Kitab Pararaton ( 5 )












Namun, di tengah keheningan malam, ketika sebagian besar orang tertidur, Raden Wijaya kembali melancarkan serangan mendadak, yang membuat pasukan Daha kocar-kacir. Banyak dari mereka terluka atau tewas akibat tombak dari teman sendiri dalam kekacauan tersebut.

Cerita kemudian beralih pada kedua putri Batara Siwa Buda, yang berniat dinikahkan dengan Raden Wijaya. Saat serangan terjadi, kedua putri tersebut ditawan oleh pasukan Daha, namun dalam kekacauan, mereka berpisah arah dalam upaya melarikan diri. Pada suatu malam, Raden Wijaya melihat nyala api unggun yang menandai keberadaan putri yang lebih tua. Dia segera menemukannya dan berencana melanjutkan serangan untuk menemukan sang adik, putri yang lebih muda.

Sora, salah satu pengikut setia Raden Wijaya, mencoba mengingatkan agar tidak terlalu memaksakan serangan lebih jauh. Dia memperingatkan bahwa meski menemukan putri yang lebih tua adalah hal baik, risiko terlalu besar untuk mencari yang lebih muda dalam keadaan kekuatan pasukan mereka yang terbatas. Sora mengibaratkan usaha itu seperti anai-anai yang menyentuh pelita, menandakan bahaya besar yang mungkin akan menghancurkan mereka.

Dialog antara Raden Wijaya dan Sora menunjukkan perbedaan pendekatan dalam strategi. Raden Wijaya yang bertekad untuk terus menyerang demi tujuan mulianya, sementara Sora mengedepankan kehati-hatian dan realisme terhadap situasi yang mereka hadapi.







Kisah ini menggambarkan kelanjutan perjalanan Raden Wijaya setelah menurut nasihat Sora untuk mundur dari pertempuran. Mereka keluar dari hutan dan tiba di sebuah desa bernama Pandakan, di mana mereka bertemu dengan orang tertua di sana, Macankuping. Raden Wijaya meminta kelapa muda, dan setelah meminum airnya, ia membelah kelapa tersebut. Ajaibnya, kelapa muda itu ternyata berisi nasi putih, yang membuat semua orang takjub karena hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.

Kejadian ajaib ini menjadi semacam pertanda yang menambah kekaguman dan penghormatan orang-orang kepada Raden Wijaya. Namun, di tengah perjalanan, salah satu pengikutnya, Gajah Pagon, tidak mampu berjalan lebih jauh. Raden Wijaya kemudian meminta bantuan kepada Macankuping untuk merawat Gajah Pagon yang kelelahan.

Macankuping menyadari bahwa menyembunyikan Gajah Pagon di tengah desa Pandakan mungkin akan menimbulkan masalah. Oleh karena itu, dia menawarkan solusi yang lebih bijak, yaitu membawa Gajah Pagon ke pondok di tengah hutan, di tempat yang sepi, jauh dari pandangan orang banyak. Di sana, Gajah Pagon akan dirawat dengan makanan yang dikirimkan setiap hari oleh penduduk Pandakan, tanpa ada yang mengetahui keberadaannya.

Kisah ini tidak hanya menunjukkan kebijaksanaan Raden Wijaya dalam mendengarkan nasihat pengikutnya, tetapi juga memperlihatkan kearifan lokal dalam menyelesaikan masalah secara tenang dan strategis, dengan bantuan tokoh masyarakat seperti Macankuping.

Kisah ini mengisahkan kelanjutan perjalanan Raden Wijaya dan perjuangannya setelah pertempuran dengan pasukan Daha. Setelah meninggalkan Gajah Pagon di Pandakan, Raden Wijaya melanjutkan perjalanannya menuju Datar pada malam hari. Di sana, ia dan rombongannya naik perahu untuk melintasi wilayah musuh.

Sementara itu, pasukan Daha kembali ke Daha bersama dengan putri muda, yang masih ditawan. Putri itu dipersembahkan kepada Raja Jaya Katong. Kabar tentang wafatnya Batara Siwa Buda membuat raja merasa senang, menunjukkan adanya hubungan konflik antara kerajaan Daha dan kekuatan yang mendukung Raden Wijaya.

