AGRESI BELANDA DI MALANG

oleh : Agung Cahyo Wibowo    

Pertahanan Malang Raya
saat ada Status quo


Latar Belakang
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom oleh Amerika serikat di kota Nagasaki dan Hirosima. Disusul pada tanggal 17 Agustus 1945  Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia  yang dipelopori oleh Soekarno dan Hatta.

Pada Tanggal 23 Juli 1947   Belanda menyerang Surabaya, diteruskan menuju ke  Kabupaten Malang, masuk dimulai dari Lawang – Singosari – Blimbing, dan di Desa Arjosari terjadi perlawanan dari Tentara Republik. Pada peristiwa ini dari pihak tentara Belanda banyak yang mati dan terluka.

Pada hari  berikutnya Belanda meneruskan serangan ke pasar  Blimbing. Pada tanggal 31 Juli 1947 Belanda berhasil  Masuk Kota Malang dan TNI mengalami kesulitan dalam pertahanan – posisi TNI  banyak menduduki desa-desa kecil di sekitar Kota dan dapat bantuan dari patroli 3-5 RI dari Pacet di Gunung Arjuno (warta Paguyupan Setia kawan, hal 62 – 67),  
 
Pada 31 Juli 1947 sekitar pukul 03.00. Tentara Belanda melakukan penyerangan yang sangat hebat di Kota Malang sampai akhirnya daerah Malang yang sebelumnya kota merdeka, kembali di duduki tentara Belanda dan di klaim sebagai negara jajahannya, karena Kota Malang harus dikuasai lebih dulu dengan cara "PEMBUMI HANGUSAN". 
Peristiwa ini dikenal dengan nama " aksi militer atau Crash I ".
 
Akhirnya Balai Kota Malang yang telah hancur, maka pemerintahan kota dipindah sementara ke Palace Hotel "Hotel Pelangi". Selanjutnya pegawai dibagi menjadi dua golongan :
1. golongan yang berjuang luar kota,
2. golongan yang berjuang di dalam kota.

Setelah dirasa kondisi sangat tidak memungkinkan, maka sebagian besar kekuatan tentara  pindah  ke Sumberpucung dan Gondanglegi. Pemerintahan kota akhirnya juga dipindah di Bantur sampai terjadi Clash II pada 1948.

Hamid Roesdi adalah salah satu memimpin pasukan TNI dan TRIP yang mempertahankan Kota Malang dari Tentara Belanda.Ketika Kota Malang tidak dapat dipertahankan lagi, beliau membuat pertahanan di Bululawang dan menyusun strategi merebut Malang kembali. pada tanggal 8 Maret 1949. Hamid Roesdi meninggal dunia pada saat perang.
 
Karena kota Malang telah dikuasai oleh Belanda maka kekuatan berpindah ke Malang Selatan,



Saksi Hidup Clash 
di Kepanjen

Setelah Kemerdekaan RI saat itu daerah Kepanjen masih belum menjadi kota Kecamatan, melainkan masih menjadi wilayah “Onder Distrik Sengguruh”. Dengan Kehancuran Bangunan yang ada di Kota Malang akhirnya kepemerintah kota Malang dipindah ke Bantur Pagak dan semua kekuatan tentara Malang di pusatkan di Distrik Sengguruh (Kepanjen).

Pada masa sebelum Clash II  kota Malang  terbagi menjadi dua yaitu
  1. Daerah kekuasaan Belanda (Surabaya, kota Malang, Batu sampai Pakisaji)
  2. Daerah kekuasaan Republik (Pakisaji, Bululawang, Kepanjen sampai Blitar). Batas kekuasaan ini disebut "garis Line Thermagation" atau "status Quo " batas daerah berada di selatan sungai Bendo–Pakesaji sampai gunung kawi, Sedangkan Pusat pertahanan Malang berada di kantor distrik Kepanjen terletak di barat perempatan (sekarang Ruko Perempatan). Perang gerilya dalam melawan Belanda di Kepanjen dilakukan oleh TNI, Trip dan bersama rakyat/Hisbullah.
Saksi Satu :
Nama  : Kapten Marsum (alm),
Alamat : Jl. Banuredjo Kepanjen
Status : Pejuan dari TNI,
Pangkat Pensiun : Kapten PM 


Setelah Belanda bisa mengusai kota Malang, maka menyerang ke daerah Selatan. Saat itu Bapak Marsum adalah Pimpinan TNI yang ditugaskan di distrik Sumberpucung.

Pada tahun 1948 bersamaan dengan desakan serangan Belanda dari arah Malang, bersama dengan peristiwa PKI di Madiun 48, betapa sulitnya keadaan TNI saat itu di daerah Malang selatan. TNI melakukan pencegatan PKI yang lari dari arah Blitar dihadang TNI di daerah Karangkates dan saat itu bersamaan dengan penyerangan Belanda kepada pejuang Republik, akhirnya TNI berlari dan bertahan di Sebelah Barat Gunung Kawi.
Daerah Timur Gunung Kawi tepatnya lereng gunung Katu desa Kemuning, Kesamben, kranggan Pernah di Bom Bardir oleh Tentara Belanda. 


