BATAS JENGGOLO-KEDIRI





Pada suatu pagi yang cerah, telepon penulis tiba-tiba berdering nyaring. Di layar, terlihat nomor yang sudah tak asing lagi. Sambil mengerutkan kening, penulis mengangkat telepon dan berkata, “Halo, anda berbicara  Agung dari Kepanjen,...apa yang bisa kami bantu.”


Kata "Boto Luluh" membuat jantung penulis berdebar. Ia ingat cerita-cerita rakyat tentang tembok pembatas yang kabarnya pernah menjadi bagian dari wilayah yang memisahkan dua kekuasaan besar pada zamannya.






"Siapa tahu, ini adalah penemuan besar... !" pikir penulis sambil tersenyum. Setelah menyelesaikan segala persiapan, ia berangkat menuju kantor Kecamatan Kromengan untuk menemui bapak Mujianto. Sesampainya di sana, mereka berbincang sejenak untuk membahas rencana kunjungan ke situs. Tak lama kemudian, Pak Mujianto mengajaknya menuju Dusun Rekesan, untuk bertemu dengan kepala dusun, Pak Sutopo, yang rumahnya berada tak jauh dari lokasi situs, sekitar satu kilometer.

Di sepanjang perjalanan penulis membayangkan seperti apa tembok tua yang disebut-sebut sebagai peninggalan Kerajaan Jenggolo dan Kediri itu, serta cerita-cerita apa yang mungkin akan penulis dengar dari Pak Sutopo dan warga sekitar. Baginya, ini bukan sekadar perjalanan biasa; ini adalah langkah awal dalam mengungkap rahasia masa lalu yang tersembunyi di antara batu-batu Boto Luluh.

Setelah tiba di rumah tujuan, mereka disambut oleh seorang pria ramah berusia sekitar enam puluh tahunan. Dengan senyum hangat, pria itu menyambut mereka, memperkenalkan diri dengan nada khas Jawa, “Dalem kagungan asmo Sutopo.” Kami saling berjabat tangan dan bertukar sapaan hangat, lalu beliau mempersilakan kami masuk ke ruang tamu.

Setelah duduk, bapak Sutopo mulai bercerita dengan antusias. Sebagai warga asli Dusun Rekesan, beliau memiliki banyak cerita dan pengetahuan tentang sejarah desanya. Dari tuturannya, perlahan-lahan terbentang kisah tentang Boto Luluh dan bagaimana tempat itu menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas desa. Pak Sutopo menjelaskan bahwa tembok tersebut, menurut cerita nenek moyang, adalah sisa peninggalan kerajaan masa lalu sebuah penanda batas wilayah antara Jenggolo dan Kediri.









Penggalian dan Penelitian

Setelah tiba di lokasi, pemandangan yang terpampang di depan penulis adalah hamparan rumput ilalang tinggi dan beberapa pohon. Gambaran tembok yang pernah diceritakan seolah lenyap, tersembunyi di balik semak-semak lebat. Namun, di tepi lahan jagung, dekat bukit, sesekali tampak bata merah besar berserakan—seperti petunjuk yang menuntun ke arah yang benar. Di kejauhan, tampak sebuah tebing dengan permukaan yang terlihat rata, menandakan kemungkinan adanya bangunan tua di bawahnya.

Dengan rasa ingin tahu yang makin kuat, penulis mendekati Pak Sutopo, yang berperan sebagai pemandu. Saat mengamati lebih dekat, ia mengambil pecahan batu bata merah besar dan berkata dengan nada antusias, "Ini pasti dari era kerajaan."

Penulis segera mengeluarkan perlengkapan penggalian dari ransel, bersiap untuk mengungkap lebih dalam situs ini. Pak Sutopo, yang sudah memegang pisau besar, mulai mengayunkannya dengan cekatan untuk membersihkan ilalang yang lebat. Sedikit demi sedikit, lapisan rumput dan semak tersingkap, memperlihatkan deretan bata merah yang masih tersusun. Tembok yang tertutup selama bertahun-tahun kini mulai muncul ke permukaan, seolah menyambut kehadiran kami dengan kisah-kisah yang siap untuk digali kembali.

Penulis ikut terjun langsung dalam proses penggalian, dengan memegang lempak kesayangannya, alat yang sudah beberapa tahun setia menemaninya dalam setiap ekspedisi dan penggalian situs bersejarah. Dengan cermat, ia menggali lapisan tanah yang menutupi bata merah, dengan berusaha mengungkap struktur asli yang mungkin tersembunyi.

Di sisi lain, para mahasiswa bersemangat membantu. Mereka mengumpulkan serpihan bata merah yang berserakan di sekitar lokasi, dengan hati-hati menyusunnya sambil mendokumentasikan setiap temuan dan prosesnya. Kamera di tangan mereka sibuk mengabadikan momen, merekam setiap sudut dan kegiatan penggalian yang mereka lakukan bersama. Tangan-tangan mereka yang kotor oleh tanah justru menjadi simbol dari semangat dan rasa ingin tahu yang sama: menghidupkan kembali sejarah yang lama terpendam dan menyelami misteri yang terhampar di depan mata.

Hujan gerimis yang masih turun terasa tak mengganggu; justru menambah kesan mendalam pada perjalanan ini, seakan alam pun turut menyaksikan upaya mereka untuk menggali kembali ingatan masa lalu.

Proses Pendokumentasi dan Pengukuran Data.



Penulis dan tim menghabiskan hampir dua jam di lokasi penelitian, mendokumentasikan setiap detail susunan batu bata dengan cermat. Setiap posisi dan kondisi bagian yang berhasil ditemukan difoto dan dicatat dengan teliti, memastikan tidak ada aspek yang terlewat. Setiap jepretan kamera menangkap susunan bata, serpihan, dan konteks sekitar dengan saksama, dokumentasi ini bukan hanya sekadar gambar; tetapi langkah awal pintu menuju pemahaman lebih dalam tentang keberadaan masa lalu yang pernah berjaya yang kini tampak sederhana ini.

Penulis dengan hati-hati mengambil sampel batu bata yang utuh dari situs tersebut. Ukurannya cukup besar, dengan panjang 32 cm, lebar 16 cm, dan tebal 7 cm. Batu bata ini menunjukkan tanda-tanda kematangan bakar yang sempurna, menandakan bahwa pembuatannya dilakukan dengan teknik pembakaran yang teliti dan berpengalaman, ciri khas konstruksi masa kerajaan yang mengutamakan ketahanan dan kualitas.

Sejarah dan Legenda Lokal tentang penemuan Boto Luluh :


Situs prasasti Adan-adan di Kecamatan Gurah, Kediri, menjadi salah satu bukti nyata keberadaan Kerajaan Kediri kuno. Pada masa itu, Raja Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi dua pada tahun 1041 masehi demi menghindari perebutan kekuasaan antara dua putranya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Kerajaan Jenggala (Kahuripan) diberikan kepada Mapanji Garasakan dengan pusat pemerintahan di Kahuripan, sementara Sri Samarawijaya memimpin Kerajaan Panjalu (Kediri) dari kota Daha.

Kedua kerajaan ini dipisahkan oleh Gunung Kawi dan aliran Sungai Brantas. Meski telah dibagi, perselisihan dan peperangan terus terjadi selama puluhan tahun, masing-masing merasa berhak atas seluruh wilayah peninggalan Airlangga. Akhirnya, Panjalu berhasil merebut tahta dan memindahkan ibu kota ke Kediri, menjadi kerajaan besar yang bertahan hingga tahun 1222 M.

dua
Legenda lokal tentang pembagian batas Jenggolo dan kediri

Legenda lokal menyebutkan bahwa air kendi itu mengalir membentuk batas alami berupa sungai dan pegunungan yang membelah kedua kerajaan, yakni Sungai Brantas dan Gunung Kawi. Peristiwa ini dipercaya sebagai pembagian sakral yang tidak hanya memisahkan wilayah kekuasaan, tetapi juga menciptakan ikatan spiritual antara kedua wilayah, meskipun pada akhirnya peperangan tetap terjadi di antara mereka.

Tiga
Mpu Bharadah, dikenal sebagai salah satu dari "Panca Tirtha," lima pendeta agung yang memiliki tugas suci dalam penyebaran ajaran dharma. Menurut Prasasti Batumadeg, pada tahun Isaka 963 atau 1041 Masehi, Mpu Bharadah melakukan perjalanan ke Bali, membawa ajaran dan kebijaksanaan Hindu yang menyebar dari Jawa ke Pulau Dewata.

Selain dikenal karena keahlian spiritualnya, Mpu Bharadah juga dikenang sebagai sosok bijak yang berperan penting dalam pembagian Kerajaan Jenggala dan Panjalu, sebuah peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah Jawa dan Bali.

0 komentar anda:

ARTIKEL POPULER

edisi kusus

edisi kusus
Klik gambar... untuk melihat cerita, silsilah, foto keluarga Darmoredjo