Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, yang menyebabkan kehancuran besar dan korban jiwa yang sangat banyak. Serangan ini memaksa Jepang untuk menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, menandai berakhirnya Perang Dunia II.
Hanya tiga hari setelah penyerahan Jepang, pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memanfaatkan momentum tersebut untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan oleh Soekarno, yang didampingi oleh Mohammad Hatta, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Peristiwa ini menandai awal dari perjuangan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya dari upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.
Tanggal 17 Agustus 1945
Kemudian ditetapkan sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia, yang hingga kini diperingati setiap tahunnya sebagai hari besar nasional. Peristiwa yang Anda sebutkan adalah bagian dari agresi militer Belanda yang dikenal sebagai "Agresi Militer Belanda I" yang dimulai
Serangan ini dilakukan pada pukul 03.00 pagi dan ditandai dengan kekuatan penuh dari tentara Belanda. Kota Malang, yang sebelumnya merupakan kota merdeka, kembali diduduki oleh Belanda yang mengklaim kota ini sebagai bagian dari wilayah kolonialnya. Pendudukan ini dilakukan dengan strategi yang dikenal sebagai "pembumi hangusan," yang berarti Belanda menghancurkan infrastruktur penting dan bangunan kota untuk menguasai wilayah tersebut sepenuhnya.
Akibat serangan ini, Balai Kota Malang hancur, dan pemerintahan kota dipindahkan sementara ke Palace Hotel, yang sekarang dikenal sebagai Hotel Pelangi. Dalam situasi ini, pegawai pemerintahan dibagi menjadi dua golongan: golongan yang berjuang di luar kota dan golongan yang berjuang di dalam kota.
Seiring dengan kondisi yang semakin tidak memungkinkan, sebagian besar kekuatan tentara dan pemerintahan kota kemudian dipindahkan ke daerah lain, yakni ke daerah "Malang Selatan" di desa Sumberpucung, desa Gondanglegi, dan akhirnya berpindah ke desa Bantur. Di tempat-tempat ini, mereka terus melanjutkan perlawanan dan berupaya mempertahankan daerah-daerah yang masih berada di bawah kendali Republik Indonesia.
Ketika Kota Malang tidak dapat lagi dipertahankan akibat serangan besar-besaran Belanda, Hamid Roesdi dan pasukannya melakukan penarikan mundur strategis ke Bululawang, sebuah daerah di Malang Selatan. Di sana, mereka menyusun rencana dan strategi untuk merebut kembali kota dari tangan Belanda. Namun, perjuangan ini penuh dengan tantangan, dan pada tanggal 8 Maret 1949, Hamid Roesdi gugur dalam pertempuran, menjadi salah satu pahlawan yang mempersembahkan hidupnya demi kemerdekaan Indonesia.
Dengan jatuhnya Kota Malang ke tangan Belanda, pusat kekuatan pertahanan Republik Indonesia di wilayah tersebut berpindah ke Malang Selatan. Di sana, para pejuang terus melancarkan perlawanan hingga akhirnya, setelah melalui berbagai pertempuran dan diplomasi, Belanda akhirnya meninggalkan Indonesia setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949.
Sementara itu, semua kekuatan militer yang masih bertahan di Malang juga dipusatkan di Distrik Sengguruh, atau yang sekarang dikenal sebagai Kepanjen. Pemusatan kekuatan militer di Distrik Sengguruh ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah dan menyusun kembali strategi pertahanan setelah Kota Malang jatuh ke tangan Belanda.
Kepanjen dan sekitarnya menjadi basis penting bagi perjuangan TNI dan para pejuang kemerdekaan lainnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari upaya Belanda untuk kembali menjajah. Dalam konteks sejarah ini, Kepanjen memainkan peran penting sebagai salah satu titik strategis di Malang Selatan yang mendukung upaya perlawanan terhadap kolonialisme
SUMBER DATA
Saksi Satu :
Kesaksian dari Kapten Marsum, seorang pejuang TNI yang pernah bertugas di distrik Sumberpucung, memberikan gambaran yang jelas tentang betapa beratnya situasi di Malang Selatan selama masa agresi militer Belanda dan peristiwa PKI di Madiun pada tahun 1948.
