Situs Makam Tua di Kepanjen


Makam Singo Prawiroyudho, berasal dari Mataram
Makam Singo Prawiroyudho, berasal dari Mataram



Pendahuluan

Di balik kisah besar Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, tersembunyi tokoh-tokoh perjuangan yang berperan penting namun jarang tercatat dalam sejarah resmi. Salah satunya adalah Canggah Singo, seorang panji dari Keraton Yogyakarta yang turut memperjuangkan kemerdekaan rakyat Jawa dari tekanan penjajah Belanda.

Perjalanan perjuangannya bermula dari Kutha Gede, Yogyakarta, dan membawanya hingga ke pelosok wilayah Sengguruh—sebuah tempat perlindungan, persembunyian, sekaligus pusat berkumpulnya para panji untuk menyusun strategi perlawanan terhadap bangsa penjajah yang mulai masuk ke wilayah pedalaman Jawa.

Di tempat baru itu, ia berperan sebagai pejuang gerilya dalam menghadapi berbagai tantangan berat, termasuk pengkhianatan dari orang dalam Keraton Mataram sendiri.




Menurut penuturan Prof. Dr. Agus Sunyoto dalam sebuah pengajian desa di Banyuwangi (2019), nama-nama seperti Singo, Gajah, Lembu, dan Gagak bukanlah nama pribadi semata, melainkan bentuk simbolisme gelar yang umum dipakai oleh kalangan bangsawan Jawa pada masa pra-Islam. Nama-nama ini mencerminkan peran, karakter, atau kedudukan sosial seseorang dalam struktur masyarakat kerajaan. Dalam Kamus Têmbung Kawi karya Winter (1928), disebutkan bahwa “Singo” berarti sadhengah wong, seorang tokoh, pemuka, atau pemimpin, bukan sekadar sebutan binatang.

Ilustrasi Gambar cangga Singo Prawiroyudo
Canggah Singo berasal dari Kutho Gede, sebuah pusat budaya Islam dan politik penting yang menjadi bagian dari Kesultanan Yogyakarta. Ia diyakini lahir sebelum abad ke-19, dan tumbuh besar dalam lingkungan abdi kinasih istana atau para pelayan setia keraton yang tidak hanya mengabdi, tapi juga memikul nilai-nilai keprajuritan dan kesetiaan terhadap tanah Jawa. Sejak muda, ia bergabung dalam pasukan Kesultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana III. Di masa inilah ia menjadi sejaman dan seperjuangan dengan tokoh-tokoh seperti Raden Mas Antawirya (Diponegoro) dan Kyai Maja.

Perjalanan perjuangannya dimulai dari tanah kelahirannya di Kutho Gede, dan membawanya jauh ke pelosok Sengguruh, yang masih dalam bayang-bayang pemerintahan Mataram yang kala itu menjadi tempat perlindungan, persembunyian, sekaligus pusat pertemuan para panji dan laskar rakyat. Di tempat itulah berbagai strategi perlawanan terhadap penjajah Belanda disusun, seiring dengan meningkatnya tekanan militer ke wilayah pedalaman Jawa.

Di Sengguruh, Canggah Singo tidak hanya bersembunyi. Ia aktif sebagai tokoh gerilya, memimpin laskar-laskar kecil dalam perlawanan, dan menghadapi beragam tantangan, mulai dari kekurangan logistik hingga pengkhianatan yang datang dari kalangan orang dalam Keraton Mataram sendiri. Ia bukan hanya panji, melainkan pemimpin lokal yang menyatukan perlawanan rakyat dalam sunyi dan gerilya.

Meski namanya tak banyak tercatat dalam dokumen resmi, jejak perjuangan Canggah Singo tetap hidup dalam narasi lisan dan memori "keluarga dalam", Ia adalah contoh nyata dari para pejuang yang bekerja dalam senyap, demi sebuah cita-cita besar yakni kemerdekaan dan mengangakat martabat penduduk di tanah Jawa.



Peran dalam Perang Jawa

Ketika Pangeran Diponegoro mengobarkan perlawanan terhadap Belanda yang saat itu mencampuri urusan internal Keraton dan menerapkan sistem sewa tanah yang menindas rakyat, Saat itu Canggah Singo turut serta dalam barisan pasukan istana. Ia dikenal sebagai seorang pejuang yang menguasai ilmu agama dan militer, serta memperdalam tasawuf (tarekat) bersama Pangeran Diponegoro. Buku ajaran tasawuf yang mereka pelajari bahkan masih tersimpan dengan baik di Museum Kepanjen Dharma Wiyata.






Kegiatan Perlawanan di Sengguruh

Di wilayah Sengguruh, Canggah Singo menjadi tokoh penting dalam perlawanan pasca-Diponegoro. Ia terlibat dalam :






Kabar wafatnya Pangeran Diponegoro pada 8 Januari 1855 di pengasingannya di Benteng Rotterdam, Makassar, memberikan pukulan besar bagi para pejuang Sabilillah. Meski semangat perjuangan mulai redup, Canggah Singo tetap mempertahankan identitas dan idealismenya dalam diam.

Ia wafat sebelum tahun 1890, dalam usia lanjut, dan dimakamkan bersama istrinya di Makam Keluarga Punten, Kepanjen-Malang. Nama aslinya tak banyak dikenal, namun menurut keturunan, ia pernah disebut sebagai Singo Prawiranyuda – sebuah nama yang menunjukkan perannya sebagai panglima perang yang gagah berani.



0 komentar anda:

ARTIKEL POPULER

KELUARGA DALEM DHARMOREDJO

KELUARGA DALEM DHARMOREDJO
PILIH JUDUL DIBAWAH INI :