KITAB RUJUKAN
CERITA KERAJAAN MAJAPAHIT
CERITA KERAJAAN MAJAPAHIT
----------------------------------------------------------------------------
IX
Pada tahun Saka 1250, atau yang dikenal sebagai Sunyi Keinginan Sayap Bumi, Seri Ratu di Kahuripan diangkat sebagai raja. Ia memiliki tiga orang anak yang masing-masing memiliki gelar dan sebutan yang khas. Anak pertamanya, Batara Prabu, lebih dikenal dengan panggilan Seri Hayam Wuruk. Ketika ia bermain kedok, ia dikenal sebagai Raden Tetep, dan saat bermain wayang serta melawak, ia dipanggil Gagak Ketawang. Di kalangan pemeluk agama Siwa, ia dikenal dengan nama Mpu Janeswara, dan ketika diangkat sebagai prabu, ia mendapat nama nobat Seri Rajasa Nagara, serta diakui sebagai Seri Baginda Sang Hyang Wekasing Suka.
Adik perempuan Seri Ratu di Kahuripan menikah dengan Raden Larang, yang juga dikenal sebagai Baginda di Matahun, meskipun mereka tidak dikaruniai anak. Sementara itu, adik bungsunya, Seri Ratu di Pajang, menikah dengan Raden Sumana, yang juga dikenal sebagai Baginda di Paguhan. Raden Sumana adalah saudara sepupu Seri Ratu di Kahuripan. Istri Baginda di Gundal dipuja di candi yang terletak di Sajabung, yang dikenal dengan nama resmi Bajra Jina Parimita Pura.
Peristiwa menarik lainnya pun terjadi, yaitu peristiwa Sadeng, yang akan melanjutkan kisah ini.
Tadah yang menjadi patih Mangkubumi menderita sakit, sering sekonyong konyong tak berkuasa menghadap, memajukan permohonan kehadapan Paduka batara untuk diijinkan berhenti, tidak dikabulkan oleh Seri Ratu di Kahuripan, Sang Arya Tadah kembali pulang, memanggil Gajah Mada, mengadakan pembicaraan di ruang tengah, Gajah Mada diminta menjadi Patih di Majapahit, meskipun tidak berpangkat Mangkubumi: “Saya akan membantu didalam soal soal yang penting,”
Gajah Mada dengan tegas berkata, “Anaknda belum sanggup untuk menjadi patih saat ini. Namun, setelah kembali dari Sadeng, hamba bersedia untuk mengemban tugas itu, asalkan Tuan mau memaafkan segala kekurangan dalam kemampuan hamba ini.”
Sang Arya Tadah, mendengar kesanggupan Gajah Mada, merasa tergerak dan berjanji, “Nah, buyung, saya akan membantu dalam segala kesukaran dan dalam menghadapi masalah-masalah yang luar biasa.”
Dengan semangat yang membara, Gajah Mada pun berangkat menuju Sadeng. Namun, dalam perjalanan, ia menipu para menteri araraman dan juga Patih Mangkubumi, yang percaya bahwa Kembar telah lebih dahulu mengepung Sadeng. Marah karena merasa ditipu, Mangkubumi memberi perintah kepada menteri luar untuk mengumpulkan pasukan. Mereka berangkat dalam lima satuan, masing-masing dipimpin oleh seorang bekel, dengan setiap satuan terdiri dari lima orang.
Saat itu, Kembar sedang berada di dalam hutan. Mereka berdiri di atas pohon yang roboh, berayun seperti orang yang sedang menaiki kuda, sambil melambai-lambaikan cambuk kepada para pengirim pesan yang meminta mereka untuk kembali dan tidak melanjutkan perjalanan. Pesan itu disampaikan oleh para menteri, terutama dari Gusti Patih Mangkubumi, yang mendesak Kembar untuk kembali karena kabar yang beredar menyatakan bahwa mereka telah mendahului dalam mengepung orang-orang Sadeng.
Kembar dengan berani mencambuk muka orang yang menyuruh mereka kembali, tetapi serangan itu gagal karena orang tersebut berlindung di balik pohon. Kembar lalu berkata dengan tegas, “Tidak ada orang yang akan diindahkan oleh Kembar ini; dalam perang sekalipun, hamba tidak mau mengindahkan tuanmu itu.”
Orang yang mendapat perintah untuk menyuruh kembali kemudian pergi dan memberi tahu semua yang diucapkan oleh Kembar.
Di sisi lain, Gajah Mada hanya bisa diam, merasa sangat diperolok-olok. Sementara itu, orang-orang Sadeng terjebak dalam kepungan. Tuhan Waruju, seorang Dewa Putera dari Pamelekahan, yang jika membunyikan cambuknya, suaranya bisa terdengar hingga ke ruang angkasa, membuat orang Majapahit terperanjat. Segera setelah itu, Sang Sinuhun datang dan berhasil mengalahkan Sadeng.
Peristiwa antara Tanca dan Sadeng itu terjadi dalam selang waktu tiga tahun, pada tahun Saka 1256, atau yang dikenal sebagai Tindakan Unsur Lihat Daging.
Setelah Kembar kembali dari Sadeng, ia diangkat menjadi bekel araman. Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi, tidak mau beristirahat. Ia berkata, “Jika pulau-pulau di luar Majapahit sudah kalah, barulah saya akan istirahat. Nanti, jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik telah kalah, barulah saya akan menikmati masa istirahat.”
Dalam waktu itu, Gajah Mada juga mengangkat beberapa orang ke pangkat yang lebih tinggi: Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang, Gagak Nunge, Jenar, dan Arya Rahu menerima penghargaan, sementara Lembu Peteng diangkat menjadi Tumenggung.
Pada saat itu, para menteri sedang berkumpul lengkap duduk menghadap di balai penghadapan. Kembar dengan berani memperolok-olok Gajah Mada, menyebut berbagai kesalahan dan kekurangan yang dimilikinya. Tidak hanya Kembar, Ra juga ikut serta menambah celaan-celaan yang disampaikan, menciptakan suasana yang penuh ejekan.
Jabung Terewes dan Lembu Peteng tertawa melihat situasi tersebut. Merasa tidak terima atas perlakuan itu, Gajah Mada turun dan mengadukan masalah ini kepada Batara di Koripan. Sang baginda marah mendengar penghinaan yang diterima Gajah Mada dan kemarahan tersebut disampaikan kepada Arya Tadah.
Dosa Kembar pun semakin banyak, dan Warak pun dilenyapkan, tanpa sempat mengungkapkan apa pun kepada Kembar. Akhirnya, semua yang terlibat dalam penghinaan tersebut menemui ajal mereka.
X
Selanjutnya, terjadi peristiwa penting yang melibatkan orang-orang Sunda di Bubat. Seri Baginda Prabu menginginkan puteri Sunda, sehingga Patih Madu mendapat perintah untuk menyampaikan permintaan tersebut kepada pihak Sunda. Awalnya, orang Sunda tidak berkeberatan untuk mengadakan pertalian perkawinan.
Raja Sunda, Sang Baginda Maharaja, kemudian datang ke Majapahit, tetapi ia tidak mempersembahkan puterinya. Hal ini membuat orang Sunda bertekad untuk berperang, dan sikap tersebut telah mendapat kesepakatan di antara mereka.
Di pihak Majapahit, Patih Madu merasa keberatan jika perkawinan itu dilakukan dengan perayaan resmi. Ia lebih memilih agar puteri Sunda dijadikan persembahan. Namun, orang Sunda menolak tawaran tersebut. Gajah Mada kemudian melaporkan sikap orang-orang Sunda kepada Baginda.
Mendengar hal itu, Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan untuk menghadapi perang: “Jangan khawatir, kakak Baginda, sayalah yang akan melawan berperang.”
Setelah mendapatkan informasi tentang sikap orang Sunda, orang-orang Majapahit berkumpul dan mengepung mereka. Meskipun orang Sunda bersedia untuk mempersembahkan puteri raja, bangsawan-bangsawan Sunda tidak memperkenankannya. Mereka bersikeras untuk gugur di medan perang di Bubat dan tidak akan menyerah, siap mempertaruhkan darahnya demi kehormatan.
Kesanggupan bangsawan-bangsawan Sunda untuk mengalirkan darah demi kehormatan membuat semangat mereka berkobar. Para terkemuka di pihak Sunda, seperti Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, dan orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, serta banyak lainnya, bersatu dalam tekad yang kuat. Rakyat Sunda bersorak, dan keriuhan suara mereka bercampur dengan bunyi bende, menciptakan suasana yang mengguntur.
Namun, dalam pertempuran itu, Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama Tuhan Usus. Dengan semangat yang membara, Seri Baginda Parameswara melanjutkan perjalanan menuju Bubat, tanpa menyadari bahwa masih banyak orang Sunda yang belum gugur. Para bangsawan Sunda yang terkemuka kemudian melancarkan serangan balasan, dan orang-orang Majapahit mengalami kerusakan yang signifikan.
Di pihak Majapahit, yang mengadakan perlawanan dan pembalasan adalah Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Semua menteri araman itu berperang dengan naik kuda, memimpin serangan yang membuat orang Sunda terdesak. Dalam situasi tersebut, orang Sunda melancarkan serangan ke arah selatan dan barat, menuju tempat Gajah Mada. Namun, setiap orang Sunda yang tiba di muka kereta gugur, mengakibatkan darah mengalir seperti lautan dan bangkai menumpuk seperti gunung. Hancurlah orang-orang Sunda, tidak ada yang ketinggalan, pada tahun Saka 1279, atau yang dikenal dengan Sembilan Kuda Sayap Bumi.
Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan peristiwa Dompo. Setelah semua kekacauan dan perang usai, Gajah Mada akhirnya menikmati masa istirahat setelah sebelas tahun menjabat sebagai Mangkubumi.
Setelah puteri Sunda tersebut meninggal, Batara Prabu kemudian menikahi anak perempuan Baginda Prameswara, yaitu Paduka Sori. Dari perkawinan ini, lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Seri Ratu di Lasem Sang Ayu. Selain itu, dari perkawinan Batara Prabu dengan istri yang lain, lahirlah Baginda di Wirabumi, yang kemudian diambil menjadi anak angkat Seri Ratu di Daha.
Seri Ratu di Pajang memiliki tiga orang anak: Seri Baginda Hyang Wisesa, yang dikenal dengan nama kesatriyannya Raden Gagak Sali, serta sebutan Raja Aji Wikrama. Ia menikah dengan Seri Ratu di Lasem, Sang Ayu, dan dari perkawinan ini lahir seorang anak bernama Seri Baginda Wekasing Suka. Anak kedua mereka adalah perempuan, yaitu Seri Ratu di Lasem Sang Alemu, yang menikah dengan Baginda di Wirabumi. Anak ketiga, juga seorang perempuan, menjadi Seri Ratu di Kahuripan.
π
Ada pula anak Baginda di Tumapel, yang dikenal dengan nama kesatriyannya Raden Sotor. Ia menjadi hino di Koripan, lalu pindah menjadi hino di Daha, dan akhirnya menjadi hino di Majapahit. Raden Sotor mempunyai seorang anak laki-laki bernama Raden Sumirat, yang menikah dengan Seri Ratu di Kahuripan dan kemudian menjadi raja dengan sebutan Baginda di Pandan Salas.
Selanjutnya, terjadi peristiwa upacara selamatan roh nenek moyang yang dinamakan Srada Agung pada tahun Saka 1284, atau yang dikenal dengan nama Empat Ular Dua Tunggal. Sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun Saka 1290, atau yang disebut Langit Muka Mata Bulan, dan selama tiga tahun tidak ada yang menggantikannya sebagai patih.
Gajah Enggon kemudian menjadi patih pada tahun Saka 1293, atau Sifat Sembilan Sayap Orang. Dalam waktu yang sama, Seri Ratu di Daha wafat dan dicandikan di Adilangu, yang dikenal dengan nama resmi candi Gunung Purwawisesa. Seri Ratu di Kahuripan juga wafat dan dicandikan di Panggih, dengan nama resmi candi Gunung Pantarapura.
Akhirnya, terjadi peristiwa mengenai gunung baru pada tahun Saka 1208, atau Ular Liang Telinga Orang.
πKemudian, terjadilah peristiwa gunung meletus yang dahsyat pada minggu Madasia, tahun Saka 1307, yang dikenal dengan nama Pendeta Sunyi Sifat Tunggal. Letusan ini menandai salah satu peristiwa alam yang menggetarkan kerajaan.
Tak lama setelah itu, Baginda di Tumapel wafat pada tahun Saka 1308, atau yang disebut Gajah Sunyi Tindakan Ekor. Baginda wafat di Suniyalaya dan kemudian dicandikan di Japan, dengan nama resmi candi tersebut adalah Sarwa Jaya Purwa. Baginda Hyang Wisesa memiliki tiga orang anak:
- Seri Baginda di Tumapel, yang kemudian menjadi penguasa di Tumapel
- Seri Ratu Prabu-stri, seorang puteri yang kemudian dianugerahi nama nobatan Dewi Suhita.
- Anak bungsunya, seorang laki-laki yang dikenal sebagai Baginda di Tumapel, yang juga menyandang nama Sri Kerta Rajasa.
Baginda di Pandan Salas memiliki beberapa anak yang berperan penting dalam sejarah kerajaan:
- Baginda di Koripan, juga dikenal sebagai Baginda Hyang Prameswara, yang mendapatkan nama nobatan Aji Ratna Pangkaja. Ia menikah dengan Seri Ratu Prabu-stri, namun mereka tidak dikaruniai keturunan.
- Sang Ratu di Mataram, puteri pertama, yang menikah dengan Baginda Hyang Wisesa.
- Sang Ratu di Lasem, puteri kedua, yang menikah dengan Baginda di Tumapel.
- Sang Ratu di Matahun, puteri ketiga dari Baginda di Pandan Salas.
Baginda di Tumapel mempunyai anak laki laki, menjadi raja di Wengker, kawin dengan Seri ratu di Matahun, anak kedua menjadi raja di Paguhan, anak ketiga lahir dari isteri muda, perempuan, ialah : Seri Ratu di Jagaraga, kawin dengan Baginda Parameswara, tidak beranak, anak kelima, ialah: Sang ratu di Pajang, juga kawin dengan Baginda di Paguhan, jadi dibayuh sama sama saudara, tidak mempunyai anak.
- Baginda di Keling kawin dengan Seri ratu di Kembang Jenar.
- Anak laki laki Baginda di Wengker, ialah baginda di Kabalan.
- Baginda di Paguhan mempunyai anak dari isteri kelahiran golongan kesatriya, perempuan ialah: Sang ratu di Singapura, kawin dengan Baginda di Pandan Salas.
Seri ratu di Matahun wafat, dicandikan di Tiga Wangi, nama resmi candi itu Kusuma Pura.
Paduka Sori wafat.
Sang ratu di Pajang wafat, dicandikan di Embul, nama resmi candi Girindra Pura.
Baginda di Paguhan wafat, dicandikan di Lobencal, nama resmi candi Parwa Tiga Pura.
Baginda Hyang Wekasing Suka, wafat pada tahun saka: Bumi Rupa Ayah Ibu, atau 1311.
Setelah Baginda Hyang Wisesa dinobatkan menjadi raja, sebuah peristiwa besar terjadi, yakni letusan gunung pada minggu Prangbakat di tahun Saka 1317, yang dikenal dengan nama Muka Orang Tindakan Ular.
Kemudian, pada tahun Saka 1320, patih Gajah Enggon yang telah mengabdi selama 27 tahun wafat. Tahun tersebut dikenal sebagai Sunyi Sayap Tindakan Orang. Untuk menggantikan Gajah Enggon, Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah Manguri sebagai patih baru.
Tak lama setelah itu, Baginda Hyang Wekasing Suka wafat pada tahun Saka 1321, yang disebut dengan Orang Mata Api Bulan. Beliau wafat di Indra Bawana dan dicandikan di Tanjung dengan nama resmi candi Parama Suka Pura.
Pada tahun Saka 1322, yang dikenal sebagai Mata Sayap Api Bulan, Baginda Hyang Wisesa memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pendeta.
XII
Seri Ratu Batara Isteri dinobatkan sebagai raja, sementara beberapa peristiwa penting terjadi dalam masa pemerintahannya:Sang Ratu di Lasem wafat di Kawidyadaren, dan dicandikan di Pabangan dengan nama resmi candi Laksmi Pura.
Sang Ratu di Kahuripan wafat, diikuti oleh wafatnya Sang Ratu Gemuk di Lasem.
Baginda di Pandan Salas wafat dan dicandikan di Jinggan, dengan nama resmi candi Sri Wisnu Pura.
Pada tahun Saka 1323, terjadi konflik antara Baginda Hyang Wisesa dan Baginda Wirabumi. Keduanya saling diam dan enggan berbicara, yang berakhir dengan perpecahan. Tiga tahun kemudian, huru-hara kembali terjadi. Kedua belah pihak mengumpulkan pasukan mereka. Baginda di Tumapel dan Baginda Hyang Prameswara diminta hadir untuk memutuskan siapa yang harus mereka dukung, yang memicu Perang Malang.
Dalam konflik tersebut, Raden Gajah, yang bergelar Ratu Angabaya atau Baginda Narapati, mengejar Baginda Hyang Wisesa hingga di atas perahu. Baginda akhirnya dibunuh dan kepalanya dibawa ke Majapahit. Ia dicandikan di Lung, dengan nama candi resmi Gorisa, pada tahun Saka 1328 yang dikenal sebagai Ular Sifat Menggigit Bulan.
Empat tahun kemudian, Gajah Manguri wafat pada tahun Saka 1332, disebut sebagai Sayap Sifat Tindakan Orang. Gajah Lembaga kemudian diangkat menjadi patih selama 12 tahun, hingga peristiwa letusan gunung terjadi pada minggu Julung Pujut, tahun Saka 1343 yang dikenal sebagai Tindakan Kitab Suci Sifat Orang.
Gajah Lembana wafat pada tahun Saka 1335, atau Api Api Tindakan Bumi, dan kemudian Tuhan Kanaka menjadi patih selama 3 tahun. Selama masa tersebut, terjadi kelangkaan makanan yang sangat parah pada tahun Saka 1348, disebut sebagai Ular Jaman Menggigit Orang.
Baginda di Tumapel wafat pada tahun Saka 1349, dikenal dengan Sembilan Jaman Tindakan Orang, dan dicandikan di Lokerep dengan nama candi Asmarasaba. Baginda di Wengker juga wafat dan dicandikan di Sumengka.
XIII
Tuhan Kanaka wafat pada tahun Saka 1363, atau disebut sebagai Sayap Luka Sifat Orang, setelah menjabat sebagai patih selama 17 tahun. Pada periode tersebut, Seri Ratu di Lasem juga wafat di Jinggan, diikuti oleh wafatnya Baginda di Pandan Salas.
Pada tahun Saka 1355, terjadi sebuah peristiwa penting ketika Raden Jagulu dan Raden Gajah dihukum mati karena dianggap telah melakukan dosa besar, yakni memenggal kepala Baginda di Wirabumi. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai Unsur Memanah Telur Tunggal.
Seri Ratu di Daha kemudian dinobatkan sebagai raja pada tahun Saka 1359, disebut sebagai Sembilan Lima Api Bulan. Pada tahun yang sama, Baginda Parameswara wafat di Wisnu Bawana dan dicandikan di Singajaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka Ular Golongan Api Bulan.
Beberapa tahun kemudian, Baginda Keling juga wafat dan dicandikan di Apa Apa. Lalu, pada tahun Saka 1369, yang dikenal sebagai Sembilan Rasa Api Bulan, Seri Ratu Prabu-stri wafat dan dicandikan di Singajaya.
XIV
Lalu Baginda Tumapel mengganti menjadi raja.
Baginda di Paguhan melenyapkan orang orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit.
Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka: Sayap Golongan Menggigit Bulan, atau: 1372.