Setelah Belanda berhasil menguasai Kota Malang, mereka melanjutkan serangan ke wilayah selatan, termasuk Sumberpucung, di mana Kapten Marsum bertugas. Pada saat yang sama, TNI harus menghadapi situasi yang sangat sulit karena desakan serangan Belanda dari arah Malang bertepatan dengan insiden pemberontakan PKI di Madiun. Pemberontakan ini menambah beban TNI yang tidak hanya harus melawan Belanda, tetapi juga menangani ancaman dari PKI yang melarikan diri ke arah Blitar.
Di daerah Karangkates, TNI berhasil menghadang pasukan PKI yang melarikan diri, tetapi serangan dari Belanda terus berlanjut, memaksa TNI untuk mundur dan bertahan di sebelah barat Gunung Kawi. Sementara itu, di daerah timur Gunung Kawi, tepatnya di lereng Gunung Katu, desa Kemuning, Kesamben, dan Kranggan, terjadi pengeboman berat oleh Belanda, yang memperparah kondisi pertempuran dan mempersempit ruang gerak para pejuang Republik.
Kesaksian ini menunjukkan betapa kompleks dan sulitnya situasi di Malang Selatan selama masa tersebut, di mana TNI harus menghadapi tekanan dari berbagai arah, baik dari kekuatan kolonial Belanda maupun ancaman internal dari pemberontakan PKI.
Saksi Dua
Kesaksian dari Kapten Jamil Supardi, seorang anggota Tentara Rakyat yang turut berjuang dalam perang gerilya melawan Belanda, menggambarkan betapa beratnya perjuangan para pejuang Republik Indonesia setelah kekalahan di Kota Malang.
Setelah Kota Malang jatuh ke tangan Belanda, banyak anggota TNI dan Tentara Rakyat yang mundur ke daerah pinggiran kota dan pegunungan, khususnya di sekitar Gunung Kawi. Di sana, mereka melanjutkan perlawanan dengan taktik gerilya, yang mengandalkan serangan cepat dan mobilitas tinggi untuk mengganggu dan melemahkan kekuatan musuh.
Persembunyian dan pergerakan gerilya sering dilakukan melalui rute pegunungan, termasuk dari Batu menuju Gunung Kawi, dan kemudian ke arah Blitar. Dalam perjalanan menuju Blitar, Jamil Supardi sempat berhenti di desa Senggreng, Ngebruk, untuk bertemu keluarganya.
Perjuangan yang dihadapi para pejuang gerilya ini sangatlah berat. Jamil Supardi menceritakan bahwa dalam kondisi kelaparan, mereka terpaksa makan daun-daunan yang mereka temukan di hutan. Untuk memasak nasi, mereka menggunakan "Topi Wojo," sebuah topi yang difungsikan sebagai panci. Mereka juga memanfaatkan buah-buahan yang ditemui sepanjang perjalanan untuk bertahan hidup.
Saksi Ketiga
Kesaksian dari Badrun, seorang pejuang TNI yang memiliki keahlian khusus dalam bidang Zeni, memberikan wawasan mendalam tentang peran penting yang dimainkan oleh unit-unit teknis dan logistik dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 10 November 1945, yang dikenal sebagai Hari Pahlawan, Badrun bertugas sebagai perakit dan pemasang bom, sebuah pekerjaan berisiko tinggi yang sangat penting dalam pertempuran melawan penjajah Belanda. Keahliannya dalam merakit bahan peledak menjadi bagian vital dalam strategi perlawanan, khususnya dalam menghadapi pasukan musuh yang lebih besar dan lebih terorganisir.
Setelah adanya perundingan dan perjanjian damai sementara pada tahun 1948, tugas Badrun berkembang. Selain perannya dalam unit Zeni, dia juga mengambil peran sebagai pencuri senjata, peluru, dan pakaian milik Belanda. Ini adalah bagian dari upaya untuk memperkuat persediaan dan persenjataan TNI yang sangat terbatas pada saat itu. Sambil menunggu tugas pokok, Badrun juga bertindak sebagai mata-mata untuk Republik, dengan fokus pada pemantauan Pabrik Gula Krebet, yang saat itu berada di bawah pengawasan Belanda.
Selama masa ini, Belanda melakukan operasi penyisiran intensif untuk mencari pejuang Republik yang tersembunyi. Namun, banyak pejuang, termasuk Badrun, sudah berlindung di hutan-hutan sekitar, menggunakan medan yang sulit untuk bersembunyi dan menghindari deteksi. Peran sebagai mata-mata dan pengumpul intelijen sangat penting untuk memberikan informasi tentang pergerakan musuh dan kondisi di lapangan, yang membantu TNI dalam merencanakan serangan atau menghindari konfrontasi langsung ketika diperlukan.
Kesaksian Badrun menyoroti kerumitan dan keanekaragaman peran yang diemban oleh pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak hanya terlibat dalam pertempuran langsung, tetapi juga dalam tugas-tugas rahasia dan logistik yang sama pentingnya dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan melemahkan kekuatan musuh. Badrun, melalui keterampilan dan pengabdiannya.
Saksi Keempat
Kesaksian dari Matasim, seorang pejuang TNI, memberikan gambaran mendalam tentang kondisi sulit yang dihadapi para pejuang dan masyarakat selama masa pertempuran melawan Belanda.
Pada masa penggeledahan oleh Belanda, Matasim sedang berada di rumah keluarga di Jl. Welirang, Kepanjen. Ketika Belanda mulai melakukan penggeledahan, Matasim secara spontan melarikan diri untuk menghindari penangkapan. Dia berlari ke arah selatan dan akhirnya terjun ke sungai Molek untuk menyelamatkan diri, meskipun kakinya tertembak.
Sementara itu, banyak rakyat juga mengungsi ke daerah-daerah selatan seperti Tumpang, Wajak, Turen, Gondanglegi, Pakisaji, Kepanjen, hingga Blitar, serta ke daerah barat seperti Batu, Pujon, dan Ngantang. Pengungsian ini merupakan respons terhadap situasi konflik yang sangat berbahaya, dan berlangsung hingga penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Saksi Kelima
Pada tahun 1949, dengan menyerahnya Belanda, kedaulatan Malang Raya kembali ke Republik Indonesia. Penandatanganan perjanjian penyerahan wilayah Malang dilakukan di Kantor Distrik Sengguruh, dengan perwakilan dari pihak Republik diwakili oleh Letnan Alap-alap. Dokumen dan foto terkait perjanjian ini ditemukan di Museum Malang, dan fotografernya adalah Pak de Siren, yang juga masih keluarga dekat.
Sebagai ungkapan syukur, masyarakat Kepanjen mengadakan long mars menuju Kota Malang. Jalan utama yang mereka tempuh kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Pahlawan Kepanjen. Setelah Kepanjen menjadi Ibu Kota Kabupaten Malang, nama jalan ini diubah menjadi Jl. Raya Ahmad Yani Kepanjen, sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan.
Para saksi juga memberikan pendapat tentang teknik gerilya yang digunakan oleh Tentara Republik. Teknik ini terbukti efektif terutama di daerah pegunungan, karena medan yang sulit dan kurangnya penguasaan oleh Belanda atas medan tersebut membuatnya sulit untuk dilalui oleh tank dan truk. Contohnya adalah di daerah Dampit - Lumajang, di mana teknik gerilya menjadi strategi yang sangat penting untuk melawan kekuatan Belanda yang lebih besar
Renungan :
Perasaan bangga Anda terhadap perjuangan rakyat Malang dan pejuang kemerdekaan Indonesia adalah sangat wajar dan penting. Kisah perjuangan mereka, yang penuh dengan pengorbanan, keberanian, dan semangat tanpa pamrih, merupakan inspirasi besar bagi generasi muda.
Para pejuang dan rakyat yang berjuang di Malang dan sekitarnya menunjukkan dedikasi luar biasa untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan dengan tekad dan keberanian yang patut dicontoh. Pengorbanan mereka, seperti yang diceritakan oleh para saksi, menjadi bagian dari sejarah yang sangat berharga dan membentuk identitas bangsa.
Sebagai generasi muda, merasa bangga dan menghargai perjuangan mereka adalah langkah penting dalam meneruskan semangat dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Memahami dan menghargai sejarah perjuangan kemerdekaan membantu kita untuk lebih menghargai kemerdekaan yang kita nikmati saat ini dan mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk melanjutkan perjuangan dalam bentuk yang relevan dengan zaman sekarang.