakin besar, Sultan Hamengku Buwono V (yang memerintah Keraton Yogyakarta sepanjang 1822-1855) dipaksa menyerahkan sebagian wilayah Mancanegara Kilen (di sekitar wilayah Bagelen dan Banyumas) sebagai kompensasi kerugian perang. Selama perang Diponegoro, Belanda mengklaim telah mengeluarkan biaya senilai 20 juta gulden dan kehilangan 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 serdadu pribumi.

Dengan penyerahan wilayah Mancanegara Kilen kepada Belanda, wilayah teritorial Keraton Yogyakarta semakin mengecil dibanding wilayah kekuasaan Keraton Surakarta. Karena itu, komisaris yang berkewajiban mengurus Surakarta, yakni Dewan Pemerintah Hindia Belanda, Mr. P Markus dan Residen Surakarta, Kolonel Mahuys mengirim surat kepada Paku Buwono VI. Isinya antara lain meminta agar Susuhunan berkenan melepas wilayah afdeling Bagelen dan Banyumas.

Semula pihak Keraton Surakarta berkeberatan. Namun karena desakan kekuasaan Belanda yang luar biasa, Paku Buwono VI akhirnya sepakat hanya bersedia menyerahkan wilayah afdeling Banyumas saja. Baginya wilayah afdeling Bagelen merupakan negara agung sebab disini banyak siti lenggah yang dimiliki para pangeran dan pejabat kraton.

Namun Belanda bersikeras tetap meminta wilayah afdeling Bagelen bahkan dengan ganti rugi sekalipun. Sekali lagi karena tekanan kekuasaan yang begitu besar, akhirnya Susuhunan Paku Buwono VI terpaksa melepaskan wilayah afdeling Bagelen dengan hati kesal. Sebagai pelampiasannya, ia pergi bermeditasi ke gua Mancingan di Pantai Selatan secara diam-diam (tanpa diketahui Residen Surakarta). Sesungguhnya gua itu dikenal sebagai tempat pertemuan rahasia dengan Pangeran Diponegoro sebelum beraksi melawan Belanda.
Kepergian Paku Buwono tanpa berita dimanfaatkan Belanda untuk menyebarkan isu politik. Disebutkan bahwa Susuhunan telah melanggar kontrak yang telah disepakati. Belanda bahkan menambah rumor itu dengan mengatakan bahwa kepergian ulama besar Keraton Surakarta, Kyai Maja untuk membantu Pangeran Diponegoro ternyata atas restu Paku Buwono VI.

Belanda semakin memojokkan Susuhunan dengan mengatakan bahwa pasukan Surakarta tidak pernah sungguh-sungguh membantu dalam perang Diponegoro. Susuhunan juga dipertanyakan kepergiannya bertapa ke Gua Mancingan namun sempat singgah ke Astana Imogiri dengan cara menyamar. Penyamaran Susuhunan sewaktu ziarah ke Imogiri adalah dengan mengaku sebagai putra Pangeran Mangkubumi dari Surakarta.

Lewat rumor politik itu, Belanda merasa memiliki alasan untuk menangkap Paku Buwono VI saat berada di Gua Pancingan. Setelah dipaksa turun tahta, melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 3 Juli 1830, Susuhunan diasingkan dan dibuang ke Ambon. Untuk mengganti kedudukan Raja Surakarta, Belanda mengangkat Pangeran Purbaya dengan gelar Susuhunan Paku Buwono VII.

Kemudian Pemerintah Hindia Belanda segera membenahi wilayah kekuasannya secara sistematis. Posisi bupati maupun tumenggung yang sebelumnya diangkat Paku Buwono VI dikaji ulang. Cokro Joyo justru ditetapkan Belanda sebagai Bupati Brengkelan pada 1830. Hal ini sesuai dengan isi perjanjian segi tiga dengan kedua keraton itu bahwa semua pejabat daerah di wilayah Bagelen maupun Banyumas tidak ada yang diganti. Bila diangkat pejabat baru, Pemerintah Hindia Belanda harus bermusyawarah dengan raja yang bersangkutan.

Namun musyawarah pergantian pejabat daerah (sesuai isi perjanjian segi tiga) hanya berlaku sepihak dengan Kerajaan Surakarta. Terhadap Kerajaan Yogyakarta, karena dianggap sebagai biang keladi peperangan, Belanda tidak perlu bermusyawarah untuk mengganti pejabat daerah yang wilayahnya telah menjadi daerah kekuasaannya.

Akibatnya ada lima pejabat yang diakui karena perjanjian segi tiga ini, yakni KRT Cokro Joyo atau RNg Reso Diwiryo (Tumenggung Brengkelan), KRT Notonagoro atau Adipati Sawunggalih II (Bupati Semawung atau Kutuarjo), KRT Mangunnagoro (Bupati Ngaran atau Ungaran), Pangeran Blitar (Bupati Karangdhuwur) dan Arung Binang (Bupati Kutowinangun).

Setelah wilayah bagian (afdeling) Bagelen dan Banyumas diserahkan oleh Keraton Surakarta pada 18 Desember 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan pembentukan kedua wilayah bagian itu sebagai karesidenan melalui surat keputusan. Khusus untuk Residen Bagelen diperbantukan oleh dua orang asisten Residen yang berkedudukan di Ungaran dan Petanahan dengan pangkat Patih. Residen Bagelen ini akan ditempatkan di Brengkelan. Seorang Komis-Ontvanger serta seorang Sekretaris Landraad juga akan ditunjuk untuk bertugas di sana.

Tidak hanya itu, Pemerintah Hindia Belanda juga perlu mengawasi kondisi keamanan Bagelen secara intens. Karena itu ditempatkan dua orang asisten residen yang salah satunya berwenang menangani masalah kepolisian. Di samping itu, Belanda juga mengangkat seorang Kontrolir yang berkedudukan di Kutuarjo.

Dengan surat keputusan Belanda itu, Cokro Joyo secara langsung ditetapkan sebagai Bupati Brengkelan. Namun sebelum pelantikan, ia mengusulkan agar nama daerah itu diganti menjadi Purworejo. Baginya, Brengkelan berasal dari kata mrengkel yang artinya ngeyel, suka mendebat atau menentang. Sementara Purworejo berasal dari kata purwo yang berarti awal atau wiwitan dan rejo yang berarti kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Pemerintah Hindia Belanda dan Raja Surakarta sepakat dengan usulan tersebut. Semenjak 18 Desember 1830 ditetapkanlah nama Kabupaten Purworejo dengan KRT Cokro Joyo sebagai bupati pertama yang dilantik dan diambil sumpahnya oleh Penghulu Kabupaten, KH Baharudin. Sebagai bupati, Cokro Joyo diberi gelar Raden Adipati Aryo Cokronagoro I oleh Susuhunan Paku Buwono VI. Namun mengingat Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda baru diterbitkan delapan bulan kemudian, secara definitif RAA Cokronagoro I baru bertugas sebagai Bupati Purworejo mulai 22 Agustus 1831. 


Pertanyaan Penulis :
Apakah makam/patilasan Cokro Joyo sudah ditemukan...?


Sumber :
http://purworejo-cokronagoro.blogspot.com/2010/01/kisah-cokronagoro.html
Diposkan oleh COKRONEGARAN
Oleh : Fitri Weningtyas & Gita Indrawanti

ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo