Di Kota Kepanjen pada era 70-an, terdapat sebuah situs penting yang menyimpan jejak peradaban masa lalu: Lingga-Yoni yang terletak di Jl. Bromo, Sukun. Situs ini pernah menjadi saksi bisu kehidupan spiritual dan budaya masyarakat setempat, terletak di bawah naungan pohon besar dengan rumput liar yang mengelilinginya. Di masa itu, batu-batu bata pondasi serta beberapa batu Andesit yang menjadi bagian dari struktur pelindung Lingga-Yoni masih berdiri kokoh, meskipun sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keusangan.
Namun, di era tersebut, banyak orang yang memandang situs semacam ini dengan skeptis dan penuh prasangka. Pemahaman bahwa benda-benda peninggalan masa lalu adalah simbol penyekutuan Tuhan atau paganisme telah menyebar luas. Akibatnya, tindakan-tindakan vandalisme dan pengerusakan terhadap situs-situs ini menjadi hal yang lazim.
Pengerusakan Situs Bersejarah
Cerita ini dimulai pada suatu pagi ketika kampung masih diselimuti kabut tipis. Beberapa penduduk desa yang dipengaruhi oleh pandangan religius yang kuat memutuskan bahwa Lingga-Yoni dan batu-batu Andesit tersebut harus dihancurkan. Mereka menganggap situs ini sebagai tempat orang-orang yang menyekutukan Tuhan dan sebagai simbol dari praktik-praktik kepercayaan lama yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinan mereka.
Sekelompok orang berkumpul di sekitar Lingga-Yoni. Mereka membawa palu, cangkul dan linggis dengan niat untuk menghancurkan struktur yang telah berdiri di sana selama berabad-abad. Mereka mulai merobohkan cungkup pelindung Lingga-Yoni, merobek-robek bata pondasi, dan melemparkan batu-batu Andesit ke segala arah. Bunyi benturan alat-alat besi dengan batu keras mengisi udara pagi itu, menandai awal dari kehancuran sebuah situs yang seharusnya dilestarikan.
Upaya Penyelamatan
Namun, tidak semua penduduk setuju dengan tindakan pengerusakan ini. Ada seorang aparat tentara yang tinggal di kampung tersebut, yang memiliki pandangan berbeda. Dia memahami pentingnya menjaga warisan budaya dan sejarah, meskipun mungkin tidak sesuai dengan keyakinan religius yang dianut oleh sebagian besar penduduk. Melihat aksi perusakan tersebut, dia segera bergegas ke lokasi dan menghentikan tindakan tersebut.
Dengan suara tegas namun penuh pengertian, tentara itu berbicara kepada kerumunan. Dia menjelaskan bahwa menghancurkan situs bersejarah seperti Lingga-Yoni bukan hanya tindakan yang tidak menghormati nenek moyang mereka, tetapi juga merampas bagian penting dari identitas budaya dan sejarah mereka sendiri. Batu-batu tersebut, meskipun dianggap sebagai simbol penyekutuan Tuhan oleh beberapa orang, sebenarnya adalah saksi bisu dari masa lalu yang kaya akan tradisi dan pengetahuan.
Dia mengingatkan mereka bahwa banyak generasi sebelum mereka telah menjaga dan merawat Lingga-Yoni ini, dan adalah tugas mereka untuk melanjutkan tradisi itu. Tindakan perusakan hanya akan menghapus bagian penting dari sejarah yang tidak dapat dikembalikan. Dalam penjelasannya, dia juga menyebutkan bahwa penghancuran situs-situs seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme dan kebanggaan atas warisan budaya Indonesia.
Refleksi dan Penghargaan Kembali
Kata-kata aparat tentara tersebut membawa pemikiran baru bagi penduduk kampung. Mereka mulai menyadari bahwa penghancuran Lingga-Yoni dan batu-batu Andesit bukanlah solusi yang tepat. Perlahan, mereka menurunkan alat-alat mereka dan mulai membersihkan puing-puing yang telah mereka sebarkan. Lingga-Yoni yang telah bergeser karena percobaan untuk membuangnya ke Sungai Sukun-Kepanjen, diselamatkan dan dipertahankan di tempatnya semula.
Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat kampung. Mereka mulai belajar untuk menghargai warisan budaya dan sejarah mereka, dan tidak lagi memandang situs-situs seperti Lingga-Yoni dengan prasangka negatif. Sebaliknya, mereka mulai memandangnya sebagai bagian dari identitas mereka yang perlu dilestarikan dan dihormati.
Seiring berjalannya waktu, kampung tersebut menjadi lebih sadar akan pentingnya menjaga situs-situs bersejarah. Mereka mengadakan diskusi-diskusi komunitas tentang cara terbaik untuk melestarikan warisan mereka dan bekerja sama untuk merawat situs-situs yang ada. Perubahan pandangan ini membantu mereka untuk tidak hanya menjaga benda-benda bersejarah tetapi juga memperkuat ikatan komunitas dan rasa bangga akan warisan budaya mereka.
0 komentar anda:
Posting Komentar