Raden Wijaya menyeberang ke arah utara dan tiba di daerah perbatasan Sungeneb (Sumenep). Mereka beristirahat di tengah sawah yang baru saja dibersihkan. Sora, salah satu pengikut setia Raden Wijaya, bahkan berbaring meniarap untuk menjadi alas bagi Raden Wijaya dan putri bangsawan, menunjukkan loyalitasnya yang tinggi. Keesokan paginya, mereka melanjutkan perjalanan ke Sungeneb dan beristirahat di sebuah balai panjang.

Raden Wijaya mengirim pengikutnya untuk memeriksa keadaan di tempat Wiraraja, seorang adipati yang memiliki pengaruh besar di wilayah itu. Ketika pengikutnya melaporkan bahwa Wiraraja sedang dihadapkan oleh para hambanya, Raden Wijaya pun bergerak menuju tempat tersebut. Namun, ketika Wiraraja melihat kedatangan Raden Wijaya, ia terperanjat dan segera masuk ke dalam rumah, sementara para hambanya bubar.

Tindakan ini membuat Raden Wijaya merasa malu dan kecewa. Ia berkata kepada Sora dan Ranggalawe bahwa ia merasa lebih baik mati saat mengamuk dalam pertempuran sebelumnya daripada harus menghadapi rasa malu ini.

Namun, kemudian situasi berubah ketika Wiraraja, beserta seluruh keluarganya, termasuk istrinya, datang menemui Raden Wijaya di balai panjang. Mereka membawa sirih dan pinang sebagai tanda penghormatan. Ranggalawe menyadari bahwa Wiraraja sedang datang menghadap, yang membuat hati Raden Wijaya menjadi lebih tenang dan senang.

Istri Wiraraja mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya, sebagai tanda penerimaan dan penghormatan. Wiraraja kemudian meminta Raden Wijaya untuk masuk ke perumahan Adipati. Sang putri bangsawan naik kereta, sementara istri-istri Wiraraja mengiringinya dengan berjalan kaki. Wiraraja sendiri mengiringi Raden Wijaya, menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada tamunya ini.

Kisah ini menunjukkan pentingnya hubungan diplomatik dan dukungan dari tokoh berpengaruh seperti Wiraraja dalam upaya Raden Wijaya untuk membangun kekuatannya di tengah konflik yang terjadi. Wiraraja dan keluarganya tidak hanya memperlihatkan sikap hormat kepada Raden Wijaya, tetapi juga memberikan dukungan simbolis yang penting bagi perjuangan politik dan militer yang tengah berlangsung.

Kisah ini mengisahkan peristiwa penting dalam perjalanan Raden Wijaya, yang semakin memperkuat hubungan dengan Arya Wiraraja di Sungeneb. Setelah tiba di rumah Wiraraja, Raden Wijaya dijamu di balai luar dan mulai menceritakan bagaimana Batara Siwa Buda gugur di tengah perjamuan minuman keras dan bagaimana dirinya mengamuk terhadap pasukan Daha.

Wiraraja mendengarkan cerita Raden Wijaya dan kemudian bertanya tentang apa yang menjadi keinginan atau tujuan Raden Wijaya selanjutnya. Raden Wijaya dengan rendah hati meminta dukungan dan persekutuan dari Wiraraja, memohon belas kasihan agar Wiraraja bersedia membantunya. Wiraraja menenangkan Raden Wijaya dan menyarankan agar bertindak dengan hati-hati, tidak terburu-buru dalam langkah selanjutnya.

Sebagai tanda dukungannya, Wiraraja mempersembahkan berbagai hadiah kepada Raden Wijaya, termasuk kain, sabuk, dan kain bawah, yang semuanya dibawa oleh istri-istri Wiraraja, terutama istri pertamanya. Raden Wijaya pun mengungkapkan rasa terima kasihnya dan berjanji bahwa jika tujuannya berhasil tercapai dan dia berhasil menjadi raja, dia akan membagi tanah Jawa menjadi dua. Satu bagian akan dinikmati oleh Wiraraja, dan satu bagian lainnya oleh Raden Wijaya sendiri.

Wiraraja dengan rendah hati menyambut janji tersebut dan mengatakan bahwa baginya, yang terpenting adalah Raden Wijaya bisa menjadi raja. Hubungan antara keduanya semakin erat, dan Wiraraja pun memberikan pelayanan luar biasa kepada Raden Wijaya. Setiap hari, makanan dan minuman dipersembahkan untuknya, termasuk minuman keras, sebagai bentuk penghormatan dan dukungan.

Setelah Raden Wijaya tinggal di Sungeneb untuk waktu yang cukup lama, Wiraraja memberikan sebuah strategi yang cerdik. Dia menyarankan agar Raden Wijaya pergi menghamba kepada Raja Jaya Katong, penguasa Daha, seolah-olah meminta maaf dan bersikap tunduk. Dengan cara ini, jika Raja Jaya Katong menerima permintaan maaf tersebut, Raden Wijaya bisa pindah ke Daha dan tinggal di sana.

Jika Raja Jaya Katong sudah mempercayainya, Raden Wijaya diminta untuk memohon wilayah hutan Terik dari raja. Setelah mendapatkan izin, dia bisa membangun sebuah desa di wilayah tersebut, yang akan ditebang oleh para hamba dari Madura. Dengan begitu, Raden Wijaya akan memiliki basis kekuatan dekat dengan Daha, sementara para hamba Madura yang setia kepadanya akan membantu membangun dan memperkuat posisinya.

Strategi ini menunjukkan kebijaksanaan dan kecerdikan Wiraraja dalam membimbing Raden Wijaya untuk mendapatkan kembali kekuatannya melalui pendekatan diplomasi yang halus, sambil merencanakan langkah jangka panjang untuk membangun kekuatan di tanah Jawa.

Kisah ini melanjutkan taktik yang disusun oleh Arya Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya dalam perjuangannya melawan Daha dan membangun kekuatan di tanah Jawa. Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya menghamba kepada Raja Jaya Katong sebagai langkah awal untuk menyusup ke dalam istana Daha. Tujuan utamanya adalah untuk mengamati dengan cermat orang-orang di sekitar raja, termasuk menilai kesetiaan, keberanian, kepandaian, dan sifat-sifat mereka, terutama Kebo Mundarang, seorang tokoh penting di pihak Daha.

Setelah mempelajari kekuatan dan kelemahan pasukan Daha, Raden Wijaya diminta untuk memohon pindah ke hutan orang Terik yang sudah dibangun menjadi desa oleh hamba-hamba dari Madura. Hal ini penting karena desa tersebut akan menjadi basis kekuatan baru bagi Raden Wijaya. Selain itu, jika ada hamba-hamba dari Tumapel (kekuatan lama Raden Wijaya) yang ingin kembali melayani Raden Wijaya, mereka harus diterima. Begitu juga dengan hamba-hamba dari Daha yang mungkin mencari perlindungan kepada Raden Wijaya. Dengan langkah ini, Raden Wijaya akan memiliki kekuatan yang lebih besar, dan pada akhirnya bisa menguasai pasukan Daha.

Wiraraja kemudian mengirimkan surat kepada Raja Jaya Katong di Daha. Isi suratnya menginformasikan bahwa Raden Wijaya, yang disebut sebagai cucu baginda, meminta ampun dan ingin tunduk kepada raja. Raja Jaya Katong menerima surat itu dengan senang hati dan menyatakan bahwa ia tidak keberatan jika Raden Wijaya ingin menghamba kepadanya.

Setelah mendapat jawaban dari Raja Jaya Katong, utusan Wiraraja kembali dan menyampaikan kabar baik tersebut kepada Raden Wijaya dan Wiraraja. Wiraraja sangat senang mendengar kabar ini, karena berarti rencana mereka berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Raden Wijaya pun kembali ke Pulau Jawa, diiringi oleh para hambanya serta orang-orang Madura yang setia kepadanya. Wiraraja sendiri mengantarkan Raden Wijaya sampai di Terung, sebuah titik perhentian penting sebelum Raden Wijaya melanjutkan misinya.

Cerita ini menunjukkan bagaimana kecerdikan diplomasi yang direncanakan oleh Wiraraja berfungsi untuk menyusup ke dalam musuh, sembari secara bertahap membangun kekuatan sendiri. Rencana ini tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga strategi politik dan diplomasi yang matang untuk merebut kekuasaan secara perlahan namun pasti.

Setelah Raden Wijaya tiba di Daha, ia diterima dengan hangat oleh Raja Jaya Katong dan hidup dalam keadaan tenteram, mendapatkan kasih sayang dari raja. Ketibaannya di Daha bertepatan dengan perayaan Hari Raya Galungan, sebuah momen yang penuh kegiatan. Raja Jaya Katong bahkan meminta hamba-hamba Raden Wijaya untuk ikut dalam pertandingan yang diadakan sebagai bagian dari perayaan tersebut.

Hamba-hamba Raden Wijaya, termasuk Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang, dan Dangdi, langsung terlibat dalam pertandingan di Manguntur, salah satu arena utama di Daha. Kehebatan mereka dalam pertandingan lari membuat para menteri dan perwira Daha, seperti Panglet, Mahisa Rubuh, dan Patih Kebo Mundarang, kalah cepat. Hal ini membuat para menteri Daha heran dan takjub melihat kemampuan mereka.

Kemudian, Raja Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk-menusuk yang melibatkan menteri-menteri Daha dan Raden Wijaya. Raden Wijaya dengan tangkas mengikuti pertandingan, diiringi sorak-sorai para penonton. Dalam pertandingan tersebut, para menteri Daha sering kali kalah, bahkan harus mundur menghadapi keahlian Raden Wijaya dan pengikut-pengikutnya. Sora dan Rangga Lawe secara khusus berhasil mengalahkan menteri-menteri utama Daha, termasuk Kebo Mundarang.

Setelah pertandingan tersebut, Raden Wijaya menyadari kelemahan pasukan dan menteri-menteri Daha. Ia segera mengirim surat kepada Arya Wiraraja untuk mengabarkan keadaan ini. Menindaklanjuti saran Wiraraja, Raden Wijaya kemudian memohon kepada Raja Jaya Katong untuk diberikan hutan orang Terik sebagai tempat tinggal. Raja Jaya Katong dengan senang hati mengabulkan permintaan tersebut.

Setelah mendapatkan izin, desa mulai didirikan di hutan orang Terik oleh hamba-hamba Raden Wijaya yang berasal dari Madura. Dalam proses penebangan hutan, salah satu pekerja merasa lapar karena kurang bekal, dan memakan buah maja yang tumbuh di sana. Namun, buah maja tersebut terasa sangat pahit, sehingga buah itu dibuang. Peristiwa ini membuat tempat tersebut dikenal dengan nama "Majapahit," yang berasal dari pengalaman memakan buah maja yang pahit.

Dengan berdirinya desa Majapahit, Raden Wijaya terus memperhatikan situasi di Daha dan mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya. Desa Majapahit kini menjadi tempat penting, di mana orang-orang Wiraraja yang berhubungan dengan Daha sering beristirahat di sana.

Setelah semuanya siap, Wiraraja mengirim pesan kepada Raden Wijaya untuk mulai memikirkan cara yang tepat untuk memohon diri dari Raja Jaya Katong. Strategi ini merupakan langkah selanjutnya dalam rencana besar untuk membangun kekuatan dan meraih kekuasaan di tanah Jawa.

Setelah Raden Wijaya berhasil memperoleh izin dari Raja Jaya Katong untuk pindah ke Majapahit, raja Daha ini tidak menyadari adanya ancaman yang terselubung. Karena kecintaan dan kepercayaan yang sudah dibangun oleh Raden Wijaya, Raja Jaya Katong lengah, tidak menyadari bahwa Raden Wijaya sedang menjalankan rencana strategisnya untuk memperkuat diri.

Setibanya di Majapahit, Raden Wijaya segera memberi tahu Arya Wiraraja bahwa ia sudah berhasil menguasai menteri-menteri Daha dan hamba-hamba mereka dengan cara yang cerdik. Raden Wijaya pun mengajak Wiraraja untuk segera menyerang Daha. Namun, Wiraraja, yang dikenal bijak dan penuh muslihat, menyarankan agar tidak tergesa-gesa.

Wiraraja memberikan nasihat melalui utusannya kepada Raden Wijaya, menjelaskan rencana lebih besar yang melibatkan kekuatan luar, yaitu kerajaan Tatar (Mongol). Ia mengatakan bahwa ia berencana menipu Raja Tatar dengan menawarkan persekutuan, termasuk janji untuk memberikan puteri bangsawan sebagai bagian dari aliansi. Dalam pesannya, Wiraraja meminta utusan itu kembali ke Majapahit dan menyampaikan kepada Raden Wijaya bahwa rencana tersebut bertujuan untuk membuat Raja Tatar tertarik untuk ikut menyerang Daha.

Wiraraja menjelaskan kepada utusannya bahwa jika raja Tatar bersedia membantu dalam penaklukan Daha, maka seluruh pulau Jawa akan berada dalam genggaman Raden Wijaya. Dengan cara ini, Wiraraja akan menipu Raja Tatar untuk membantu mereka memenangkan pertempuran melawan Daha, meskipun pada akhirnya kekuatan utama tetap di tangan Raden Wijaya dan sekutunya.

Setelah mendengar pesan tersebut, Raden Wijaya merasa sangat senang dan yakin bahwa rencana yang diusulkan oleh Wiraraja akan berhasil. Beberapa waktu kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke kerajaan Tatar, membawa pesan tersebut untuk menjalin aliansi. Selain itu, Wiraraja juga memutuskan untuk pindah ke Majapahit, membawa seluruh keluarganya serta pasukan dari Madura, yang terdiri dari prajurit-prajurit terlatih dan bersenjata lengkap.

Dengan demikian, kekuatan Majapahit semakin kuat dan siap untuk menghadapi Daha, sementara rencana untuk melibatkan kekuatan luar seperti kerajaan Tatar sedang berjalan. Strategi ini menunjukkan kecerdikan politik Wiraraja dan kemampuan Raden Wijaya dalam membangun kekuatan untuk menguasai Jawa.

Setelah utusan dari Tatar datang dan merestui rencana serangan, tentara Tatar bersiap untuk menyerang Daha. Pasukan Tatar bergerak dari utara, sementara tentara Madura dan Majapahit bergerak dari timur. Dengan demikian, Raja Jaya Katong menjadi bingung, tidak tahu arah mana yang harus dijaga.



Di sisi lain, Raja Jaya Katong, yang terlibat dalam pertempuran di utara, akhirnya berhasil ditangkap oleh tentara Tatar. Dalam situasi yang membingungkan ini, Raden Wijaya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memasuki istana Daha dan melarikan puteri bangsawan yang muda, membawanya ke Majapahit. Setibanya di Majapahit, situasi semakin rumit ketika orang-orang Tatar datang meminta puteri-puteri bangsawan sebagai bagian dari kesepakatan yang dibuat oleh Wiraraja.

Para menteri Majapahit berada dalam keadaan panik, berusaha mencari cara untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam suasana tegang itu, Sora, salah satu prajurit terkemuka dan berani, menawarkan diri untuk menyerang orang-orang Tatar jika mereka datang untuk meminta puteri-puteri tersebut. Ia merasa bahwa tindakan tegas harus diambil untuk melindungi kehormatan Majapahit.

Namun, Arya Wiraraja memiliki rencana lain dan meminta agar Sora tidak terburu-buru. Wiraraja menyarankan pendekatan yang lebih strategis, dengan alasan bahwa tindakan sembarangan dapat berisiko memperburuk keadaan. Ia mengusulkan untuk menunda penyerahan puteri-puteri bangsawan tersebut hingga situasi lebih kondusif dan mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada.

Wiraraja menjelaskan kepada para menteri bahwa mereka perlu melakukan musyawarah untuk mencari solusi yang bijaksana, mengingat keputusan yang diambil saat itu bisa berdampak besar pada masa depan Majapahit. Dengan kebijaksanaan Wiraraja, mereka merancang sebuah rencana untuk memperdaya tentara Tatar, memastikan bahwa puteri-puteri bangsawan tidak jatuh ke tangan musuh tanpa perjuangan yang maksimal.

Pada sore hari, saat matahari mulai condong ke barat, orang-orang Tatar datang untuk menuntut puteri-puteri bangsawan. Dengan kecerdikan yang luar biasa, Wiraraja menjelaskan kepada mereka bahwa puteri-puteri tersebut sedang dalam keadaan sedih akibat kekalahan, dan akan diserahkan keesokan harinya dalam kotak yang dihias dengan indah. Ia menambahkan bahwa hal ini dilakukan untuk menghindari puteri-puteri itu melihat senjata tajam yang dapat membuat mereka panik dan melompat ke dalam air.

Orang-orang Tatar terpengaruh oleh penjelasan Wiraraja dan percaya pada tipu daya tersebut. Mereka menganggap rencana ini sebagai langkah yang bijaksana, dan datang tanpa membawa senjata tajam pada saat waktu penyerahan tiba. Ketika mereka memasuki pintu Bayangkara, yang telah disiapkan sebelumnya, pintu itu segera ditutup dan dikunci dari luar.

Sora, yang telah bersiap untuk momen ini, langsung menyerang orang-orang Tatar yang tidak siap itu. Dalam sekejap, ia meluncurkan serangan yang mengejutkan, membunuh mereka semua tanpa ampun. Ranggalawe dan pasukan Majapahit lainnya turut ambil bagian dalam serangan balasan tersebut, mengejar sisa-sisa pasukan Tatar yang berusaha melarikan diri.

Kemenangan ini tidak hanya menyelamatkan kehormatan Majapahit, tetapi juga memperkuat posisi Raden Wijaya dan para pendukungnya. Mereka berhasil mempertahankan puteri-puteri bangsawan dan menunjukkan bahwa meskipun dalam keadaan terdesak, kecerdikan dan keberanian dapat mengubah jalannya pertempuran.

Ranggalawe pun ikut serta, memburu sisa-sisa tentara Tatar yang melarikan diri. Dalam waktu sekitar sepuluh hari, pasukan yang dipimpin oleh Raden Wijaya kembali dari perang membawa dua orang puteri. Salah satunya, Raden Dara Pethak, kemudian dinikahi oleh Raden Wijaya, sedangkan yang lebih tua, Dara Jingga, menikah dengan seorang Dewa dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhan Janaka, yang kemudian dikenal sebagai Raja Mantrolot.

Kedua pernikahan ini tidak hanya memperkuat hubungan Raden Wijaya dengan para bangsawan, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan dan stabilitas Majapahit di masa depan. Dengan dukungan dari para istri dan keluarga baru, Raden Wijaya semakin mantap memimpin dan membangun kerajaannya, menjadikan Majapahit sebagai kekuatan yang berpengaruh di tanah Jawa dan sekitarnya.

Peristiwa ini menandai awal dari perjalanan sejarah Majapahit yang gemilang, di mana keberanian dan kebijaksanaan Raden Wijaya terus dikenang dan dijadikan teladan bagi generasi selanjutnya.

Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka 1197, bersamaan dengan peristiwa yang terjadi di Malayu dan Tumapel. Sementara itu, Raja Jaya Katong naik tahta di Daha pada tahun Saka 1198. Setelah beberapa waktu, Jaya Katong, saat berada di Junggaluh, mengarang kidung berjudul Wukir Polaman sebelum akhirnya wafat.

   terdiri 32 halaman ditulis sebanyak 1126 baris   .

 1    2    3     4     5     6     7    Next

 



ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo