Prasasti Ngajum - Malang Selatan
Ditulis oleh : Agung Cahyo Wibowo
Dusun Kemuning, Desa Kranggan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim) telah diketemukan oleh warga Ngajum berupa BATU PRASASTI, benda purbakala yang peninggalan Kerajaan Tumapel, karena prasasti TERTULIS 1178 saka (1256 masehi) walaupun tidak terbaca dengan jelas dan juga terdapat Lingga yang pas dengan Yoni nya, info tahun tersebut penulis dapatkan dari keterangan buku catatan laporan hasil investigasi perekonomia desa diwilayah Residen Pasuruan, cetakan tahun 1908 (bukunya penulis koleksi),
Ini terlihat dari
Prasasti itu terbuat dari batu andesit berbentuk segi empat. Panjangnya sekitar 137 cm x lebar 76 cm/lebar bawah 56 cm x ketebalan batu sekitar 25 cm.
Di bagian atas batu itu terlihat tulisan berhuruf Jawa Kuno yang terpahat melingkar, sehingga bisa dibaca dari berbagai sisi: depan, samping, dan belakang. Batu tersebut sengaja diletakkan di atas sebuah gundukan tanah setinggi lutut orang dewasa. Menariknya, bentuk huruf di prasasti ini tidak sama dengan huruf yang dipakai pada masa Kerajaan Singhasari ketika Raja Kertanegara berkuasa.
Merujuk pada Nagarakretagama pupuh 76 bait 3, tercatat bahwa pada masa Majapahit terdapat sejumlah desa perdikan yang tersebar di wilayah kerajaan, termasuk di sekitar Singhasari hingga lereng timur Gunung Kawi. Di antara desa-desa tersebut disebutkan nama Jenar (yang berarti "kuning"). Toponim ini kemudian mengalami transformasi menjadi sebutan Kemuning, yang hingga kini dikenal sebagai nama sebuah dusun.
Batu yang dikenal dengan sebutan Sunggingan merupakan peninggalan beraksara Hindu-Jawa yang telah lama berada di Padepokan Kemuning. Hingga kini, arti dari tulisan yang tertera pada batu tersebut belum dipahami secara pasti, sebab bukan seluruhnya menggunakan bentuk aksara Jawa sebagaimana umumnya dikenal. Menurut penuturan Mbah Tamun, tokoh setempat, sebagian orang yang memahami aksara kuno tersebut hanya menyebut bahwa tulisan-tulisan itu berupa rangkaian “kata sandi” atau kode tertentu yang tidak mudah dimaknai secara langsung.
Pada tahun awal tahun 1993 dikeluarkanya PP No. 10, tentang BendaCagar Budaya, dalam pasal 2 : Perlindungan bendacagar budaya dan Situs. berdasarkan UU No. 5 tahun 1992.
Pada awal tahun 1993 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 mengenai Benda Cagar Budaya. Dalam Pasal 2, ditegaskan bahwa perlindungan terhadap benda cagar budaya maupun situs merupakan kewajiban negara untuk menjaga kelestarian warisan sejarah dan kebudayaan bangsa.
Pentingnya ketetapan aturan ini terletak pada beberapa aspek, yaitu:
- Perlindungan Hukum, PP ini memberikan landasan hukum yang jelas agar benda cagar budaya tidak hilang, rusak, dipindahtangankan, atau disalahgunakan. Dengan adanya aturan, setiap pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum.
- Pelestarian Identitas Bangsa, benda cagar budaya merupakan bukti nyata perjalanan sejarah dan peradaban. Perlindungan hukum memastikan warisan tersebut tetap terjaga sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.
- Kepentingan Ilmu Pengetahuan, banyak benda cagar budaya yang memiliki nilai akademik tinggi. Dengan adanya perlindungan, para peneliti dapat mempelajari aspek sejarah, sosial, maupun kebudayaan dari peninggalan tersebut.
- Manfaat Sosial-Ekonomi, perlindungan terhadap situs dan benda cagar budaya juga mendukung pengembangan pariwisata budaya. Hal ini memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar tanpa mengorbankan nilai historis dari warisan tersebut.
Lingga - Yoni dan Bata Besar
Disebelah prasasti Kranggan tersebut terdapat sebuah lingga dan yoni, diduga bangunan suci yang berhubungan dengan tempat tersebut adalah bangunan suci agama Hindu.
Ukuran Yoni: tinggi 36 cm, panjang 50 cm, lebar 50 cm.
Yoni yang disemen berbentuk segi empat, pecahan hiasan candi di atas yoni & tebaran fragmen batu bata merah besar menandakan pernah berdiri bekas candi Hindu beraliran Sekte Siwa Siddhanta di area ini
Patung Nandi
Keberadaan patung Nandi—yang berukuran cukup besar—saat ini berada di area hutan dan dalam kondisi terhimpit akar-akar pohon beringin. Berdasarkan pengamatan lapangan, sebagian besar tubuh patung sudah tidak tampak jelas, bahkan yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Jika tidak segera dilakukan pemeliharaan dan pembersihan, maka dalam waktu dekat patung ini berpotensi tertutup sepenuhnya oleh akar pohon maupun timbunan sampah. Oleh karena itu, upaya perlindungan dan perawatan perlu segera dilakukan agar peninggalan bersejarah ini tidak hilang dari pandangan serta tetap dapat dipelajari dan dimaknai sebagai bagian penting dari warisan budaya.
Makam Sekar Tunjungsari
Makam Sekar Tunjungsari diyakini sebagai tempat peristirahatan seorang tokoh kepercayaan dari Kesultanan Mataram-Solo. Berdasarkan tradisi setempat, tokoh tersebut memilih untuk mengasingkan diri dan melakukan tirakat di wilayah ini, hingga akhirnya wafat dan dimakamkan di tempat yang kini dikenal sebagai Makam Sekar Tunjungsari..
Kembang Jenar
Penulis telah melihat langsung tentang Kembang Jenar yang usianya sudah ratusan tahun, yang letaknya tidak jauh dari Prasasti tersebut, dan menurut bapak Topo juga ada Lesung batu yang terletah di kebun tebu.
Sumber Air.
Keberadaan sumber air terletak di sebelah barat, di luar kawasan hutan. Pada saat penulis melakukan pengamatan, kebetulan di musim kemarau, sumber tersebut tampak tidak terawat dan sulit dikenali karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan. Ketika dilakukan pembersihan bersama seorang warga dari Desa Pakis Tunpang, diperoleh keterangan bahwa dahulu sumber ini memiliki debit air yang besar. Namun kini aliran airnya tinggal sekitar sekitar 2 dim saja. Kondisi ini diduga disebabkan oleh penebangan pohon di area perbukitan di atasnya, yang kemudian dialihfungsikan menjadi lahan tanaman tebu.
Litertasi
Menurut sejarahwan yang bernama Bosch telah berusaha membaca prasasti Kranggan, karena keadaanya sudah usang sehingga sulit diketahui isinya dengan jelas, yang bisa terbaca hanya Hanya angka tahunn, yaitu 1178 Saka (1256 M). Jika dicermati lebih lanjut, tahun tersebut bertepatan dengan pemerintahan raja Wisnuwardhana dari kerajaan Singasari. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh rajamuda (Yuwaraja/Kumararaja) Kertanegara (anaknya).
Situs sejarah itu dikelilingi pohon besar dan banyak dijumpai batu bata merah berukuran besar lengkap dengan ukiran di bagian tengah dan sampingnya. Warga setempat menyebut tempat itu sebagai Pepunden Kemuning dan difungsikan untuk ritual bersih desa dan katanya telah dikunjungi oleh Sejarawan Universitas Negeri Malang .
Situs sejarah itu dikelilingi pohon besar dan banyak dijumpai batu bata merah berukuran besar lengkap dengan ukiran di bagian tengah dan sampingnya. Warga setempat menyebut tempat itu sebagai Pepunden Kemuning dan difungsikan untuk ritual bersih desa dan katanya telah dikunjungi oleh Sejarawan Universitas Negeri Malang .
Tempat Peribadatan
Pada saat penulis pulang dari mengunjungi situs Kemuning, sempat berhenti dipinggir jalan untuk memfoto Pure di desa Kranggan yang ukurannya berkisar lebar 17 m x panjang 20 m
Pada saat penulis pulang dari mengunjungi situs Kemuning, sempat berhenti dipinggir jalan untuk memfoto Pure di desa Kranggan yang ukurannya berkisar lebar 17 m x panjang 20 m