Baginda di Paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara.
Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri.
Baginda di Jagaraga wafat.
Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di Pajang Wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara.
Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu Kuningan, pada tahun saka: Belut Pendeta Menggigit Bulan, atau: 1373.
Baginda Prabu wafat pada tahun saka: Api Gunung Tindakan Ekor, atau: 1373, nama resmi candinya Kerta Wijaya Pura.
XV
Baginda di Pamotan dinobatkan sebagai raja di Pamotan, juga menjadi raja di Keling dan Kahuripan. Nama nobatannya adalah Sri Rajasawardana.
Kemudian, Sang Sinagara wafat dan dicandikan di Sepang pada tahun Saka 1375, yang dikenal sebagai Keinginan Kuda Menggigit Orang.
Peristiwa ini menandai salah satu momen penting dalam sejarah kekuasaan di wilayah tersebut, dengan pengaruh dari Pamotan hingga Keling dan Kahuripan.
XVI
Setelah wafatnya Sang Sinagara pada tahun Saka 1375, selama tiga tahun lamanya tidak ada raja yang memerintah. Kekosongan kekuasaan ini menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian di kerajaan, hingga akhirnya seorang raja baru dinobatkan untuk melanjutkan pemerintahan. Masa tanpa raja ini merupakan periode transisi yang signifikan dalam sejarah kerajaan tersebut.
XVII
Setelah tiga tahun tanpa raja, Baginda di Wengker dinobatkan sebagai raja dengan nama nobatannya Baginda Hyang Purwa Wisesa pada tahun Saka 1378, atau dikenal sebagai Pendeta Tujuh Api Menggigit Bulan.
Pada tahun Saka 1384, terjadi peristiwa gunung meletus dalam minggu Landep, yang dikenal dengan penanggalan Empat Ular Tiga Pohon.
Baginda di Daha wafat pada tahun Saka 1386, disebut sebagai Golongan Pendeta Api Tunggal.
Tak lama kemudian, Baginda Hyang Purwa Wisesa juga wafat pada tahun Saka 1388, atau Pendeta Ular Api Bulan, dan dicandikan di Puri. Setelah itu, Baginda di Jagaraga wafat, menandai akhir dari periode pemerintahan yang penuh dengan peristiwa alam dan perubahan politik.
XVIII
Dan kemudian menjadi Baginda Prabu dengan gelar Pendeta Ular Tindakan Tunggal. Masa pemerintahannya berlangsung selama dua tahun. Setelah itu, Baginda meninggalkan istana, meski alasan kepergiannya tidak dijelaskan secara rinci dalam catatan sejarah.
Sang Sinaraga, tokoh penting dari keluarga kerajaan, memiliki beberapa anak, yang semuanya berperan dalam berbagai wilayah:
- Baginda di Kahuripan
- Baginda di Mataram
- Baginda di Pamotan
- Baginda Kertabumi,
Tiga tahun kemudian, pada Saka 1403 (1475 masehi), terjadi peristiwa besar berupa gunung meletus pada minggu Watu Gunung, yang dikenal dengan sebutan Tindakan Angkasa Laut Ekor. Peristiwa alam ini memperparah keadaan di wilayah Majapahit dan memperlihatkan bagaimana bencana alam sering kali menandai masa-masa pergolakan dalam sejarah Majapahit.
------------------------------------------------------
Demikianlah kitab tentang para datu ini disusun. Penulisan kitab ini selesai di Itcasada, desa Sela Penek, pada tahun Saka 1535, yang dikenal dengan sebutan Keinginan Sifat Angin Orang. Pekerjaan ini diselesaikan pada hari Pahing, Sabtu, dalam minggu Warigadyan, tepatnya tanggal dua, di tengah bulan menghitam, bulan kedua.
Semoga kitab ini diterima dengan baik oleh pembaca. Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan, dan mungkin sulit untuk dinikmati. Kerusakan dalam teks ini merupakan hasil dari proses belajar yang baru dimulai.
Kami berharap agar umur panjang bagi pembaca dan penulis. Semoga semua ini mendatangkan keselamatan dan kebahagiaan.