Saksi Dua
Nama :  Jamil Supardi (alm), masih keluarga dekat.
Alamat : Jl. Efendi Kepanjen
Status : Tentara Rakyat
Pangkat Pensiun : Kapten PM

Setelah kekalahan perang di Kota Malang usai, TNI banyak bertahan di desa pinggiran kota dan di pegunungan Gunung Kawi, daalam persembunyiannya melakukan perlawanan dengan Belanda dengan cara gerilya.
Persembunyian saat itu di daerah pegunungan Batu berjalan ke Gunung Kawi dilanjutkan ke Blitar. Dan sebelum ke Belitar sempat berkunjung untuk bertemu keluarganya yang berada di desa Senggreng Ngebruk. 
Bapak Jamil Supardi bercerita saat di perjalan kalau lapar, dia makan daun-daunan, sedangkan untuk menenk nasi di masak di dalam "Topi Wojo" difungsikan sebagai Panci atau makan buah buahan yang ditemui di perjalanan.
Sebagian Tentara Republik ada yang kembali menjadi rakyat biasa dan Banyak yang tetap ikut berjuang melawan penjajah, walaupun tanpa gaji.

Saksi Ketiga
Nama   : Badrun
Alamat : Bendo Karangpandan-Pakisaji
Status :  Pejuang TNI - Zeni
Pada saat 10 november 1945, Beliau sebagai tukang Perakit dan Pemasang Bom, setelah adanya perundingan dan adanya Perdamaian di tahun 1948, maka tugasnya sebagai tentara bertambah, yaitu sebagai pencuri senjata, peluru dan pakaian milik Belanda. sambil menunggu Tugas Pokok, dan sempat sebagai mata-mata Republik untuk pemantauan keadaan Pabrik Gula Krebet.
Pada saat itu Belanda melakukan penyisiran untuk mencari pejuang republik, tapi pejuang sudah bersembunyi di hutan-hutan.
 

Saksi Keempat
Nama   : Matasim (masih keluarga dekat) 
Alamat : Jl. Welirangi
Status :  Pejuang TNI

Pak Dhe Matasim sasaat itu sedang berada dirumah keluarga Jl. Welirang Kepanjen, bertepatan dengan adanya penggeledahan oleh Belanda, secara spontan Pak dhe Matasim langsung lari untuk menyelamatkan diri dari penangkapan Belada, dengan di kejar-kejar akhirnya lari kearah selatan terus masuk sungai Molek, Alhamdullah Pak dhe selamat walaupun kakinya tertembak.

Sedangkan Rakyat sendiri mengungsi ke daerah selatan (Tumpang, Wajak, Turen, Gondanglegi, Pakisaji, Kepanjen sampai Blitar) dan daerah barat (Batu, Pujon, dan Ngantang) sampai penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Pada tahun 1949 Belanda menyerah dan kedaulatan Malang Raya kembali ke Republik  Indonesia. Sedangkan Penanda tanganan perjanjian penyerahan daerah Malang dilaksanakan di Kantor distrik Sengguruh, dari pihak Republik di wakili oleh lettu Alap-alap. (dokumen Foto kami temukan berada di musium Malang dan Fotografer Pak de Siren Fotograf TNI  yang
masih keluarga dekat)

Sebagai rasa syukur masyarakat Kepanjen mengadakan berjalan long mars untuk menuju kota Malang, Jalan Utama Kepanjen, sebagai bekas tapak tilas Tentara Republik beserta Rakyat jelata berjalan bersama-sama untuk menuju kota Malang,jalan poros utama ini akhirnya lebih dikenal dengan nama jalan Raya Pahlawan Kepanjen, pada saat Kepanjen


 telah Menjadi Ibu Kota Kabupaten Malang, nama jalan ini diganti nama menjadi Jl. Raya
Ahmad Yani Kepanjen.
Pendapat umum dari para saksi
Untuk melawan Belanda teknik Gerilya yang dilakukan oleh Tentara Republik, terutama di daerah pegunungan. alasannya karena Belanda kurang menguasai medan dan sulit ditempuh Tank dan Truk, misalnya didaerah Dampit - Lumajang.

Renungan :
Kalau kita dengar cerita perjuangan rakyat Malang yang begituh gigih dan dan tanpa pamrih, kami sebagai generasi muda, merasa "B a n g g a" dengan Perjuangannya dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

 
Apakah sekarang  kita sudah berjuang seperti beliau...?
Apakah kita bisa mengisi Kemerdekaan dengan semangat Tinggi tanpa Pamrih...?
Apakah kita bisa menjadi penerus bangsa yang tidak materialis / Kapitalis....? 
Bagai mana dengan kita....? 


ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo