Karena dianggap mumpuni dan mendukung perjuangan pribumi Jawa, Cangga Singo sering diminta oleh sesepuh padepokan untuk mendampingi mereka dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh penting di Sengguruh. Pertemuan-pertemuan rahasia dengan teman seperjuangan asal Yogyakarta juga sering dilakukan dengan koordinator yang berada di Gunung Kawi, Pakisaji, Sengguruh, Wagir, Kendalpayak, Sumbermanjing, Turen, Kebalen, lereng Gunung Semeru, dan Balitar. (area bekas perjuangan Trunojoyo dan pernah tinggal bersembunyi di desa Sutojaya, Pakisaji)
Tugas penting untuk menginventarisasi kekuatan dan menyusun strategi melawan Kompeni Belanda dipercayakan pada Cangga Singo. Gelar "Singo" lebih dikenal oleh orang sekitarnya daripada nama asli sejak kecilnya.
Gelar jabatan "Singo" ini dianggap sebagai "seorang pemimpin pemberontakan" yang pasti akan dihukum mati jika tertangkap oleh serdadu Kompeni Belanda, namun Cangga Singo tetap menjalankan tugasnya dengan tulus dan penuh keberanian. Pertempuran untuk melawan Belanda selalu dilakukan dengan jangkauan yang semakin melebar, seperti memberi bantuan pasukan dari daerah lain atau menyerang benteng pertahanan Belanda di Utara Sungai Berantas, sekarang dikenal Celaket - Malang.
Setelah tinggal beberapa tahun di Kepanjen, Cangga Singo berkenalan
dengan seorang perempuan yang tinggal di sekitar padepokan dan tidak
lama kemudian menikah untuk membangun rumah tangga dan tinggal di
sekitar timur Sungai Sukun Kepanjen. Dalam pernikahannya, mereka
dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama 👉 Larasati.
Nama putri tunggalnya, "Larasati," menurut arti dalam bahasa Jawa adalah (bênêr), (gêndhewa - ati resik) yang berharap putrinya memiliki perilaku yang selaras antara pikiran, tujuan, dan kebenaran dikehidupan.
Pada tanggal 8 Januari 1855, seluruh pejuang Sabilillah terkejut
mendengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro telah wafat di Benteng
Rotterdam, tokoh yang dianggap sebagai "jimat" atau simbol perjuangan
melawan Belanda. Dengan adanya kabar tersebut, perjuangan semakin
melemah dan sisa-sisa pasukan serta para pangeran banyak yang melarikan
diri ke kota-kota yang dianggap aman. Hal ini membuat Belanda lebih
mudah untuk memperluas ke wilayah pedalaman, khususnya Malang, dengan
cara yang tidak loyal pada pemerintahan Belanda atau hanya bersifat
lokal.
Para bangsawan Eropa, khususnya Belanda, semakin mencengkeram wilayah
Jawa dengan menjalankan taktik perang "De Vide in Imper", yang lebih
dikenal dengan politik adu domba antara bangsawan seperti Kesultanan
Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta.
Dalam masa pelarian, Cangga Singo menyamar menjadi seorang "petani
kebun" dan berjanji untuk menutup identitas diri agar tidak dikenali
orang lain. Tugas khusus yang diberikan oleh Kesultanan Jogjakarta
terputus karena situasi.
Sedikit gambaran tentang kemampuan beladiri yang dimiliki Cangga Singgo adalah beliau cerdik berwawasan, kreatif, dan memiliki ilmu bela diri yang pilih-tanding. Menurut keterangan salah satu cucunya yang rumahnyadekat dari tempat tinggal Cangga Singo, yaitu jika berhadapan dengan satu atau beberapa lawan tanding, beliau menggunakan suaranya yang dikeraskan untuk mengertak lawan, sehingga hati lawan tanding yang berhadapan akan gemetar ketakutan, baru menggunaklan jurus-jurus yang mematikan dan membahayakan serangan lawan tanding. Cerita lanjutnya tentang kehidupan rumah tangga canggah Singo bahwa, beliau sering bepergian beberapa minggu untuk keluar dengan cara menyamar sebagai tukang cari kayu dihutan.
Oh.. ya
Rumah keluarga Cangga Singo terletak di timur sungai Sukun, Kerpanjen, yang pada waktu itu belum memiliki nama jalan dan kini menjadi Gang Pande Kepanjen. Menurut beberapa keterangan dari sesepuh keluarga, rumah Cangga Singo sering dikunjungi oleh tamu yang sedang menyamar dan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Jika mereka menginap untuk jangka waktu yang lebih lama, mereka akan disarankan untuk tinggal di padepokan.
Menurut keterangan beberapa cucu keluarga, "canggah putri Singo" meninggal dunia lebih dulu dalam usia tua, sedangkan "canggah kakong Singo" diperkirakan meninggal dunia sebelum tahun 1890 dalam usia tua juga. Keduanya kemudian dimakamkan di Makam Keluarga yang terletak di Jalan Punten, Kepanjen-Malang. Sampai meninggal dunia nama asli canggah Singo tidak dikenal, tetapi ada satu cucu pernah mendengar nama lanjutannya yakni "Singo Prawiranyuda"