-2-
Masa Anak Baru Gede
(tahun 1982-1985)
![]() |
Foto SMP 4 jl. Penanggungan tahun 1958 |
![]() |
Foto SMP 4 di timur Stasion KA Penarukan Tahun 1967 |
Saat imasuk dan mulai masuk sekolahnya di kelas 1E. Kemudian, ia melanjutkan ke kelas 2 dan 3 di 3H. Pada masa itu, terjadi pergantian kepala sekolah dari Bapak Sahlan ke Pak Kusmanu. Meski perubahan ini membawa suasana baru, Agung tetap menjalani hari-harinya dengan semangat, terutama saat mengikuti kegiatan Pramuka.
Agung merasa senang setiap kali ikut Pramuka di sekolah, meskipun ia tidak pernah berkesempatan mengikuti kegiatan di luar sekolah. Baginya, momen belajar keterampilan Pramuka di kelas sudah cukup memberikan keseruan, seperti mengenal kode Morse, tali-temali, hingga kebiasaan baris-berbaris bersama teman-temannya.
![]() |
Foto SMP 4 di Jal Kawi tahun 1972 |
Dari sudah persahabatan yang terjalin, muncul berbagai ide baru yang menggairahkan semangat petualangan Agung bersama teman-teman barunya. Mereka mulai menjelajahi alam sekitar dengan penuh antusiasme, seperti menyusuri aliran sungai, mendaki bukit dan gunung di sekitar Kepanjen, hingga membentuk geng kecil untuk bermain dan berpetualang.
Setiap perjalanan menjadi cerita tersendiri tertawa bersama saat melewati rintangan, menikmati keindahan alam yang jarang disentuh, hingga berbagi bekal di tengah perjalanan. Semua ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga pelajaran hidup tentang kebersamaan, keberanian, dan kepercayaan pada satu sama lain. Pengalaman-pengalaman ini terus melekat di hati Agung, menjadi kenangan manis yang tak terlupakan dari masa ABG (Anak Baru Gede).
Hari libur saat duduk di bangku SMP menjadi waktu yang dinanti Agung bersama teman-temannya, Nanang dan Teguh, sahabat dari masa SD, serta Arik dan Erwan, teman sekampung, nanti pada saat hari libur itu, mereka bersepakat menjelajahi aliran Sungai Metro dengan rakit yang mereka buat sendiri, bukan dari batang pisang, melainkan menggunakan empat ban truk bekas.
![]() |
Perahu rakitan untuk mengarungi sungai Metro Malang |
Ketika hari yang ditentukan tiba, mereka membawa rakit ke tepian sungai. Masing-masing memegang bambu panjang yang berfungsi sebagai dayung sekaligus pengendali arah. Dengan penuh semangat, mereka mendorong rakit ke air. Saat rakit mulai meluncur mengikuti arus, wajah mereka dipenuhi rasa kagum sekaligus kewaspadaan. Pemandangan tebing curam dan pepohonan tinggi di kanan-kiri sungai seolah menjadi satu petualangan baru.
Namun, keindahan sungai ini tidak datang tanpa tantangan. Sungai Metro terkenal dengan batu-batu besar dan arus derasnya. Mereka harus sangat berhati-hati, mengarahkan rakit agar tidak menabrak batu padas yang dapat membuatnya terbalik. Dengan bambu panjang di tangan, mereka bergantian menjaga keseimbangan dan mengendalikan rakit di tengah jeram-jeram kecil yang menegangkan.
Tantangan-tantangan itu justru menambah keseruan petualangan. Ketika rakit hampir terguling, mereka hanya tertawa terbahak-bahak sebelum kembali mengatur arah. Ada pula saat mereka sengaja menjulurkan kaki ke air, menikmati sensasi dinginnya riak sungai. Petualangan ini menjadi pelajaran berharga tentang kerja sama, keberanian, dan pentingnya menikmati momen-momen sederhana.
Setelah mengarungi sungai selama beberapa 3 jam, rakit mereka akhirnya mencapai tepian di dekat Desa Jenggolo. Dengan penuh semangat, mereka mengangkat rakit ke daratan dan udara didalam ban truk di keluarkan (dikemposi) agar mudah dibawah, hal ini sebagai tanda akhir perjalanan menyusuri sungai Metro.
Petualangan mereka belum selesai. Dari sana, mereka berjalan kaki menuju jalan raya. Sambil berjalan santai, mereka bercanda dan mengulang kembali momen-momen seru di sungai. Ketika sampai di jalan raya, mereka memutuskan naik dokar untuk kembali ke Kepanjen. Suara derak roda dokar yang melaju perlahan menjadi irama perjalanan yang menenangkan.
Di atas dokar, mereka menikmati pemandangan sawah hijau yang terbentang luas, ditemani angin sore yang sejuk. Aroma tanah basah dan dedaunan pohon di pinggir jalan menciptakan suasana khas pedesaan yang menyegarkan.
Dokar perlahan membawa mereka pulang ke Kepanjen. Ketika tiba di desa, mereka turun dengan hati yang penuh rasa syukur. Hari itu adalah salah satu pengalaman yang tidak hanya mempererat persahabatan mereka, tetapi juga meninggalkan kenangan mendalam tentang kebahagiaan yang lahir dari petualangan sederhana dan kebersamaan.
Generasi X, adalah sebutan sebuah kelompok unik yang "tumbuh di antara era analog dan digital". Ia mengawali perjalanannya dengan mesin ketik manual, alat yang menjadi andalan di masa-masa sekolah dan awal kariernya. Suara cetak-cetok khas suara mesin ketik itu membawa kenangan menggunaqkan mesin ketik yang bekerja tanpa bisa menghapus kesalahan dengan mudah.
Ketika komputer PC mulai dikenal di Indonesia pada akhir 1980-an, Agung adalah salah satu dari sedikit orang di lingkungannya yang antusias mempelajarinya. Ia mengingat bagaimana mengoperasikan MS-DOS, disket besar 5,25 inci berguna untuk menyimpan data, dan kesenangan sederhana saat pertama kali mencoba permainan sederhana seperti Tetris. Pack Man dan Space War.
Beranjak ke tahun 1990-an, Agung menjadi saksi evolusi teknologi menuju laptop, sebuah perangkat yang memungkinkannya bekerja secara portabel. Di era ini, e-mail dan internet mulai mengubah cara ia berkomunikasi, meskipun kecepatan internet dial-up saat itu sering kali menguji kesabaran.
Memasuki abad ke-21, Agung beradaptasi lagi, kini dengan tablet dan smartphone yang mendominasi kehidupan modern. Ia terpesona dengan kemampuan tablet untuk menggantikan buku-buku tebal, serta kecanggihan smartphone yang memuat hampir semua teknologi dari masa sebelumnya dalam genggaman.
Kisah Agung mencerminkan perjalanan generasi X yang unik: sebuah generasi yang belajar bertahan, memahami, dan memanfaatkan teknologi di setiap era perkembangannya. "Kami ini jembatan antara zaman," begitu katanya, bangga. "Kami tahu rasanya menggulung pita kaset, tapi juga menikmati streaming musik hari ini."
Hiburan itu bahkan memengaruhi cara kami bermain. Salah satu permainan yang paling populer adalah sepatu roda dengan rem di bagian depan. Sepatu roda, tarian disco, dan tarian break dance menjadi simbol gaya hidup modern saat itu. Saya dan teman-teman sering bermain di jalanan sekitar rumah, mencoba meniru trik yang kami lihat di layar bioskop. Meskipun jatuh bangun sudah menjadi bagian dari permainan, semangat untuk mencoba hal baru selalu mendorong kami untuk bangkit lagi.
Selain sepatu roda, sepeda mini adalah kebanggaan saya saat duduk di kelas 6 SD. Sepeda mini "BMX" ini bukan hanya alat transportasi untuk pergi ke sekolah, tetapi juga teman setia dalam petualangan sore hari. Saya sering mengayuhnya menyusuri gang-gang kecil di kampung, menikmati angin sepoi-sepoi sambil tertawa riang bersama teman-teman. Rasanya seperti memiliki tiket menuju kebebasan kecil.
Di rumah, ada sepeda Jengky merk "Phonix" yang menjadi andalan kakak laki-laki dan bapak Agung. Sepeda ini lebih besar dan kokoh, sering digunakan untuk perjalanan jauh atau aktivitas yang lebih serius. Bapak menggunakannya untuk pergi mengajar, sementara kakak memanfaatkannya untuk kegiatan remaja yang mulai aktif. Bagi ibu, becak adalah transportasi favoritnya, terutama saat pergi ke pasar. Saya masih ingat suara khas roda becak yang berderit, belnya yang nyaring, dan langkah pelan pengayun pedalnya dengan sabar.
Masa itu juga dipenuhi kenangan akan tayangan televisi. Kami hanya memiliki beberapa saluran seperti TVRI, RCTI, TPI, dan SCTV, namun itu sudah cukup untuk membuat kami bahagia. Salah satu acara favorit adalah "Si Unyil", serial boneka dengan cerita sederhana namun penuh makna. Setiap minggu, kami menantikan petualangan Unyil dan teman-temannya dengan antusias di TVRI.