Rumah Khas Malang

Judul :

Arsitektur Rumah Tradisional 

Kepanjen abad 18, abad 19

Kajian Sejarah dan Budaya

oleh : Agung Cahyo Wibowo

Merujuk kepada tempat tinggal, seni bangunan di daerah Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tidak luput dari jenis arsitektur tradisional yang mencerminkan budaya dan tradisi setempat serta adaptasi terhadap kondisi lingkungan dan iklim setempat. Rumah-rumah ini biasanya dibangun dengan bahan-bahan alami yang mudah ditemukan di sekitar, seperti kayu, bambu, dan daun kelapa untuk atap. Struktur atap yang tinggi dan berbentuk limas atau joglo tidak hanya menambah keindahan visual tetapi juga membantu sirkulasi udara, membuat rumah tetap sejuk di tengah cuaca panas tropis.

Desain rumah tradisional Kepanjen juga memperhatikan aspek sosial dan budaya. Misalnya, ruang-ruang di dalam rumah dirancang untuk mendukung interaksi sosial dan kegiatan keluarga, dengan adanya ruang tengah yang luas yang bisa digunakan untuk berbagai acara. Ornamen dan ukiran pada rumah sering kali memiliki makna simbolis, mencerminkan kepercayaan dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.

Adaptasi terhadap lingkungan juga terlihat dari cara rumah-rumah atap limas ini dibangun untuk menghadapi cuaca yang berubah-ubah. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu memungkinkan ventilasi yang baik, sementara atap yang miring memastikan air hujan mengalir dengan cepat dan tidak menyebabkan kebocoran. Dengan menggabungkan fungsi dan estetika, arsitektur rumah tradisional di Kepanjen tidak hanya menjadi tempat tinggal yang nyaman tetapi juga menjaga warisan budaya yang kaya.

Rumah tertua di Malang Raya 

usianya lebih dari 200 tahun (tahun 1823)

Kumpulan foto-foto rumah khas Kepanjen yang diambil dari tahun 2008 hingga 2015, dengan rata-rata usia rumahnya lebih dari seratus tahun, sangat penting untuk mendokumentasikan perubahan dan pelestarian arsitektur tradisional lokal. Foto-foto ini memberikan bukti visual tentang bagaimana rumah-rumah tradisional telah bertahan dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Data ini juga berfungsi sebagai referensi penting bagi peneliti, arsitek, dan sejarawan dalam memahami evolusi desain dan penggunaan material pada rumah-rumah tradisional di Kepanjen. Melalui foto-foto yang diambil secara acak dari beberapa ratus rumah, kita dapat mengidentifikasi elemen-elemen arsitektur yang khas dan memastikan bahwa warisan budaya ini tetap dikenal dan dihargai oleh generasi mendatang. Koleksi dokumentasi lengkap terdokumentasi sebagai koleksi penulis yang disimpan di museum Kepandjen "Dharma Wiyata".

Di bawah ini, kumpulan foto di atas akan ditunjukkan dengan satu foto rumah yang usianya lebih dari seratus tahun di setiap desa di kecamatan Kepanjen yang sempat saya dokumentasikan:

1. Kepanjen (tahun 1951)

    

2. Desa Jatiguwi  (foto : 2012)
   
3. Desa Mangir  
4.  (foto : 2014)



5. Desa Turus    
6. (foto : 2012)



7. Desa Panggungrejo 
8.  (foto : 2012)



9. Desa Senggreng   
10. (foto : 2012)



11. Desa Sengguruh 
12.  (fotografer Belanda: 1926)


13.     
     Desa Jenggolo     (foto : 2012)

    
14. Desa Mboro    (foto : 2012)

    

    
    

    
    
15. Desa Tegal Sari      (foto : 2014)
    

Setiap foto di atas menggambarkan rumah khas tradisional di desa masing-masing, diambil dalam rentang tahun 2008 hingga 2015. Melalui foto-foto ini, kita dapat menyimpulkan ciri-ciri khas dari rumah tradisional di Kepanjen atau daerah sekitarnya adalah terbuat

Bahan Material Alami yakni: 

1. Kayu 

Digunakan sebagai bahan utama dalam konstruksi rumah Joglo. 

Jenis kayu yang sering digunakan termasuk kayu jati, dan kayu nangka. 

Kayu-kayu ini dipilih karena kekuatan dan ketahanannya terhadap cuaca dan serangga.

2. Batu bata   

Digunakan untuk dinding, seringkali diplester untuk memberikan tampilan bersih yang khas.

3. Batu Sungai digunakan untuk fondasi. 

4.  Genteng Tanah Liat 

Digunmakan untuk atap rumah Joglo yang disusun rapat untuk melindungi dari hujan dan panas. Genteng ini juga membantu menjaga sirkulasi udara di dalam rumah.

Atap rumah biasanya tinggi dan berbentuk limas.

5. Bambu 

Bambu digunakan sebagai landasan genteng (usuk dan reng) pada rumah tradisional. Untuk memperkuat bambu, biasanya terlebih dahulu direndam di air sungai, yang membuatnya lebih tahan lama. Selain itu, dinding rumah kadang juga dibuat dari anyaman bambu yang dikenal sebagai gedek. Bambu juga sering dipakai untuk berbagai tambahan lain, seperti pagar. Bambu dipilih karena fleksibilitas dan kekuatannya, menjadikannya bahan yang ideal untuk berbagai keperluan konstruksi dalam arsitektur tradisional.

7. Lantai

Lantai rumah Joglo biasanya berupa tanah, tetapi perkembangan pada abad 19 bergeser menggunakan plester yang berbahan pasir, semen-bata, oyan dan semen-blawu  yang memberikan tampilan lebih bersih, rapi dan kuat.

Ciri khas :

1. Atap rumah tradisional biasanya tinggi dan berbentuk limas, yang memiliki beberapa fungsi penting dalam arsitektur dan kehidupan sehari-hari. Bentuk atap yang tinggi memungkinkan sirkulasi udara yang baik di dalam rumah, sehingga membantu menjaga suhu tetap sejuk di tengah cuaca panas tropis. Struktur ini memungkinkan udara panas untuk naik ke atas dan keluar melalui ventilasi, sementara udara sejuk masuk ke dalam rumah dari bagian bawah, menciptakan efek pendinginan alami.

Selain fungsi sirkulasi udara, atap yang berbentuk limas atau joglo juga memberikan perlindungan yang efektif dari hujan. Desain atap yang miring dan curam memastikan bahwa air hujan mengalir dengan cepat dan efisien, mencegah penumpukan air yang dapat menyebabkan kebocoran atau kerusakan pada struktur rumah. Material atap seperti genteng tanah liat dirancang untuk menahan air dan memberikan perlindungan tambahan.

Perbedaan model atap joglo khas Mataraman dengan rumah joglo khas Kepanjen terletak pada bentuk limasnya yang lebih lebar. Perbedaan ini mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi masyarakat setempat, yang beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan lokal, sekaligus memperkaya keragaman arsitektur tradisional di Jawa Timur.

2. Halaman rumah hampir semua rumah tradisional di Kepanjen memiliki ruang terbuka atau halaman yang luas, yang digunakan untuk berbagai kegiatan keluarga dan sosial. Halaman yang luas ini sering kali menjadi pusat aktivitas sehari-hari, tempat di mana keluarga dapat berkumpul, bermain, dan melakukan berbagai kegiatan bersama.

Pada pagi hari, halaman rumah ini biasanya dipenuhi dengan suara kece
riaan anak-anak yang bermain, berlari, dan tertawa. Para ibu sering terlihat duduk di beranda, mengawasi anak-anak sambil berbincang-bincang dengan tetangga. Halaman ini juga menjadi tempat untuk menjemur pakaian, mengeringkan hasil panen, atau sekadar menikmati udara segar.

Pada sore hari, halaman ini berubah menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar. Meja-meja kecil dan tikar digelar, makanan dan minuman disiapkan, dan seluruh anggota keluarga berkumpul untuk menikmati waktu bersama. Percakapan hangat dan canda tawa mengisi suasana, menciptakan ikatan yang kuat antara anggota keluarga dan komunitas.

Selain itu, halaman yang luas ini juga sering digunakan untuk acara-acara khusus seperti perayaan adat, pesta pernikahan, dan upacara keagamaan. Saat ada acara besar, seluruh komunitas akan berkumpul di halaman ini, berbagi makanan, cerita, dan kebahagiaan. Ruang terbuka ini menjadi saksi dari berbagai momen penting dalam kehidupan masyarakat setempat.

Dengan demikian, halaman luas di rumah tradisional bukan hanya berfungsi sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai ruang sosial yang mempererat hubungan antar anggota keluarga dan komunitas. Ruang ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kekeluargaan yang menjadi inti dari kehidupan masyarakat tradisional di Kepanjen.

3. Ruang dalam rumah tradisional di Kepanjen sering kali multifungsi, dengan satu ruang besar yang digunakan untuk berbagai aktivitas. Ruangan ini dirancang untuk memberikan fleksibilitas dalam penggunaannya, sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan kegiatan sehari-hari keluarga. Pada pagi hari, ruang besar ini mungkin digunakan sebagai ruang makan, di mana seluruh anggota keluarga berkumpul untuk sarapan bersama. Setelah itu, ruangan ini dapat berubah menjadi tempat belajar anak-anak atau area kerja bagi orang dewasa.

Saat sore tiba, ruang besar ini menjadi tempat berkumpulnya keluarga untuk bersantai, bercengkerama, dan menikmati waktu bersama. Meja dan kursi dapat dipindahkan atau disusun ulang sesuai kebutuhan, menciptakan area yang nyaman untuk berbagai kegiatan, seperti permainan atau bersantai dengan keluarga. Di malam hari, ruang multifungsi ini dapat dengan mudah diubah menjadi tempat tidur, dengan kasur atau tikar yang digelar untuk istirahat malam.

Fleksibilitas ruang ini mencerminkan cara hidup masyarakat tradisional di Kepanjen yang sederhana namun penuh kebersamaan. Dengan memanfaatkan satu ruangan untuk berbagai tujuan, mereka dapat memaksimalkan penggunaan ruang yang ada, tanpa perlu membangun banyak kamar yang terpisah. Selain itu, konsep ruang multifungsi ini juga memperkuat ikatan antar anggota keluarga, karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama dalam satu ruangan yang sama.

Dengan demikian, kamar yang multifungsi dalam rumah tradisional Kepanjen tidak hanya berfungsi sebagai solusi praktis untuk keterbatasan ruang, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan kesederhanaan yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat setempat.

Memelihara rumah tua peninggalan peradaban budaya warisan leluhur khas daerah Kepanjen adalah sebuah langkah penting untuk menjaga identitas dan sejarah kita. Rumah-rumah ini bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga menyimpan nilai-nilai budaya, tradisi, dan cerita yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan merawat dan melestarikan rumah-rumah tua ini, kita tidak hanya melindungi warisan arsitektur yang unik, tetapi juga memastikan bahwa kekayaan budaya lokal tetap hidup dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Investasi dalam pelestarian ini akan memperkuat kebanggaan terhadap sejarah lokal dan membantu membangun kesadaran akan pentingnya warisan budaya dalam membentuk jati diri masyarakat Kepanjen.